Setyo Adi Purwanta: Memulai Gerak dengan
Wacana
`Segala sesuatu yang ada di dunia ini ada karena diadakan. Bila apa
yang sudah diadakan itu merugikan eksistensi seseorang atau bahkan sekelompok orang, maka hal itu
harus diubah. Seperti penyebutan kata cacat pada mereka yang berbeda. Kata
cacat itu bahkan ada sejak alam bawah sadar, baik pada yang disebut maupun yang
menyebut. Membuat kecacatan itu benar-benar ada dan menghantui setiap saat.
Untuk menghilangkan rasa kecacatan itu lah Setyo Adi Purwanta, bersama dengan
Mansour Fakih dan Sukanthi Raharjo Bintoro melakukan transormasi dan
memunculkan kata difabel.
Tahun 1976 ketika
sebuah kecelakaan membuat indera penglihatannya tak berfungsi, Setyo merenungi
keadaannya dengan bijaksana. “Saat itu aku membaca Weda Parikrama, Baghawat
Gita, Perjanjian Baru, Perjanjian lama, serta Al Qur’an dan hadits. Dari semua
itu tidak ada satu firman Tuhan pun yang menyatakan menciptakan manusia dalam
keadaan cacat,” jelasnya. Pria kelahiran Malang, 25 September 1953 ini juga
terinspirasi oleh kata-kata Sakespeare yang menyatakan bahwa di alam ini tidak
ada yang ternoda kecuali pikiran dan
hanya orang yang kejam saja yang pantas disebut cacat.
Memulai Counter Discourse
Berangkat dari
keyakinan bahwa cacat itu tidak ada, Setyo bersama kedua rekannya tadi
berdiskusi sehingga terlahirlah kata difabel. “Yang jadi permasalahan itu kan
orang dianggap cacat karena dia dianggap tidak mampu, Efek dari cacat adalah
ketidakmampuan. Kita harus membalik bagaimana kita sebut ini orang yang mampu.
Artinya ini harus dilihat dari kemampuannya sehingga yang disebut adalah
kemampuannya” gagas Setyo yang lulus dari program sarjana Filsafat dan Sosial
Pendidikan UST ini.
Mansour Fakih menanggapi gagasan tersebut dengan
ide bahwa sebagai orang Yogyakarta, adalah sebuah khas untuk melakukan plesetan. Selanjutnya bertransformasilah
disable menjadi difable, different ability yang berarti kemampuan yang berbeda. Sukanthi saat itu mengusulkan untuk
menuliskannya dengan cara Indonesia sehingga kata yang lahir adalah difabel.
Mulai saat itu lah counter discourse dilakukan.
Di segala kesempatan, baik dalam membaca, menulis dan berkata-kata mereka
menggunakan kata difabel. Sejak itu kata difabel mulai dikenal dan digunakan
oleh masyarakat secara luas.
Ketika disinggung mengenai sikap Persatuan Bangsa
Bangsa (PBB) yang menggunakan istilah people
with disability Setyo menjelaskan bahwa itu disebabkan karena sudut pandang
yang berbeda. Disabilitas menurut PBB adalah keadaan yang menunjukkan bahwa ada
satu kondisi fisik atau organ yang memiliki kelemahan atau gangguan. Karena ada gangguan ini maka ada
efek psikososial dan kemudian muncul lah
kondisi hambatan fisik akan aksesibilitas. “Konsep kita beda, kalau orang kakinya
diamputasi, dia akan pakai kursi roda, berarti fungsi kaki itu diganti kursi
roda, jadi indikasinya fungsi” jelas Setyo.
Selain melakukan perjuangan terhadap hak-hak
difabel lewat berbagai tulisan di media massa dan seminar-seminar, Setyo juga
mengelola sebuah lembaga swadaya masyarakat yaitu LSM Dria Manunggal. Kegiatan
di sana dimulai sejak 1991. “Dria Manunggal merupakan LSM difabel pertama. Kalo
sekarang kan LSM itu semua organisasi non pemerintah, untuk dulu LSM adalah
organisasi yang dianggap miring oleh negara karena berhadapan dengan pemerintah,”
papar Setyo yang kini menjadi CEO di LSM itu.
LSM Dria Manunggal memiliki tujuan mendorong
terbentuknya masyarakat inklusi di mana ada kesetaraan HAM antar sesamanya.
Untuk mencapai hal itu Dria Manunggal mempunyai tiga misi. Pertama memperkuat
kemampuan difabel, kedua membangun kesadaran masyarakat, dan terakhir mendorong
pemerintah untuk memajukan HAM. Semua kegiatan di sana diturunkan dari tiga hal
tersebut. Advokasi, melindungi, memenuhi, dan menghormati hak-hak difabel adalah kegiatan-kegiatan
utama.
Dalam Cengkeraman Kapitalis
Peran negara dalam
mewujudkan kesejahteraan rakyat, dalam hal ini mereka yang difabel, dirasa
masih jauh panggang dari api. “Sikap pemerintah itu culke ndhase gondheli buntute, jseolah-olah sudah difasilitasi tapi
di belakangnya masih ada tarik ulur,” jelas Setyo. Keadaan ini terjadi karena
ideologi kapitalis yang kental. Dalam paradigma kapitalis manusia diakui
keberadaannya jika memiliki beberapa indikator. Indikator-indikator itu adalah
efektivitas, efisiensi, dan produktivitas. Karena indikator-indikator tersebut
muncul lah fenomena-fenomena seperti human investmen dan human resources.
Selanjutnya semua itu digunakan sebagai akumulasi modal. Dalam hal ini para
difabel dianggap tidak memiliki indikator-indikator tersebut sehingga
terpinggirkan.
Untuk melawan semua
itu yang harus dilakukan adalah perang ideologi. Setyo menjelaskan bahwa kita
harus membangun ideologi kemanusiaan. Ideologi yang melihat manusia sebagai human being bukan human investmen. Sebenarnya itu sudah termaktub dalam Pancasila.
“Peristiwa G30 S itu agendanya menggulingkan Pancasila. Sebab kalau Pancasila
menjadi ideologi besar tergulunglah kapitalis,” tegas Setyo. Dengan Pancasila
kita harus membangun masyarakat yang inklsuif, menghormati dan menghargai
kesetaraan.
Pendidikan yang diharapkan
menjadi salah satu jalan menuju kesejahteraan ternyata juga tak lepas dari
cengkeraman kapitalis. Pola pendidikan yang ada di sekolah-sekolah Indonesia
adalah pola kompetitif yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan kapitalis. Beberapa
hal seperti rangking, sekolah unggulan, dan sistem tidak naik kelas merupakan
metoda-metoda kapitalis. “Dalam sekolah inklusi tidak ada yang namanya tidak
naik kelas dan iklim yang ada kooperatif. Untuk itu kualitas dan kuantitas
sekolah inklusi perlu banyak ditingkatkan” jelas Setyo yang kini juga menjabat
sebagai koordinator Pusat Sumber Pendidikan Inklusif Provinsi DIY.
Perlunya Kesadaran Kritis
Dalam interaksi antara masyarakat difabel dan non
difabel dibutuhkan sikap saling menghargai. Namun, hal itu masih belum sempurna
terjadi hingga saat ini. Menurut Setyo dalam bergaul dengan difabel masyarakat
terbagi dalam dua jenis, yang menganggap itu sebagai urusan mereka dan yang
tidak.
Di antara jenis yang pertama masih ada tiga
kelompok lagi. Pertama adalah kelompok dengan kesadaran magis yang menganggap
difabel sebagai pemberian Tuhan. Sehingga yang mereka lakukan adalah berdoa
atau paling signifikan membangun panti asuhan. Kedua adalah kelompok dengan kesadaran
naïf. Pada kelompok ini yang dipentingkan adalah kemampuan untuk bersaing.
Sehingga yang dilakukan adalah memberikan pelatihan-pelatihan bagi difabel.
Kelompok terakhir adalah mereka dengan kesadaran
kritis. Kelompok ini yakin bahwa difabel punya kemampuan. Mereka percaya bahwa
difabel menjadi tidak punya kemampuan karena tidak dipunyakan, dicacatkan dan
sebagainya. Mereka mengusahakan bagaimana agar difabel menjadi diri mereka
sendiri. Selain itu juga menggulirkan wacana untuk membongkar kesadaran masyarakat
terhadap kemampuan difabel dengan gerakan-gerakan yang menentang diskriminasi.
Namun, Setyo mengakui bahwa gerakan difabel di
Indonesia hingga saat ini masih setengah-setengah. Hal itu terjadi karena
kebanyakan gerakan difabel dimulai dari masyarakat kelas menengah. Sementara
itu difabel kelas menengah masih sedikit. Untuk memaksimalkan itu gerakan
difabel perlu beraliansi dengan gerakan lain. Memasukkan isu difabel dalam isu
lain, seperti isu keselamatan kerja yang berpotensi menyebabkan difabel, isu
eksploitasi tenaga kerja, dan isu kekerasan terhadap anak.
Untuk mewujudkan semua itu tentu dibutuhkan
kesadaran dari seluruh elemen masyarakat. Namun, Setyo masih yakin dan optimis
bahwa gerakan difabel akan mengalami kemajuan. “Seperti di Amerika Latin,
gerakan difabel di sana sudah begitu cantik dan massif,” harapnya di akhir
perbincangan.
ditulis untuk majalah Kabare Kagama Edisi Wisuda UGM Agustus 2012