Bosman Batubara: Menilik
Kembali Lumpur Sidoarjo
Pada 29 Mei 2006
lumpur panas menyembur di area pengeboran milik PT Lapindo Brantas. Lumpur menyembur hingga ketinggian 40 meter pada jarak 150 meter dari
lokasi pengeboran. Enam tahun telah berlalu sejak hari itu, tetapi hingga
kini semburan itu belum berhenti. Telah banyak wacana, perdebatan, hingga
beberapa peraturan presiden, dan berbagai advokasi dilakukan terkait penanganan
peristiwa tragis ini. Faktanya tragedi itu masih menyisakan berbagai
permasalahan yang belum tertangani secara tuntas.
Empat tahun setelah semburan lumpur itu
muncul, Bosman Batubara alumni Fakultas Teknik Jurusan Teknik Geologi UGM
bertandang ke Porong untuk turut serta melakukan advokasi. Tidak sendirian,
advokasi yang dia lakukan sebelumnya telah didahului oleh rekannya, Paring
Wahyu Utomo, pada tahun 2006. Dari banyak proses wawancara yang mereka lakukan
terhadap masyarakat dari kedai kopi ke kedai kopi dan banyak advokasi mereka
berdua akhirnya melahirkan sebuah karya dalam bentuk buku berjudul “Kronik
Lumpur Lapindo Bencana Industri dan Bisnis Lumpur Lapindo”.
Terkait semburan
lumpur yang kini genangannya telah meluas berkali-kali lipat itu ada isu yang
sangat penting sehingga berdampak pada keluarnya beberapa peraturan presiden. “Isu
yang penting adalah mengenai apakah semburan itu termasuk bencana alam atau kah
bencana industri,” jelas Bosman. Gempa di Yogyakarta dijadikan salah satu
faktor untuk menyusun teori lempeng tektonik yang mengarahkan isu ini pada
bencana alam.
Namun, penelitian
membuktikan bahwa getaran dari pusat gempa Yogyakarta tidak cukup besar
sehingga tidak akan menimbulkan mud
volcano. Fakta tersebut diperkuat dengan pandangan dari pakar geologi dari
Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya Ir Amien Widodo, MT, yang
menyebutkan bahwa semburan lumpur di Sidoarjo bisa dimungkinkan hanya jika efek
gempa yang sampai di Porong dan sekitarnya berkekuatan hingga 6 skala Richter
(SR). Kenyataannya, efek gempa yang sampai ke Porong dan sekitarnya hanya 2,2
SR.
Dari
sisi lain banyak ilmuwan yang meyakini bahwa tragedi lumpur ini murni karena
kesalahan manusia, kesalahan teknis yang dilakukan oleh PT Lapindo Brantas. “Yang
aku yakini adalah bahwa apa yang terjadi dengan Lapindo itu disebabkan karena
kesalahan manusia,” tandas Bosman. PT Lapindo Brantas tidak memasang alat pemboran
sesuai perencanaan. Apa yang ditulis Bosman dalam bukunya senada dengan apa
yang dituliskan Ali Azhar Akbar pada bukunya yang berjudul Konspirasi di Balik
Lumpur Lapindo. Penulis yang sempat dikabarkan hilang itu menulis bahwa
terdapat dokumen rapat milik PT Lapindo Brantas yang menyatakan bahwa saat
pengeboran mencapai 8.500 kaki, PT Medco Energi sebagai salah satu pemegang
saham Lapindo memperingatkan agar operator segera memasang selubung pengaman (casing) berdiameter 9.297 kaki, tapi
prosedur baku pengeboran itu diabaikan.
Beberapa
cara telah diupayakan untuk menghentikan semburan itu. Sebab bagaimanapun kini dampak
buruk yang ditimbulkan semakin meluas. Jika kita mengingat dulu sempat coba
untuk dimasukan bola-bola beton untuk mengurangi debit lumpur. “Beberapa hari
sempat berkurang memang, tapi kemudian kembali lega,” jelas Bosman. Sikap
pemerintah yang tidak tegas menyebabkan isu berkembang sehingga muncullah
peraturan presiden yang mengatur pembagian tanggung jawab antara PT Lapindo
Brantas dengan pemerintah.
Antara
lain perpres yang dikeluarkan adalah perpres no 14 tahun 2007, no 48 tahun
2008, dan 40 tahun 2009. Perpres-perpres yang dikeluarkan tersebut membagi
tanggung jawab antara PT Lapindo Brantas dan pemerintah. Untuk penggantian atas
kerugian lahan yang terendam yang akhirnya muncul dalam skema jual beli
sebagian ditanggung perusahaan itu dan sebagian pemerintah. “Seandainya
pemerintah tegas menyatakan bahwa itu memang karena kesalahan teknis maka ganti
rugi sepenuhnya ditanggung oleh PT Lapindo Brantas karena itu mengacu pada
bencana industri,” tegas Bosman.
Bentuk
ganti rugi dihitung dari luas lahan dan nilai bangunan yang berdiri di atasnya.
“Uang dibayarkan pada akhir 2006 atau akhir 2007, artinya kalo mengacu pada
perpres harusnya akhir
2008 atau awal 2009 udah selesai. Tapi pada 2009 belum selsesai,” jelas Bosman.
Bahkan selanjutnya Lapindo Minarak Jaya, anak perusahaan dari PT Lapindo
Brantas, menawarkan skema cicilan yang berarti tiap bulan korban akan mendapat
uang senilai 15 juta. Faktanya skema cicilan itu juga tidak lancar. Padahal
jika merunut pada perpres maka harusnya pembayaran dilakukan secara langsung.
Munculnya penawaran skema cicilan membuat masyarakat
terbagi menjadi dua. Dua kelompok itu yang pertama adalah yang tetap memperjuangkan
pembayaran langsung. “Orang yang menolak cicilan merasa bahwa mereka orang yang
taat hukum karena sesuai dengan perpres. Sedang yang menerima dianggap cicilan
tidak taat hukum,” jelas Bosman. Proses penghitungan lahan menjadi nilai uang
ini juga menimbulkan masalah tersendiri. Secara psikologis maka orang akan
menjadi sangat perhatian dengan berapa luas lahan yang dia miliki sampai ke
masalah warisan. “Antara saudara pun bisa menjadi gontok-gontokan karena perhitungan lahan,” jelas Bosman. Selain itu
pada umumnya masyarakat di sana tak sedikit yang mempunyai lahan begitu luas
sehingga jika dibayar dengan skema cicilan bisa membutuhkan waktu berpuluh-puluh
tahun.
Namun,
menurutnya masalah ini tak sesederhana masalah ganti rugi atas bencana yang
terjadi. Kepentingan bisnis dan politik tingkat tinggi juga diyakini memang
nyata terjadi. Sebelum lumpur menyembur pada tanggal 29 Mei 2006 bahkan
terendus kepentingan dari PT Lapindo Brantas untuk menguasai lahan yang ada.
Bosman menuturkan bahwa persuasi yang dilakukan perusahaan besar tersebut
adalah akan dijadikannya lahan di sana untuk kepentingan pertanian dan
semacamnya. Namun, ketika banyak perangkat tambang muncul seperti truk dan alat
bor, masyarakat baru sadar bahwa ada yang tidak beres.
Selama
di Porong Bosman banyak melihat bahwa sesungguhnya ada hal yang lebih berharga
daripada penghitungan uang lahan. Tatanan sosial masyarakat yang ada, rasa
kebersamaan, kekeluargaan, dan hal yang tak nampak sebenarnya memiliki nilai
yang jauh lebih banyak. “Misalnya arisan ibu-ibu. Sebenarnya itu merupakan
suatu bentuk jaringan pengaman sosial di mana warga bisa saling meminjami uang.
Namun akibat bencana sistem seperti itu
menghilang,” jelas Bosman.
Masalah
pendidikan, kesehatan, dan ekonomi juga menjadi hal yang perlu dipikirkan.
Anak-anak kehilangan sekolah, rawan terkena penyakit terutama pernafasan, dan
banyak buruh kehilangan pekerjaan. “Akibat lumpur lapindo banyak pabrik yang
tutup dan buruh kehilangan pekerjaannya. Padahal buruh yang rata-rata umurnya
sudah tidak muda lagi sehinnga jika melamar ke pabrik lain akan ditolak dengan
alasan umur terlalu tua,” papar Bosman. Pembentukkan koperasi perempuan adalah
salah satu advokasi yang Bosman dan rekan-rekannya lakukan. Pikiran dan tenaga
para pria pada umumnya sudah habis untuk melakukan banyak negosiasi dan
demonstrasi memperjuangkan haknya. Demi harusnya berjalannya roda perekonomian
maka dibentuklah koperasi.
Tragedi
ini memang tak semata hanya bencana saja. Namun sudah banyak kepentingan yang
bertahun-tahun tarik ulur terjadi. Sehingga berdampak pada kebijakan-kebijakan
yang diambil dan selanjutnya bisa berdampak bagi kondisi sosial masyarakat. Tentu
saja advokasi yang dilakukan harus terus dilakuakn dengan evaluasi agar tak
latah dan salah arah. Satu hal yang paling penting tentu saja adalah ketegasan
pemerintah dalam menyikapi tragedi ini.
ditulis untuk majalah Kabare Kagama Edisi Wisuda UGM November 2012