Sabtu, 22 Desember 2012

Bosman Batubara: Menilik Kembali Lumpur Sidoarjo


Bosman Batubara: Menilik Kembali Lumpur Sidoarjo

Pada 29 Mei 2006 lumpur panas menyembur di area pengeboran milik PT Lapindo Brantas. Lumpur menyembur hingga ketinggian 40 meter pada jarak 150 meter dari lokasi pengeboran. Enam tahun telah berlalu sejak hari itu, tetapi hingga kini semburan itu belum berhenti. Telah banyak wacana, perdebatan, hingga beberapa peraturan presiden, dan berbagai advokasi dilakukan terkait penanganan peristiwa tragis ini. Faktanya tragedi itu masih menyisakan berbagai permasalahan yang belum tertangani secara tuntas.
            Empat tahun setelah semburan lumpur itu muncul, Bosman Batubara alumni Fakultas Teknik Jurusan Teknik Geologi UGM bertandang ke Porong untuk turut serta melakukan advokasi. Tidak sendirian, advokasi yang dia lakukan sebelumnya telah didahului oleh rekannya, Paring Wahyu Utomo, pada tahun 2006. Dari banyak proses wawancara yang mereka lakukan terhadap masyarakat dari kedai kopi ke kedai kopi dan banyak advokasi mereka berdua akhirnya melahirkan sebuah karya dalam bentuk buku berjudul “Kronik Lumpur Lapindo Bencana Industri dan Bisnis Lumpur Lapindo”.
Terkait semburan lumpur yang kini genangannya telah meluas berkali-kali lipat itu ada isu yang sangat penting sehingga berdampak pada keluarnya beberapa peraturan presiden. “Isu yang penting adalah mengenai apakah semburan itu termasuk bencana alam atau kah bencana industri,” jelas Bosman. Gempa di Yogyakarta dijadikan salah satu faktor untuk menyusun teori lempeng tektonik yang mengarahkan isu ini pada bencana alam.
Namun, penelitian membuktikan bahwa getaran dari pusat gempa Yogyakarta tidak cukup besar sehingga tidak akan menimbulkan mud volcano. Fakta tersebut diperkuat dengan pandangan dari pakar geologi dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya Ir Amien Widodo, MT, yang menyebutkan bahwa semburan lumpur di Sidoarjo bisa dimungkinkan hanya jika efek gempa yang sampai di Porong dan sekitarnya berkekuatan hingga 6 skala Richter (SR). Kenyataannya, efek gempa yang sampai ke Porong dan sekitarnya hanya 2,2 SR.
Dari sisi lain banyak ilmuwan yang meyakini bahwa tragedi lumpur ini murni karena kesalahan manusia, kesalahan teknis yang dilakukan oleh PT Lapindo Brantas. “Yang aku yakini adalah bahwa apa yang terjadi dengan Lapindo itu disebabkan karena kesalahan manusia,” tandas Bosman. PT Lapindo Brantas tidak memasang alat pemboran sesuai perencanaan. Apa yang ditulis Bosman dalam bukunya senada dengan apa yang dituliskan Ali Azhar Akbar pada bukunya yang berjudul Konspirasi di Balik Lumpur Lapindo. Penulis yang sempat dikabarkan hilang itu menulis bahwa terdapat dokumen rapat milik PT Lapindo Brantas yang menyatakan bahwa saat pengeboran mencapai 8.500 kaki, PT Medco Energi sebagai salah satu pemegang saham Lapindo memperingatkan agar operator segera memasang selubung pengaman (casing) berdiameter 9.297 kaki, tapi prosedur baku pengeboran itu diabaikan.
Beberapa cara telah diupayakan untuk menghentikan semburan itu. Sebab bagaimanapun kini dampak buruk yang ditimbulkan semakin meluas. Jika kita mengingat dulu sempat coba untuk dimasukan bola-bola beton untuk mengurangi debit lumpur. “Beberapa hari sempat berkurang memang, tapi kemudian kembali lega,” jelas Bosman. Sikap pemerintah yang tidak tegas menyebabkan isu berkembang sehingga muncullah peraturan presiden yang mengatur pembagian tanggung jawab antara PT Lapindo Brantas dengan pemerintah.
Antara lain perpres yang dikeluarkan adalah perpres no 14 tahun 2007, no 48 tahun 2008, dan 40 tahun 2009. Perpres-perpres yang dikeluarkan tersebut membagi tanggung jawab antara PT Lapindo Brantas dan pemerintah. Untuk penggantian atas kerugian lahan yang terendam yang akhirnya muncul dalam skema jual beli sebagian ditanggung perusahaan itu dan sebagian pemerintah. “Seandainya pemerintah tegas menyatakan bahwa itu memang karena kesalahan teknis maka ganti rugi sepenuhnya ditanggung oleh PT Lapindo Brantas karena itu mengacu pada bencana industri,” tegas Bosman.
Bentuk ganti rugi dihitung dari luas lahan dan nilai bangunan yang berdiri di atasnya. “Uang dibayarkan pada akhir 2006 atau akhir 2007, artinya kalo mengacu pada
perpres harusnya akhir 2008 atau awal 2009 udah selesai. Tapi pada 2009 belum selsesai,” jelas Bosman. Bahkan selanjutnya Lapindo Minarak Jaya, anak perusahaan dari PT Lapindo Brantas, menawarkan skema cicilan yang berarti tiap bulan korban akan mendapat uang senilai 15 juta. Faktanya skema cicilan itu juga tidak lancar. Padahal jika merunut pada perpres maka harusnya pembayaran dilakukan secara langsung.
            Munculnya penawaran skema cicilan membuat masyarakat terbagi menjadi dua. Dua kelompok itu yang pertama adalah yang tetap memperjuangkan pembayaran langsung. “Orang yang menolak cicilan merasa bahwa mereka orang yang taat hukum karena sesuai dengan perpres. Sedang yang menerima dianggap cicilan tidak taat hukum,” jelas Bosman. Proses penghitungan lahan menjadi nilai uang ini juga menimbulkan masalah tersendiri. Secara psikologis maka orang akan menjadi sangat perhatian dengan berapa luas lahan yang dia miliki sampai ke masalah warisan. “Antara saudara pun bisa menjadi gontok-gontokan karena perhitungan lahan,” jelas Bosman. Selain itu pada umumnya masyarakat di sana tak sedikit yang mempunyai lahan begitu luas sehingga jika dibayar dengan skema cicilan bisa membutuhkan waktu berpuluh-puluh tahun.
Namun, menurutnya masalah ini tak sesederhana masalah ganti rugi atas bencana yang terjadi. Kepentingan bisnis dan politik tingkat tinggi juga diyakini memang nyata terjadi. Sebelum lumpur menyembur pada tanggal 29 Mei 2006 bahkan terendus kepentingan dari PT Lapindo Brantas untuk menguasai lahan yang ada. Bosman menuturkan bahwa persuasi yang dilakukan perusahaan besar tersebut adalah akan dijadikannya lahan di sana untuk kepentingan pertanian dan semacamnya. Namun, ketika banyak perangkat tambang muncul seperti truk dan alat bor, masyarakat baru sadar bahwa ada yang tidak beres.
Selama di Porong Bosman banyak melihat bahwa sesungguhnya ada hal yang lebih berharga daripada penghitungan uang lahan. Tatanan sosial masyarakat yang ada, rasa kebersamaan, kekeluargaan, dan hal yang tak nampak sebenarnya memiliki nilai yang jauh lebih banyak. “Misalnya arisan ibu-ibu. Sebenarnya itu merupakan suatu bentuk jaringan pengaman sosial di mana warga bisa saling meminjami uang. Namun akibat bencana  sistem seperti itu menghilang,” jelas Bosman.
Masalah pendidikan, kesehatan, dan ekonomi juga menjadi hal yang perlu dipikirkan. Anak-anak kehilangan sekolah, rawan terkena penyakit terutama pernafasan, dan banyak buruh kehilangan pekerjaan. “Akibat lumpur lapindo banyak pabrik yang tutup dan buruh kehilangan pekerjaannya. Padahal buruh yang rata-rata umurnya sudah tidak muda lagi sehinnga jika melamar ke pabrik lain akan ditolak dengan alasan umur terlalu tua,” papar Bosman. Pembentukkan koperasi perempuan adalah salah satu advokasi yang Bosman dan rekan-rekannya lakukan. Pikiran dan tenaga para pria pada umumnya sudah habis untuk melakukan banyak negosiasi dan demonstrasi memperjuangkan haknya. Demi harusnya berjalannya roda perekonomian maka dibentuklah koperasi.
Tragedi ini memang tak semata hanya bencana saja. Namun sudah banyak kepentingan yang bertahun-tahun tarik ulur terjadi. Sehingga berdampak pada kebijakan-kebijakan yang diambil dan selanjutnya bisa berdampak bagi kondisi sosial masyarakat. Tentu saja advokasi yang dilakukan harus terus dilakuakn dengan evaluasi agar tak latah dan salah arah. Satu hal yang paling penting tentu saja adalah ketegasan pemerintah dalam menyikapi tragedi ini. 
ditulis untuk majalah Kabare Kagama Edisi Wisuda UGM November 2012

Susilo Nugroho Menggeluti Seni Peran Tradisional di Era Global


Susilo Nugroho
Menggeluti Seni Peran Tradisional di Era Global
Keyakinan bahwa sesuatu yang tradisional bukan berarti seuatu yang mandeg dan kaku tapi bisa menyesuaikan dengan perubahan jaman adalah hal yang terus dipegang oleh Susilo Nugroho. Sosok  yang sempat menghiasi dunia pertelevisian Indonesia  di era orde baru lewat perannya sebagai Den Baguse Ngarso ini ternyata hingga kini masih menggeluti seni peran di sela-sela kesibukannya  sebagai pengajar.

Kita tentu masih ingat dengan sosok Den Baguse Ngarso yang sok pintar, sok tau, sombong, dan  nggaya. Tokoh Den Baguse Ngarso yang diperankan oleh Susilo Nugroho selama lebih dari sepuluh tahun ini hadir dalam program Mbangun Deso, acara yang ditayangkan oleh TVRI Yogyakarta saat itu. Acara yang sempat menjadi program favorit masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya kala itu menurut penuturan Susilo Nugroho tadinya merupakan acara yang tidak menarik sama sekali.
“Malah banyak masyarakat yang mematikan televisinya ketika acara tersebut berlangsung,” kisahnya. Hal itu disebabkan Mbangun Deso awalnya merupakan acara yang sangat kaku. Acara yang merupakan program pemerintah orde baru ini berisi macam-macam penyuluhan. Penyuluhan tentang pertanian, keluarga berencana, kesehatan hingga politik dikemas dalam acara itu.
Mengetahui respon negatif dari masyarakat maka konsep acara diubah. Perubahan pertama adalah petugas-petugas dari dinas yang akan melakukan penyuluhan menjadi tokoh utama. Susilo Nugroho yang saat itu menjadi penulis naskah akhirnya mengusulkan untuk menciptakan tokoh utama yang tetap sehingga penonton tidak bingung. Akhirnya ia sendiri pun ditunjuk sebagai pemeran salah satu tokoh yaitu Den Baguse Ngarso. Ada pun tokoh lainnya saat itu antara lain adalah Pak Binah, Sronto, dan Kuramin. Akhirnya acara ini berbentuk semacam sitkom tanpa menghilangkan substansi penyuluhan dan mendapat perhatian yang besar dari masyarakat.
Hingga kini tidak sedikit yang masih mengenali Susilo Nugroho sebagai Den Baguse Ngarso, walau pun acara tersebut sudah tidak tayang lagi. “Kebanyakan yang kenal ya yang umurnya 25 tahunan ke atas, berarti wajah saya tidak banyak berubah ya?” ujarnya sambil tertawa. Untuk pemuda-pemuda biasanya mengenali Susilo Nugroho karena diberitahu orang atau mulut ke mulut sebab mereka tidak mengikuti acara Mbangun Deso.  
Perubahan dari sosok yang dikenal oleh masyarakat luas menjadi sosok yang tidak seterkenal dulu awalnya cukup menjadi beban. Namun, sekarang ia sudah bisa menyesuaikan diri. Apalagi sampai sekarang ia masih menikmati kegiatannya di dunia peran walau tak sesibuk dulu. Beberapa kegiatannya kini antara lain adalah pentas bersama Teater Gandrik dan mengisi salah satu acara di TVRI sebulan sekali. Bersama Teater Gandrik ia biasa pentas di Yogyakrta dan Jakarta. Selain itu laki-laki kelahiran Yogyakarta, 5 Januari 1959 ini juga menjadi pengajar di SMK N 1 Bantul untuk mata pelajaran pemasaran. “Kalo ngajar ya sudah dari dulu sebelum mendapat peran sebagai Den Baguse Ngarso,” jelasnya.
Susilo menjelaskan bahwa dunia pertelevisian kini sudah jauh berbeda dengan dulu. Dulu stasiun televisi didominasi oleh pemerintah dan sekarang banyak televisi swasta bermunculan. Bahkan stasiun televisi lokal pun semakin bertambah. “Namun, dulu dan sekarang sama-sama tidak seimbang. Dulu didominasi pemerintah sekarang pihak swasta yang menguasai,” ujarnya ketika ditanya mengenai kekurangan dunia pertelevisian Indonesia.
Jaman terus berubah seiring dengan perkembangan tekhnologi dan gaya hidup masyarakat saat ini. Susilo Nugroho berpendapat bahwa kehidupan remaja saat ini sangat berbeda dengan masanya dulu. “Saya itu malah heran apa anak muda jaman sekarang ini senang?” paparnya. Ia mencontohkan di sekolah tempatnya mengajar saja jam pelajaran mencapai 48 jam seminggu. Belum lagi masih ditambah les dan kegiatan ekstrakurikuler. Kalau ada waktu senggang sedikit paling sering pergi ke mall.
Susilo Nugroho mengisahkan bahwa ia sangat menikmati masa mudanya dulu. “Sepulang sekolah  kalau mau naik sepeda kita bisa berkeliling kampus mulai dari UGM, UNY, Sanata Dharma, Atma Jaya dan seterusnya pasti ada acara,” kenangnya. Dulu malahan sampai ada arisan teater karena pentas yang jumlahnya banyak dalam satu hari. Arisan teater di sini maksudnya adalah pergiliran pemakaian tempat. Walau dengan teknologi yang minim saat itu peminat teater termasuk banyak. Acara-acara yang ada saat itu mulai dari pentas musik akustik, wayang, kethoprak dan pembacaan puisi. “Sekarang saya sudah setahun hampir setiap hari lewat UGM rasanya sepi-sepi saja,” kisahnya. 
Mengenai rendahnya minat kaum muda masa kini dengan kesenian tradisional Susilo menganggap itu juga karena kesalahan generasi tua. “Generasi tua harusnya mengenalkan seni-seni tradisional pada pemudanya,. Sebab bagaimana pemuda mau tertarik kalau tau saja mereka tidak,” tandasnya. Kini lagu-lagu pop bisa didapat hanya dengan membuka internet lalu mengunduhnya. “Kalo wayang kulit ya gak ada di internet,.Wajar kalau anak sekarang gak tau wayang, lenong, srandul, dan kethoprak, karena yang tua gak mau rekayasa,” paparnya. Dalam hal ini pemerintah menurutnya juga tidak banyak memberi dorongan.
Pengalaman menarik yang pernah dialami oleh Susilo Nugroho salah satunya adalah ketika ia pentas ketoprak. Ada seorang pemuda yang menemuinya di akhir pentas untuk memberi selamat. Ketika ditanya alasan kenapa menonton acara tersebut jawaban pemuda itu adalah karena ia sudah bosan dengan acara televisi dan karena kebetulan adanya kethoprak maka ia menonton kethoprak. “Jawabannya sangat luar biasa,” ucapnya sambil tertawa. Minat terhadap kesenian tradisional memang cenderung menurun. Namun, yang harus dijadikan perhatian adalah tidak hanya mengenai meningkat atau menurunnya. “Permasalahannya adalah sudah jelas turun kok hanya mengeluh,” tegasnya.  Disebabkan tidak adanya peluang bisnis maka orang-orang menjadi tidak mendukung,
Dalam waktu dekat ini Susilo Nugroho mempunyai rencana untuk mengundang pemuda-pemuda dalam acaranya secara gratis. “Jika kursi yang disediakan seratus saya berani menyebar undangan dua ratus,” ucapnya. Hal itu disebabkan belum tentu yang diundang itu tahu mengenai jenis acara yang diadakan. Susilo Nugroho berharap kepada kaum muda jika ingin mengembangkan karya tradisional tidak perlu menunggu yang tua. “Tidak perlu mikir pakem atau kaidah-kaidah yang diwariskan turun temurun. Namun, juga jangan asal beda sehingga merusak,” jelasnya.
Selama ini ia mengaku tetap berusaha mengembangkan seni tradisional karena generasi di bawahnya tidak ada yang memulai. “Kesenian tradisional adalah sesuatu yang bisa dikembangkan. Biasanya anak muda lah yang akomodatif terhadap perkembangan,” jelasnya. Walau pun masih di bawah target ia menjelaskan bahwa ada perkembangan dan keuntungan yang bisa diperoleh dari mengembangkan seni tradisional. Jadi harapan akan kebangkitan seni-seni tradisional masih belum hilang.
ditulis untuk majalah Kabare Kagama Edisi Wisuda UGM Februari 2012

Setyo Adi Purwanta: Memulai Gerak dengan Wacana


Setyo Adi Purwanta: Memulai Gerak dengan Wacana

            `Segala sesuatu yang ada di dunia ini ada karena diadakan. Bila apa yang sudah diadakan itu merugikan eksistensi seseorang  atau bahkan sekelompok orang, maka hal itu harus diubah. Seperti penyebutan kata cacat pada mereka yang berbeda. Kata cacat itu bahkan ada sejak alam bawah sadar, baik pada yang disebut maupun yang menyebut. Membuat kecacatan itu benar-benar ada dan menghantui setiap saat. Untuk menghilangkan rasa kecacatan itu lah Setyo Adi Purwanta, bersama dengan Mansour Fakih dan Sukanthi Raharjo Bintoro melakukan transormasi dan memunculkan kata difabel.
            Tahun 1976 ketika sebuah kecelakaan membuat indera penglihatannya tak berfungsi, Setyo merenungi keadaannya dengan bijaksana. “Saat itu aku membaca Weda Parikrama, Baghawat Gita, Perjanjian Baru, Perjanjian lama, serta Al Qur’an dan hadits. Dari semua itu tidak ada satu firman Tuhan pun yang menyatakan menciptakan manusia dalam keadaan cacat,” jelasnya. Pria kelahiran Malang, 25 September 1953 ini juga terinspirasi oleh kata-kata Sakespeare yang menyatakan bahwa di alam ini tidak ada yang ternoda kecuali pikiran  dan hanya orang yang kejam saja yang pantas disebut cacat.

Memulai Counter Discourse
            Berangkat dari keyakinan bahwa cacat itu tidak ada, Setyo bersama kedua rekannya tadi berdiskusi sehingga terlahirlah kata difabel. “Yang jadi permasalahan itu kan orang dianggap cacat karena dia dianggap tidak mampu, Efek dari cacat adalah ketidakmampuan. Kita harus membalik bagaimana kita sebut ini orang yang mampu. Artinya ini harus dilihat dari kemampuannya sehingga yang disebut adalah kemampuannya” gagas Setyo yang lulus dari program sarjana Filsafat dan Sosial Pendidikan UST ini.
Mansour Fakih menanggapi gagasan tersebut dengan ide bahwa sebagai orang Yogyakarta, adalah sebuah khas untuk melakukan plesetan. Selanjutnya bertransformasilah disable menjadi difable, different ability yang berarti kemampuan yang berbeda.  Sukanthi saat itu mengusulkan untuk menuliskannya dengan cara Indonesia sehingga kata yang lahir adalah difabel. Mulai saat itu lah counter discourse dilakukan. Di segala kesempatan, baik dalam membaca, menulis dan berkata-kata mereka menggunakan kata difabel. Sejak itu kata difabel mulai dikenal dan digunakan oleh masyarakat secara luas.
Ketika disinggung mengenai sikap Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) yang menggunakan istilah people with disability Setyo menjelaskan bahwa itu disebabkan karena sudut pandang yang berbeda. Disabilitas menurut PBB adalah keadaan yang menunjukkan bahwa ada satu kondisi fisik atau organ yang memiliki kelemahan atau  gangguan. Karena ada gangguan ini maka ada efek psikososial dan kemudian muncul lah kondisi hambatan fisik akan aksesibilitas. “Konsep kita beda, kalau orang kakinya diamputasi, dia akan pakai kursi roda, berarti fungsi kaki itu diganti kursi roda, jadi indikasinya fungsi” jelas Setyo.
Selain melakukan perjuangan terhadap hak-hak difabel lewat berbagai tulisan di media massa dan seminar-seminar, Setyo juga mengelola sebuah lembaga swadaya masyarakat yaitu LSM Dria Manunggal. Kegiatan di sana dimulai sejak 1991. “Dria Manunggal merupakan LSM difabel pertama. Kalo sekarang kan LSM itu semua organisasi non pemerintah, untuk dulu LSM adalah organisasi yang dianggap miring oleh negara karena berhadapan dengan pemerintah,” papar Setyo yang kini menjadi CEO di LSM itu.  
LSM Dria Manunggal memiliki tujuan mendorong terbentuknya masyarakat inklusi di mana ada kesetaraan HAM antar sesamanya. Untuk mencapai hal itu Dria Manunggal mempunyai tiga misi. Pertama memperkuat kemampuan difabel, kedua membangun kesadaran masyarakat, dan terakhir mendorong pemerintah untuk memajukan HAM. Semua kegiatan di sana diturunkan dari tiga hal tersebut. Advokasi, melindungi, memenuhi, dan menghormati  hak-hak difabel adalah kegiatan-kegiatan utama.

Dalam Cengkeraman Kapitalis
            Peran negara dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat, dalam hal ini mereka yang difabel, dirasa masih jauh panggang dari api. “Sikap pemerintah itu culke ndhase gondheli buntute, jseolah-olah sudah difasilitasi tapi di belakangnya masih ada tarik ulur,” jelas Setyo. Keadaan ini terjadi karena ideologi kapitalis yang kental. Dalam paradigma kapitalis manusia diakui keberadaannya jika memiliki beberapa indikator. Indikator-indikator itu adalah efektivitas, efisiensi, dan produktivitas. Karena indikator-indikator tersebut muncul lah fenomena-fenomena seperti human investmen dan human resources. Selanjutnya semua itu digunakan sebagai akumulasi modal. Dalam hal ini para difabel dianggap tidak memiliki indikator-indikator tersebut sehingga terpinggirkan.
            Untuk melawan semua itu yang harus dilakukan adalah perang ideologi. Setyo menjelaskan bahwa kita harus membangun ideologi kemanusiaan. Ideologi yang melihat manusia sebagai human being bukan human investmen. Sebenarnya itu sudah termaktub dalam Pancasila. “Peristiwa G30 S itu agendanya menggulingkan Pancasila. Sebab kalau Pancasila menjadi ideologi besar tergulunglah kapitalis,” tegas Setyo. Dengan Pancasila kita harus membangun masyarakat yang inklsuif, menghormati dan menghargai kesetaraan.
            Pendidikan yang diharapkan menjadi salah satu jalan menuju kesejahteraan ternyata juga tak lepas dari cengkeraman kapitalis. Pola pendidikan yang ada di sekolah-sekolah Indonesia adalah pola kompetitif yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan kapitalis. Beberapa hal seperti rangking, sekolah unggulan, dan sistem tidak naik kelas merupakan metoda-metoda kapitalis. “Dalam sekolah inklusi tidak ada yang namanya tidak naik kelas dan iklim yang ada kooperatif. Untuk itu kualitas dan kuantitas sekolah inklusi perlu banyak ditingkatkan” jelas Setyo yang kini juga menjabat sebagai koordinator Pusat Sumber Pendidikan Inklusif Provinsi DIY.

Perlunya Kesadaran Kritis
            Dalam interaksi antara masyarakat difabel dan non difabel dibutuhkan sikap saling menghargai. Namun, hal itu masih belum sempurna terjadi hingga saat ini. Menurut Setyo dalam bergaul dengan difabel masyarakat terbagi dalam dua jenis, yang menganggap itu sebagai urusan mereka dan yang tidak.
Di antara jenis yang pertama masih ada tiga kelompok lagi. Pertama adalah kelompok dengan kesadaran magis yang menganggap difabel sebagai pemberian Tuhan. Sehingga yang mereka lakukan adalah berdoa atau paling signifikan membangun panti asuhan. Kedua adalah kelompok dengan kesadaran naïf. Pada kelompok ini yang dipentingkan adalah kemampuan untuk bersaing. Sehingga yang dilakukan adalah memberikan pelatihan-pelatihan bagi difabel.
Kelompok terakhir adalah mereka dengan kesadaran kritis. Kelompok ini yakin bahwa difabel punya kemampuan. Mereka percaya bahwa difabel menjadi tidak punya kemampuan karena tidak dipunyakan, dicacatkan dan sebagainya. Mereka mengusahakan bagaimana agar difabel menjadi diri mereka sendiri. Selain itu juga menggulirkan wacana untuk membongkar kesadaran masyarakat terhadap kemampuan difabel dengan gerakan-gerakan yang menentang diskriminasi.
Namun, Setyo mengakui bahwa gerakan difabel di Indonesia hingga saat ini masih setengah-setengah. Hal itu terjadi karena kebanyakan gerakan difabel dimulai dari masyarakat kelas menengah. Sementara itu difabel kelas menengah masih sedikit. Untuk memaksimalkan itu gerakan difabel perlu beraliansi dengan gerakan lain. Memasukkan isu difabel dalam isu lain, seperti isu keselamatan kerja yang berpotensi menyebabkan difabel, isu eksploitasi tenaga kerja, dan isu kekerasan terhadap anak.
Untuk mewujudkan semua itu tentu dibutuhkan kesadaran dari seluruh elemen masyarakat. Namun, Setyo masih yakin dan optimis bahwa gerakan difabel akan mengalami kemajuan. “Seperti di Amerika Latin, gerakan difabel di sana sudah begitu cantik dan massif,” harapnya di akhir perbincangan.

ditulis untuk majalah Kabare Kagama Edisi Wisuda UGM Agustus 2012

Ahmad Bahruddin: Pendidikan Yang Lain


Ahmad Bahruddin: Pendidikan Yang Lain

Mohammad Hatta mengatakan pendidikan adalah kunci. Anies Baswedan mengatakan bahwa dengan pendidikan maka akan tercapai kecerdasan yang disusul dengan kesejahetraan. Ahmad Bahruddin pun punya pandangannya sendiri tentang pendidikan. Tak hanya pandangan, berbagai tindakan pun telah dilakukan.Di desa Kalibening yang masih bertahan dengan kedamaian dan ketenangannya Bahruddin melakukan sesuatu yang lain terkait pendidikkan.

            Tahun ajaran baru barangkali hal yang menyenangkan bagi mereka yang akan menjalani sekolah. Namun, bagi orang tua murid yang harus membiayainya maka tahun ajaran baru, apalagi memasuki sekolah baru tak jarang menjadi permasalahan ekonomi tersendiri. “Dulu kan belum ada dana BOS, undang-undang belum memaksa alokasi anggaran yang 20 persen ke pendidikan itu, jadi memang masih berat,” kenang Bahruddin, yang pada awal pendirian Komunitas Belajar Qoryah Thayyibah merupakan ketua RW sekaligus ketua Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah (SPPQT). Pada tahun 2003 itu untuk masuk ke sebuah sekolah menengah pertama harus membayar uang gedung sebesar Rp 750.000,00 dan itu masih ditambah biaya untuk keperluan lain.
            Melihat masalah itu maka pria lulusan Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang Cabang Salatiga pada 1993 menawarkan ide untuk membuat sekolah sendiri. “Jadi konsep awalnya merupakan konsep SMP Terbuka di mana kita harus menginduk ke SMP negeri,” kisahnya. Satu setengah tahun berjalan di bawah smp induk mulai timbul rasa tidak nyaman. “Ketika dibina oleh SMP induk secara psikologis teman-teman tidak nyaman. Karena sudah  terbiasa dengan kebebasan, kegiatan participatory. Maka pembinaan yang top down membuat tidak nyaman,” papar Bahruddin.
Maka sekitar akhir tahun 2004 muncul ide untuk melepaskan diri dengan SMP induk. Dinas pendidikkan setempat akhirnya mengijinkan asal tahun ketiga diselesaikan terlebih dulu. Setelah tak terikat lagi dengan SMP induk maka Komunitas Belajar Qoryah Thayyibah (KB QT) berkembang hingga kini. Konsep-konsep yang nantinya dipakai dalam KB QT ini sedikit banyak terinspirasi dari pemikiran-pemikiran Ivan Illich dan Paulo Freire. “Sejak mahasiswa saya sudah terpikir tentang konsep Ivan Illich dan itu memang skripsi saya,” jelas Bahruddin

Belajar Itu Berproduksi
            Akses internet merupakan hal penting untuk media komunikasi dan memperluas wawasan. Oleh karena itu Bahruddin mengusahakan adanya akses tersebut demi perkembangan anak-anak KB QT. “Tujuan utamanya adalah bridging digital divide, menjembatani kesenjagan digital,” jelas Bahruddin. Namun, kemudian ia berpikir kembali bahwa ketika mesin cetak diciptakan orang-orang menjadi gemar membaca dan mengurangi menulis.
 Menurutnya kegiatan membaca tanpa menulis merupakan hal yang sangat kontraproduktif. “Ternyata kan sekarang sangat kita rasakan.  Bahwa itu kontraproduktif.  Misal, saatnya mencangkul malah facebook-an. Itu masih lumayan ada interaksi.  Tapi kalo udah download wah sudah tidak karuan dan tak terkendali,” tegasnya. Kemudian ditambahkan konsep multipurpose.  Jadi diharapkan telecenter yang ada ini justru bisa menggalakkan produksi.
            Bahruddin menekankan bahwa indikator konsumsi juga kini dipakai dalam dunia pendidikkan Indonesia. Misalnya anak yang menghafal rumus paling banyak, yang mendapat nilai tinggi karena paling banyak mengingat. Itu lah yang dianggap hebat. Konsep tes atau ujian juga termasuk dalam konsumsi karena yang dinilai adalah bila anak menguasai atau hafal betul pelajaran yang diberikan.  Bahruddin berkeyakinan bahwa yang dipakai harusnya adalah indikator produksi. Sehingga yang harus dilakukan adalah menghargai ide anak bahkan juga memicu agar anak memiliki berbagai idenya sendiri.
            Bicara mengenai kurikulum maka apa yang diterapkan di KB QT jauh berbeda dengan pendidikan formal. Tak hanya tak berseragam tapi materi yang ingin dipelajari juga ditentukan oleh anak-anak. Mencari materi dan mempresentasikan juga dilakukan anak-anak dengan binaan guru pendamping. Di luar kegiatan akademik ada berbagai kegiatan yang bisa dilakukan anak-anak sesuai minatnya seperti teater, musik, menulis, dan lainnya. Bahkan beberapa anak-anak KB QT sudah mempunyai karya berupa buku, rekaman musik, dan film. Secara akademis anak-anak KB QT pun tak kalah, bahkan lebih unggul dibandingkan anak-anak sekolah formal. Maka tak heran jika KB QT merupakan fakta yang menarik sehingga berbagai universitas, sma, warga asing, dan institusi lain berkunjung ke sana demi melihat KB QT lebih dekat. Ahmad Bahruddin pun bukan sosok yang asing jika mengisi seminar atau diskusi tentang pendidikan.
            “Hal yang penting adalah menghargai ide apapun yang dimiliki anak,” tandas Bahruddin. Hari Senin di KB QT kita tidak akan menemukan upacara bendera. Sebab apa yang disebut upacara di sana adalah kegiatan setor ide. Setiap anak boleh menceritakan ide apapun tentang apapun kepada teman-teman sekelas. Bahruddin berkeyakinan bahwa anak tidak boleh menjadi objek apalagi didikte. “Mereka harus menjadi subjek,” tegasnya.

Tentang Pendidikan Indonesia
            Masalah pendidikan di Indonesia sudah teramat kompleks. Hal itu karena dunia pendidikan kini terjebak dengan aturan-aturan, birokrasi, dan  cara pandang masa lalu. “Harus ada perubahan yang fundamental. Mestinya pemikiran konstruktivisme yang digunakan sekarang. Itu yang paling sesuai dengan era revolusi IT,” jelas Bahruddin. Bahkan ia mengatakan ekstrimnya jaman sekarang model persekolahan  harusnya tidak ada. Hal penting yang harus dipahami adalah bahwa belajar tidak hanya dilakukan di sekolah saja. Sekolah bukan satu-satunya tempat belajar. Masih ada keluarga, masyarakat dan lingkungan sekitar dan itu merupakan tempat belajar yang sesungguhnya.
            Jika ada anak yang harus menempuh jarak berkilo-kilo meter untuk menuju sekolah atau berenang untuk sampai ke sekolah maka itu adalah proses belajar yang sesungguhnya. Selanjutnya ia juga menjelaskan bahwa pendidikan kita harus bebas dari komersialisasi. “Dalam kacamata kapitalis guru itu sumber produksi, jadi memang dia perusahaan jasa, kemudian sekolah juga menjadi perusahaan jasa. Guru dibayar sampai per jam, satu jam dibayar berapa, guru menjadi  kan pekerja. Manajemennya pendidikan sudah sama dengan manajemen perusahaan dengan kepala sekolah sebagai manajer.
            Untuk menggeser paradigma bahwa sekolah merupakan satu-satunya tempat belajar Bahruddin mengusulkan bahwa setelah selesai sekolah maka anak-anak hendaknya juga berkumpul dengan teman-teman sedesa untuk belajar bersama membentuk komunitas belajar. Belajar bisa apa saja, terserah yang diinginkan asalkan hal yang positif dan bisa memebrdayakan masyarakat lokal sehingga menjadi masyarakat yang unggul.
            Bahruddin juga menyatakan bahwa seharusnya pendidikan tidak menjauhkan anak dari tempat asalnya. Sebab fenomena sekarang mereka yang menempuh pendidikan tinggi kebanyakan memilih tinggal di kota daripada membangun desa sendiri. “Saya pernah denger di daerah Madura warga mengirim pemuda belajar tentang pertanian ke perguruan tinggi dalam rangka membangun pertanian di daerah asal. Yang penting pemuda itu akhirnya kembali dan membangun desanya. Itu merupakan contoh yang bagus. Jadi mereka yang kuliah tidak tercerabut dari akarnya,” jelas Bahruddin.
            Dari banyak hal yang diperbincangkan Bahruddin menekankan pentingnya keadilan sebagai kunci. “Di dunia ini tidak ada yang pasti. Terkadang ada hal-hal yang harus diubah atau dipertahankan. Kuncinya adalah keadilan jika masih ada ketidakadilan maka hal itu harus dirubah agar menjadi adil,” jelasnya. Entah dalam pendidikan, hukum, ekonomi, dan bermasyarakat jika masih ada ketidakadilan maka harus dilakukan perubahan.

 ditulis untuk majalah Kabare Kagama Edisi Wisuda UGM November 2012