Minggu, 29 April 2012

Mahasiswa dan Dunia Malam: Sebuah Pilihan dan Tanggung Jawabnya


Walaupun budaya barat telah  lama masuk dan mempengaruhi budaya lokal, dunia malam masih menjadi perilaku yang dipandang negatif. Mahasiswa dengan kebiasaan berkunjung ke klub malam  pun ikut dicap negatif. Dekatnya persepsi antara klub malam dan perilaku negatif remaja salah satunya disebabkan oleh media. Di sinetron atau film klub malam  sering untuk setting cerita negatif. Berita kriminal sering menampilkan tertangkapnya pelaku kejahatan di klub malam. Padahal tidak semua klub malam negatif, Begitu pula, tidak semua pengunjung klub malam memiliki perilaku negatif.
Berkunjung ke klub malam, kampus, atau tempat ibadah sekalipun adalah pilihan. Masalah perilaku negatif yang muncul adalah masalah kegagalan seseorang dalam memenuhi tanggung jawabnya. Bila mahasiswa sering ke klub malam lalu melupakan tugasnya sebagai pelajar dan anggota masyarakat itu adalah hal negatif. Begitu juga jika seorang mahasiswa terlalu sering ke tempat ibadah sehingga melupakan tugasnya sebagai pelajar dan anggota masyarakat, hal itu juga negatif.  Semua tergantung pada penyesuaian diri kita dengan pilihan kita sehingga tidak melupakan kewajiban kita sebagai manusia yang bermasyarakat.

Hanya Untuk Sebuah Kehidupan



Tak perlu dipungkiri atau dirasionalisasikan, jaman memang makin sulit. Terakhir tersiar kabar harga BBM akan dinaikkan. Demo pun meluap di mana-mana dengan seninya sendiri, ricuh atau tak ricuh. Semua itu  muncul karena adanya keinginan untuk mempertahankan hidup dan untuk melawan sesuatu yang mengancam. Pun begitu mereka para supir kopata, metromini, dan angkutan umum lain di Ibu Kota. Tuntutan ekonomi yang semakin tinggi tanpa disertai dengan perkembangan kualitas hidup membuat rakyat menengah ke bawah semakin tergencet.
Termasuk para penarik angkutan umum. Kebutuhan akan biaya makan, sekolah yang ternyata tak bebas biaya sebagaimana dijanjikan, persaingan dengan angkutan lain yang sebenarnya juga senasib, ditambah tuntutan kejar setoran. Itu semua membuat mereka mau tak mau mempercepat laju kendaraannya. Kata orang seperti setan.
Mungkin benar, tapi sebenarnya mereka adalah orang-orang yang tetap mencoba berdaya di tengah himpitan setan-setan berwujud manusia yang memotong dana sana sini sedikit demi sedikit lama lama jadi bukit yang menindih nafas mereka. Mereka hanya manusia, pandanglah dengan lebih arif dan bijaksana. Mereka hanya ingin hidup dengan baik tanpa mencuri atau merampok.
Jika kita memang peduli ingatkanlah. Jika tidak mau mengingatkan, lupakanlah saja dan pilih kendaraan lain tanpa mengumpat mereka.

Sekilas Kenampakan Pendidikan Indonesia


Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Paramadina dan juga berdasar penelitian oleh Organization for Economic Cooperation and Development didapatkan data bahwa kualitas pendidikan di Indonesia memang berada pada urutan kedua paling bawah pada tahun 2004. Walaupun saat ini kita menempati posisi yang rendah namun kita harus tetap melakukan banyak perubahan dengan penuh rasa optimis. Sebagai contoh adalah Amerika Serikat. Ketika itu Rusia sudah mampu meluncurkan pesawat ke bulan sedang Amerika belum. Momen itu digunakan Amerika untuk memicu kemajuan pendidikan di Amerika.
Dalam konteks yang lebih mikro Indonesia sebenarnya mempunyai beberapa pahlawan. Pahlawan-pahlawan itu adalah mereka yang memenangi lomba-lomba sains internasional. Beberapa dari mereka yang pertama adalah yang memenangkan medali emas perak dan perunggu pada lomba International Physic Olympiad ke 40 di Merida Meksiko pada Juli 2009. Selanjutnya pada lomba International Conference of Young Scientists (ICYS) ke- 16 pada April 2009 dengan perolehan 6 medali emas. Beberapa urutan kualitas Indonesia dibandingkan negara lain antara lain adalah sebagai berikut. Nomor tiga terendah untuk kualitas kompetensi matematika. Nomor dua terendah untuk kompetensi membaca dll.

Belajar dari Finlandia
            Untuk memperoleh kembali semangat perubahan atas pendidikan Indonesia kita mungkin bisa belajar dari Finlandia. Finlandia mempunyai beberapa point yang menjadi pemicu baiknya kualitas pendidikan di sana yaitu:
a.       Anggaran pendidikan mendapat prioritas utama.
b.      Kegiatan sekolah di Finlandia hanya 30 jam per minggu, berarti hanya 6 jam perhari. Interaksi keluarga dianggap penting di sana.
c.       Negara dan rakyat Finlandia menempatkan guru sebagai profesi terhormat dan mereka yang menyandang profesi itu mendapat prestise dan kebanggaan tersendiri.
d.      Buku teks yang dirancang sangat aplikatif dan hampir semua guru menjadi penulis, minimal penulis buku pelajaran yang mereka gunakan di kelas.
e.       Guru adalah penilai terbaik sehingga mereka bertanggung jawab penuh terhadap nilai murid-murid. Moto guru Finlandia adalah “Kalau saya gagal dalam mengajar seorang siswa, itu berarti ada yang tidak beres dengan pengajaran saya.”
f.       Guru menghindari memberi kritik terhadap pekerjaan siswa, tetapi mengajak mereka untuk membandingkan dengan perolehan sebelumnya (konsep ipsative).
g.      Proses belajar mengajar berlangsung dua arah.
h.      Penekanan belajar focus pada proses bukan hasil.
Secara kasar dapat terlihat bahwa point-point tadi sangat berbeda  dengan pengajaran di Indonesia. Beberapa yang berbeda misalnya di Indonesia nilai sangat penting, belajar lebih lama, anggaran pendidikan bukan prioritas utama, dll.

Kompetensi Guru untuk Pendidikan yang Lebih Baik
            Untuk membangun pendidikan yang baik di Indonesia pemerintah dengan PP no 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, yang mengharuskan mempunyai empat kompetensi yaitu kompetensi pedagogi, kompetensi kepribadian, kompetensi profesionalisme, dan kompetensi social.
a.       Kompetensi Pedagogi adalah kemampuan mengelola pembelajaran siswa yang meliputi pemahaman terhadap siswa, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan siswa untuk mengaktualisasikan potensi yang dimilikinya.
b.      Kompetensi Kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa- yang akan menjadi teladan bagi peserta didik—serta berakhlak mulia.
c.       Kompetensi professional adalah penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam sehingga guru dapat membimbing siswa memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan.
d.      Kompetensi social adalah kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif di antara peserta didik, sesame pendidik, tenaga kependidikan, orang tua wali dan masyarakat sekitar.

Cuplikan pidato Miriam Kronish, Kepala Sekolah SD John Eliot 1988-2002, Needham, Massachusetts Amerika Serikat—sekolah terbaik di Amerika.
“Masa depan pendidikan Amerika ditentukan oleh sebuah kekuatan. Jika saja kami punya kekuatan, kekuatan tersebut adalah program utama di sekolah kami, yaitu pelatihan guru . Guru tidak hanya cukup membaca metode-metode belajar-mengajar terbaru. Guru harus dilatih, seperti halnya actor atau penyair yang perlu berlatih. Setelah itu guru baru bisa mengajarkannya kepada orang lain. Guru professional adalah gelombang masa depan Amerika….”

Di Indonesia sendiri menurut Ahmad Rizal, seorang pemerhati pendidikan, dalam bukunya yang berjudul Dari Guru Konvensional Menuju Guru Profesional (Grasindo, 2009) mengatakan bahwa banyak guru yang secara mental tidak siap dilatih, bahkan jumlahnya cukup besar. Menurut Rizal, guru seperti itu baru bekerja setelah diperintah dan lebih mementingkan hak terlebih dahulu sebelum melaksanakan kewajiban.

Meyakini Kemampuan Siswa
            Memahami setiap siswa dengan segala perbedaannya memang bukan hal mudah. Namun, bukan berarti itu hal yang tidak mungkin. Meyakinkan guru bahwa setiap siswa punya gaya belajar masing-masing adalah hal yang sulit. Kebanyakan guru langsung menjudge siswa gagal ketika tidak memahami materi atau salah menjawab. Bobbi DePorter, seorang pakar Quantum Learning, menyatakan bahwa topic yang paling sulit adalah mengubah kebiasaan buruk guru yang selalu menyalahakan anak didik atau bahkan merendahkan anak didik. Padahal seorang anak yang direndahkan apalagi di depan teman-temannya akan mengalami cognitive  shut down yaitu suatu keadaan di mana anak tidak mempunyai kepercayaan dirinya lagi untuk menunjukkan kemampuannya di depan kelas karena sebelumnya telah divonis salah  oleh guru.

Pentingnya Manajemen Sekolah
            Manajemen sekolah merupakan hal yang penting dan juga bagaikan jantung dari sekolah. Membentuk manajemen professional merupakan langkah awal yang penting dalam awal mendirikan sekolah. Manajemen sekolah disebut dengan content dan context system. Content dan context  itu antara lain adalah
a.       Ketua Yayasan dan Kepala Sekolah
b.      Ketua Yayasan dan Direktur Sekolah
c.       Direktur Sekolah dan Kepala Sekolah
Satu hal yang perlu ditekankan adalah pentingnya pelatihan bagi guru sebab guru juga manusia pembelajar yang harus mampu menyesuaikan diri dengan siswa yang beragam dan kondisi zaman yang terus berubah.disari8kan dari buku sekolahnya manusai

Membedah Semangat Juang Difabel dengan Kacamata Psikologi Individu


Perjalanan Difabel Hingga Kini
Pandangan masyarakat terhadap kaum difabel mengalami beberapa perubahan dari jaman ke jaman. Dalam pewayangan difabel diilustrasikan sebagai punakawan yang senantiasa membantu raja dan memiliki kesaktiannya sendiri. Dalam dunia pewayangan itu dikisahkan bahwa raja yang agung dan terhormat adalah mereka yang mampu melindungi rakyat tanpa mengecualikan kaum difabel.
Orang-orang aneh: kerdil, cacat, dan difabel lain, diperuntukkan untuk memperteguh kesaktian sang raja (Anderson, 1990 dalam Tohari 2012). Seiring dengan ekspansi yang dilakukan oleh bangsa Eropa ke Asia yang membawa pengetahuan akan kesehatan maka difabel tidak lagi dipandang sebagai manusia linuwih yang ajaib namun dianggap sebagai pesakitan yang harus disembuhkan. Istilah difabel yang mengacu pada arti bahasa different ability  adalah istilah asli Indonesia yang mana belum dipakai di luar negeri atau secara inernasional. Dalam buku Dissabilities PBB masih menggunakan istilah people wih disabilities.  Istilah difabel ini dicetuskan oleh pendiri pergerakan difabel Yogyakarta pada tahun 1990 beberapa tahun setelah era orde baru tumbang.
Pergerakan difabel di Yogyakarta ditandai oleh berdirinya Lembaga Swadaya Masyarakat Dria Manunggal pada tahun 1990 oleh Setyo Adi Purwanta yang sekarang menjabat sebagai Executuve Director LSM tersebut (Syarif, 2012). Berawal dari situ maka bermunculanlah LSM lain hingga kini dua puluh tahun sudah difabel bergerak secara terorganisir dalam masyarakat. Namun, setelah dua puluh tahun ini  ternyata berbagai masalah dan diskriminasi masih mendera kaum difabel. Sebagai contoh di dunia kerja difabel masih dipandang sebelah mata, di bidang pendidikan masih ada difabel yang ditolak karena alasan cacat badan. Hal yang paling menyakitkan namun tak pernah disadari adalah pandangan negative yang sering ditujukan pada mereka sehingga ketidakadilan sejak dalam pikiran pun tercipta dan terus menyebar.



Mereka yang Tetap Bertahan dan Bersinar
Namun, di balik realita yang diskriminatif itu masih ada difabel-difabel yang mampu mencapai puncak prestasinya. Slamet Thohari dan Mukhanif Yasin Yusuf merupakan dua difabel yang secara langsung penulis kenal dan mampu menjadi cahaya bagi dirinya sendiri dan orang di sekitarnya. Slamet Thohari merupakan difabel yang kaki kirinya lumpuh karena polio. Tahun 2011 lalu dia resmi diwisuda dari University of Hawaii dan kini menjadi dosen. Mukhanif Yasin Yusuf adalah difabel deaf kini duduk di bangku  kuliah S1 Sastra Indonesia UGM semester kedua. Mukhanif kehilangan pendengarannya pada usia 11 tahun. Prestasinya antara lain adalah Finalis LKTI Penelitian Bidang Bahasa tingkat SMA Provinsi Jawa Tengah 2009, Juara Harapan III Lomba Artikel Ilmiah Populer tingkat SMA Provinsi Jateng 2010, dll (Fitriyani dan Nugraheny, 2012).
Dua difabel ini merupakan difabel yang berhasil mengatasi keciutan hatinya dan berbalik mengejutkan orang-orang sekitarnya dengan prestasi-prestasi luar biasa. Prestasi yang bahkan orang non difabel tak mampu mencapainya. Maka menjadi menarik untuk membedah bagaimana dinamika psikologis kaum difabel pada umumnya dan Mukhanif Yasin Yusuf serta Slamet Thohari secara khusus sebagai difabel yang berhasil. Psikologi Individu yang dirumuskan oleh Alfred Adler merupakan teori yang cukup komprehensif untuk membahas fenomena semangat juang difabel dalam tulisan yang singkat ini.

Meneropong Difabel bersama Alfred Adler
            Dalam metode fenomenologi maka noetis dari tulisan ini adalah perjuangan difabel untuk mencapai kesuksesan. Untuk mengetahui dan menyadari noematis yang ada maka teori Alfred Adler menjadi pilihan. Adler berpendapat bahwa manusia pertama-tama dimotivasikan oleh dorongan-dorongan social (Hall & Lindzey, 1993). Adler berpendapat bahwa manusia merupakan makhluk social yang menghubungkan diri dengan orang lain, bekerja sama dengan orang lain dan dan menempatkan kesejahteraan social di atas kepentingan pribadi. Pokok dari teori Adler adalah finalisme fiktif, perjuangan ke arah superioritas, perasaan inferioritas dan kompensasi, minat social, gaya hidup, dan diri kreatif. Sekarang kita akan memakai kacamata Adler untuk melihat dinamika perjuangan difabel.
            Vaihinger merupakan salah satu tokoh yang menginspirasi Adler, ia meyakini bahwa manusia hidup dengan banyak cita-cita. Cita-cita itu sebernarnya merupakan fiktif yang tak ada dalam dunia nyata, contoh gambaran fiktif ini antara lain adalah semua manusia diciptakan sama, kejujuran adalah politik yang paling baik, tujuan membenarkan sarana, memungkinkan manusia menghadapi kenyataan secara lebih efektif (Hall & Lindzey, 1993). Melalui Vaihinger, Adler semakin yakin bahwa manusia dimotivasikan oleh harapan-harapannya daripada masa lalunya sebagaimana Freud yakini dalam teorinya. Harapan-harapan itu pulalah yang mendorong Mukhanif Yasin Yusuf, Slamet Thohari dan difabel lain sehingga tak putus asa. Harapan-harapan itu dibahasakan oleh Adler dengan finalisme fiktif.
            Selain finalisme fiktif kepribadian manusia juga mengalami perjuangan ke arah superioritas sebagaimana dikatakan Adler. Superioritas adalah perjuangan ke arah kesempurnaan atau aktualisasi diri. Semua manusia, menurut Adler, memiliki dorongan superioritas itu. Begitu pula para difabel yang bisa sukses, mereka memiliki dorongan kuat untuk berhasil. Untuk beraktualisasi lewat caranya sendiri-sendiri. Mukhanif dengan tulisan-tulisannya, dan Slamet dengan kemampuan komunikasinya yang bagus sehingga mampu memimpin sebuah organisasi tingkat universitas pada kala itu.
Inferioritas yang dialami oleh Mukhanif dan Slamet karena kekurangannya justru mendorong mereka untuk terus berkarya demi menutupi dan atau meniadakan gangguan-gangguan yang diakibatkan oleh kekurangan fisik mereka. Adler yakin bahwa manusia dengan kekurangan-kekurangannya bukanlah sesuatu yang patologis atau abnormal. Namun, merupakan sebuah keadaan yang akan mendorong manusia untuk mengembangkan kelebihannya. Adler mencontohkan Demosthenes yang gagap pada kecilnya akhirnya menjadi orator ulung, Theodore yang lemah menjadi pemimpin yang hebat. Begitu pula Inferioritas yang dialami oleh Mukhanif dan Slamet  memunculkan kompensasi atau pengganti atas inferioritas itu. Perasaan inferioritas dan kompensasi ini merupakan dinamika yang dialami manusia untuk mencapai superioritas.
             Selanjutnya manusia juga memiliki minat kemasyarakatan, yaitu suatu sifat bawaan manusia untuk berhubungan dengan sosialnya. Hal ini pula yang menjadi salah satu faktor Mukhanif dan Slamet untuk tetap terjun dalam masyarakat baik yang difabel maupun yang inklusif. Perjuangan Mukhanif dan Slamet untuk mengatasi inferioritasnya telah berhasil sehingga secara individu mereka telah siap untuk berbaur bersama masyarakat dan berperan di dalamnya. Adler mengatakan bahwa “minat social merupakan kompensasi sejati dan yang tak dapat dielakkan bagi semua kelemahan alamiah manusia individual”  (Adler 1929 dalam Hall & Lindzey, 1993). Slamet dan Mukhanif juga membuktikan itu dengan terjun dan aktif dalam organisasi-organisasi semasa sekolah maupun kuliah.
            Diri kreatif  yang dikemukakan oleh Adler menyatakan bahwa sikap manusia terhadap kehidupan lah yang menentukan hubungan antara hereditas yang dia  miliki serta pengalaman dengan lingkungan dunia. Diri kreatif adalah kemampuan manusia untuk mengolah fakta-fakta yang ada sehingga menjadikannya pribadi yang unik. Dan Mukhanif, Slamet, serta banyak difabel lain adalah individu yang mampu menciptakan diri kreatifnya sehingga mampu menjadi pribadi yang tangguh dan percaya diri dalam mencapai cita-cita.

Kesimpulan
            Dalam kehidupan para difabel yang memang secara nyata, ilmiah, dan empiris berbeda dengan orang “normal” sikap positif thinking sangat diperlukan. Sikap ini termanifestasi dalam agresifitas, keinginan berkuasa, dan superior. Sikap ini dalam diri difabel berwujud kepercayaan diri untuk mengelola fakta-fakta, pengalaman-pengalaman sehingga terwujud pribadi yang utuh. Sikap ini merupakan sesuatu yang herediter sehingga yang diperlukan adalah menumbuhkan keyakinan dan kepercayaan diri akan harapan-harapan yang dimiliki. Finalisme fiktif seperti “semua orang tercipta sama” merupakan sesuatu yang wajib ditanamkan bagi diri difabel. Namun, sama di sini maksudnya adalah sama-sama memiliki hak yang sama, hak hidup, hak pendidikan, hak bekerja dan lain-lain. Dengan itu maka difabel akan lebih berani menempatkan dirinya dalam masyarakat.