Sabtu, 23 Juni 2012

Pencemaran Sungai dan Hutan dan Pemrosesan Informasi


Permasalahan
            Bangsa Timur dikenal sebagai bangsa yang ekosentris.          Bangsa yang menjujung tinggi penghormatannya terhadap alam. Bangsa yang menempatkan alam sebagai makhluk yang juga mempunyai haknya. Semua itu terlihat jelas dari ajaran-ajaran Lao Tse dan mistisisme rakyat Jawa. Mistisisme suku Jawa, seperti mengkeramatkan pohon beringin, dianggap sebagai satu upaya untuk melestarikan pohon yang bisa menghasilkan persediaan air tersebut.
Suku Jawa dan juga sebenarnya nenek moyang bangsa Indonesia adalah penganut animisme dan dinamisme. Jadi bangsa kita, jika melihat dari asal muasal nenek moyang kita, adalah bangsa yang mempercayai alam merupakan sesuatu yang harus kita hormati. Bahkan alam akan marah jika kita tidak memperlakukannya dengan baik.
Namun, jaman terus berkembang. Dari bangsa yang primitive kita telah ikut dalam arus modernitas. Sikap dan perilaku kita pun berubah-ubah. Sayangnya, perubahan yang terlihat adalah perubahan ke arah yang negatif. Salah satu hal yang mencolok adalah mengenai pencemaran sungai. Pencemaran sungai terjadi tak hanya di kota-kota besar saja. Masyaraka desa pun agaknya sudah mulai membuang sampah di sungai-sungai bahkan sungai kecil yang diperlukan untuk irigasi.
Sungai terkenal di Jakarta misalnya, Ciliwung, sudah tercemar berat. Kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Depok, Rahmat Subagio, yang didampingi Kabid Pemantauan Lingkungan, Kania Parwanti, menyatakan hasil penelitian di laboratorium menunjukkan bahwa kualitas air Sungai Ciliwung sudah tidak dapat lagi dimanfaatkan sebagai sumber bahan baku PDAM di Kota Depok (kompasiana.kompas.com). Namun, nyatanya masih banyak warga yang memakainya unuk keperluan sehari-hari seperti mencuci dan memasak.
Selanjutnya Sungai Citarum juga telah mengalami pencemaran yang begitu memprihatinkan. Dari hasil penelitian yang di lakukan terhadap 7 sungai utama yaitu Cimanuk, Citarum,Cisadane,Kali Bekasi, Ciliwung, Citanduy, dan Cilamaya, kesemuanya menunjukan status D atau kondisi yang sangat buruk (tarungnews.com). Limbah Sungai Citarum berasal dari limbah domestik hingga industri. Sungai Bengawan Solo juga tak luput dari pencemaran.
Mengenai penanganannya sendiri sebenarnya sudah beberapa dilakukan. Namun, ada yang dirasa kurang serius atau sulit karena memang membutuhkan biaya yang  tidak sedikit. Dibutuhkan setidaknya Rp13,3 triliun pertahun untuk memulihkan pencemaran 40 sungai atau mencapai 76,3% dari 53 sungai di Jawa, Sumatera, Bali, dan Sulawasi (bisnis.com).  Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton) atau Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah menilai penanganan pencemaran Sungai Surabaya yang dilakukan pemerintah setempat tidak serius. Ada beberapa penyebab tingginya pencemaran di Kali Surabaya di antaranya karena penegakan hukum terhadap pencemaran kurang maksimal (metrotvnews.com).
Masalah yang coba diangkat dalam paper ini adalah dinamika masyarakat yang tinggal di lingkungan kumuh  ditinjau dari perspektif psikologi lingkungan. 
Kajian Teori dan Beberapa Penelitian
a.       Teori Beban Lingkungan
Teori ini mempunyai beberapa asumsi menurut Cohen (Fisher 1985 dalam Veicth dan Arkkelin 1995 dalam Helmi 1999), yaitu:
1.      Manusia mempunyai keterbatasan dalam pemrosesan informasi.
2.      Ketika stimulus melebihi kapasitas pemrosesan informasi maka proses perhatian tidak akan optimal.
3.      Respon adaptif dibutuhkan saat stimulasi berlangsung.
4.      Perhatian yang diberikan tidak konstan sepanjang waktu, tapi sesuai kebutuhan
Menurut teori ini yang penting diperhatikan adalah kapasitas dan pemorosesan.
b.      Teori Hambatan Perilaku
Teori ini menjelaskan tentang hilangnya control ketika stimulasi yang ada tidak diinginkan. Ketika itu terjadi maka orang akan mencoba untuk mengatasinya. Jika itu gagal maka disebut learned helplessness. Teori ini dikembangkan oleh Altman. Konsep penting dari Altman adalah tentang pentingnya privasi. Privasi dapat diperoleh dengan cara menciptakan personal space, teritori, komunikasi verbal dan non verbal (Helmi, 1999). Sementara itu Averril mengatakan bahwa control terhadap lingkungan ada tiga jenis yaitu control kognitif, control perilaku, dan control lingkungan.
c.       Penelitian Persepsi dan Perilaku Masyarakat dalam Pelestarian Hutan Sebagai Daerah Resapan Air
Menurut kajian teori fungsi utama hutan adalah lindung terlepas dari bentuk pemanfaatannya (hutan produksi, suaka alam, dan sebagainya). Sehingga aktivitas budidaya seharusnya tidak boleh berlokasi di kawasan lindung karena akan mengganggu fungsi lindung itu sendiri. Sedangkan menurut persepsi masyarakat, hutan memiliki banyak fungsi (fungsi majemuk) (Umar, 2009). Selain itu diketahui juga bahwa masyarakat tidak punya pengetahuan yang menyeluruh tentang hutan sehingga tidak mengerti mengenai kewajiban-kewajibannya sehingga kurang menjaga kelestarian hutan.
 Menurut persepsi masyarakat pula mereka bukan bagian dari pengelola kelestarian hutan sehingga tidak turut serta dalam penjagaan hutan. Masyarakat memiliki persepsi bahwa hutan merupakan aset milik umum (common property) sehingga mereka merasa berhak mengelola hutan dan memiliki kewajiban memelihara kelestarian hutan sebagai daerah resapan air. Timbulnya persepsi tersebut erat kaitannya dengan kepentingan masyarakat untuk memiliki akses terhadap sumber daya hutan sebagai sumber mata pencaharian (Umar, 2009).
d.      .Pola Perilaku Kebersihan: Studi Psikologi Lingkungan Tentang Penanggulangan Sampah Perkotaan
Sampah sebagai stimulus diolah melalui peta kausal pelaku, digabung-gabungkan dengan informasi yang sudah tersimpan dalam ingatan, untuk kemudian diinterpretasi dan diberi makna tertentu. Makna tersebut, menentukan tindakan-tindakan yang akan dilakukan oleh subyek. Dapat dinyatakan bahwa tindakan-tindakan terhadap sampah didasari oleh makna subyektif pelaku (Wibowo, 2009)
Pola perilaku kebersihan (PPK) dibangun, dibentuk, diorganisasikan terus-menerus melalui tindakantindakan penghuni, tatanan kejadian-kejadian yang membentuk pola perilaku kebersihan ditentukan oleh resources (sumber daya setting) dan faktor kontekstual yang melingkupinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tindakan penghuni secara kolektif terhadap sampah yang terjadi secara terus menerus dari hari ke hari merupakan proses yang membentuk pola perilaku kebersihan yang relatif menetap. Rangkaian tindakan kolektif yang selaras dengan motif bersama (memelihara kebersihan lingkungan) yang berdampak lingkungan bersih, membentuk pola perilaku kebersihan. Dengan demikian program kebersihan dapat dinyatakan sebagai pembentukan pola perilaku kebersihan . Sebaliknya rangkaian tindakan kolektif yang tidak selaras dengan motif bersama dan berdampak lingkungan kotor membentuk pola perilaku yang dinyatakan sebagai pola perilaku kebersihan.
e.       Sumbangan Kota Bandung terhadap Pendangkalan Sungai Ci Tarum
Pemerintah dengan UU maupun PP sudah menetapkan aturan mengenai penjagaan terhadap kelestarian sungai. Namun, masyarakat merasa UU dan PP itu tidak penting sebagaimana mereka lakukan. Proses Penyadaran akan lingkungan perlu dilakukan sejak dini mulai dari institusi keluarga hingga pendidikan dan level masyarakat. Etika Lingkungan sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Apabila hal ini dilaksanakan maka kerusakan lingkungan dapat diatasi sedini mungkin (Pasya, 2009).
Pembahasan
            Tidak dapat dipungkiri dalam menjalani kehidupan modernnya ini manusia Indonesia memperlakukan alam sebagai objek dan mereka sebagai subjek yang bisa mengeksplorasi alam semampu mereka. Pasalnya ini tidak terjadi dalam level industri saja namun juga terjadi dalam level sosial masyarakat desa yang notabene lebih dekat dengan alam secara fisik. Sebagai contoh penelitian Umar (2009) yang menyatakan bahwa masyarakat tidak memiliki persepsi sebagai bagian dari penjaga hutan dan meyakini bahwa hutan merupakan milik umum dan memilki fungsi majemuk termasuk untuk pemenuhan kebutuhan mereka.
            Salah satu aspek psikologis yang menarik untuk disoroti dalam kasus ini adalah aspek kognitif. Sebab dinamika proses terbentuknya informasi mengenai sungai yang tercemar, sebab-sebabnya, hingga penangananya merupakan rangkaian proses kognitif yang terkait satu sama lain.
            Terkait dengan aspek kognitif dalam psikologi lingkungan hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Gestalt bahwa yang menentukan dalam hubungan manusia dan lingkungan adalah persepsi. Kenyatannya masyarakat memang lebih  mengutamakan persepsi dan menggunakan itu sebagai alat pengambil keputusan. Misalnya membuang sampah sedikit di sungai akan dipersepsikan sebagai kegiatan yang biasa karena sampah yang dibuang sedikit. Apalagi jika rumahnya di tepi sungai maka membuang sampah dipersepsikan sebagai suatu yang wajar. Akibatnya, peraturan yang sudah ada kurang diperhatikan.
Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Cohen bahwa stimulus yang kurang tidak akan mendapatkan perhatian dari subjek. Dalam hal peraturan mengenai penjagaan hutan  maupun sungai, harus diberikan sosialisasi yang terus menerus dan komunikatif sehingga masyarakat akan menginternalisasi  informasi itu dan mengimplementasikan peraturan-peraturan itu. Selain itu sesuai dengan teori kontrol maka pemimpin masyarakat harus mampu memberi contoh perilaku menjga lingkungan yang baik agar bisa menjadi teladan bagi masyarakatnya.
Ketika beberapa hal yaitu informasi yang terus menerus dan teladan dari pimpinan mengenai perilaku menjaga alam ada, maka dalam pikiran individu akan benar-benar terbentuk pemahaman mengenai itu. Informasi yang ada akan diakomodasi dan diasimilasi sehingga terbentuk konstruk yang logis mengenai bagaimana kita harus menjaga alam, khususnya sungai dan hutan.
Masyarakat memang bisa menjadi dan korban sekaligus terkait kerusakan sungai. Dalam artikel penelitian Pasya  misalnya  yang bertajuk Sumbangan Kota Bandung terhadap Pendangkalan Sungai Citarum. Dalam tulisan Pasya tersebut dijelaskan bahwa pendangkalan sungai Citarum sebagian besar disebabkan oleh perilaku masyarakat yang membuang sampah di sekitar aliran sungai. Meskipun berbagai peraturan baik PP maupun UU sudah dikeluarkan oleh pihak terkait masyarakat tetap tidak mempedulikannya. Sementara itu Wibowo menjelaskan bahwa sampah sebagai stimulus diolah melalui peta kausal pelaku. Stimulus dari sampah  ini digabung-gabungkan dengan informasi yang sudah tersimpan dalam ingatan, untuk kemudian diinterpretasi dan diberi makna tertentu. Bagaimana membentuk makna ini kemudian menjadi penting. Paling tidak masyarakat harus memaknai bahwa pembuangan sampah secara sembarangan merupakan hal yang buruk dan lebih baik lagi jika masyarakat memaknai bahwa sungai merupakan bagian dari kehidupan mereka yang harus pula dijaga.
Di samping masalah kejelasan sanksi dan juga bagaimana mengawasi setiap sungai saat agar tahu individu mana yang melanggar peraturan, seseungguhnya yang paling penting adalah memahamkan betul kepada masyarakat mengenai mengapa penting menjaga sungai. Informasi mengenai pentingnya menjaga sungai dan juga dampak pencemaran terhadap masa depan perlu disampaikan dengan bahasa yang komunikatif. Penetapan peraturan tanpa masyarakat menginternalisasi pencemaran dan dampaknya tidak akan efektif apalagi dengan pemasangan plang-plang UU atau PP yang kaku dan sulit dipahami. Ketika bahasa komunikatif dan pendekatan personal diterapkan maka masyarakat akan merasa menjadi bagian dari pelaku penjaga sungai yang nantinya juga akan merasakan manfaat dari hal itu.
            Dalam kaitannya dengan perhatian maka menjaga hutan memang bukan menjadi perhatian utama masyarakat. yang menjadi perhatian utama dan mengalahkan yang lain adalah kebutuhan sehari-hari mereka. Dalam hal perusakan hutan maupun pencemaran sungai masyarakat lebih difokuskan pada kebutuhan akan pemenuhan sandang dan pangan sehari-hari sehingga masalah penjagaan hutan atau sungai tidak terpikirkan oleh mereka. Hal itu sesuai dengan teori beban lingkungan yang menyatakan bahwa manusia mempunyai keterbatsan dalam pemrosesan informasi.
            Kerusakan lingkungan akhirnya menjadi sesuatu yang disebut learned helplessness yaitu kegagalan yang dipelajari dan menjadi suatu kebiasaan. Sehingga proses penyadaran bahwa hal itu merupakan hal yang sangat merugikan dan bisa diatasi perlu ditanamkan sejak dini mulai dari institusi pendidikan hingga campur tangan pemerintah lokal maupun nasional.

Kesimpulan
            Kerusakan lingkungan terus menerus terjadi karena beberapa hal sebagai berikut:
1.      Manusia yang mengutamakan pemenuhan kebutuhan fisik sehingga tidak punya perhatian terhadap lingkungan.
2.      Perhatian yang tidak ada itu karena manusia mempunyai keterbatasan dalam hal pemrosesan informasi.
3.      Sosialiasasi peraturan yang seharusnya menjadi stimulus untuk membuat masyarakat peduli namun kurang intensitasnya sehingga tidak menjadi perhatian bagi masyarakat.
4.      Learned  helplessness yang terjadi pada masyarakat menjadikan fenomena penecemaran lingkungan menjadi sesuatu yang wajar.

Rekomendasi
            Sedikit sumbangan ide untuk masalah pencemaran sungai dan kerusakan hutan:
1.      Membangkitkan perhatian masyarakat (target adalah kognitif masyarakat) terhadap lingkungan dengan komunikasi verbal seperti: penyuluhan rutin. Terutama di daerah-daerah kumuh yang sudah parah pencemarannya. Dengan komunikasi non verbal seperti tanda pelarangan membuang sampah dan plang-plang berisi peringatan dengan bahasa yang komunikatif.
2.      Menyadarkan bahwa lingkungan merupakan milik kita yang harus dijaga. Jadi menyadarkan bahwa lingkungan adalah bagian dari keseharian kita (meningkatkan place attachment) dengan cara kerja bakti, pemasangan plang-plang yang berisi tulisan bahwa alam milik kita. Contoh, seperti yang dilakukan  Romomangun dulu dengan cara menghadapkan rumah ke arah sungai sehingga secara otomatis masyarakat akan mempunyai perhatian terhadap sungai.
3.      Mempertegas sanksi bagi yang melanggar. Itu sekaligus mempertegas aturan yang ada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar