Ahmad Bahruddin: Pendidikan Yang Lain
Mohammad Hatta mengatakan pendidikan adalah
kunci. Anies Baswedan mengatakan bahwa dengan pendidikan maka akan tercapai
kecerdasan yang disusul dengan kesejahetraan. Ahmad Bahruddin pun punya
pandangannya sendiri tentang pendidikan. Tak hanya pandangan, berbagai tindakan
pun telah dilakukan.Di desa Kalibening yang masih bertahan dengan kedamaian dan
ketenangannya Bahruddin melakukan sesuatu yang lain terkait pendidikkan.
Tahun ajaran baru barangkali hal yang menyenangkan bagi mereka yang
akan menjalani sekolah. Namun, bagi orang tua murid yang harus membiayainya
maka tahun ajaran baru, apalagi memasuki sekolah baru tak jarang menjadi
permasalahan ekonomi tersendiri. “Dulu kan belum ada dana BOS, undang-undang
belum memaksa alokasi anggaran yang 20 persen ke pendidikan itu, jadi memang
masih berat,” kenang Bahruddin, yang pada awal pendirian Komunitas Belajar
Qoryah Thayyibah merupakan ketua RW sekaligus ketua Serikat Paguyuban Petani
Qaryah Thayyibah (SPPQT). Pada tahun 2003 itu untuk masuk ke sebuah sekolah
menengah pertama harus membayar uang gedung sebesar Rp 750.000,00 dan itu masih
ditambah biaya untuk keperluan lain.
Melihat masalah itu
maka pria lulusan Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Walisongo Semarang Cabang Salatiga pada 1993 menawarkan ide untuk membuat
sekolah sendiri. “Jadi konsep awalnya merupakan konsep SMP Terbuka di mana kita
harus menginduk ke SMP negeri,” kisahnya. Satu setengah tahun berjalan di bawah
smp induk mulai timbul rasa tidak nyaman. “Ketika dibina oleh SMP induk secara
psikologis teman-teman tidak nyaman. Karena sudah terbiasa dengan kebebasan, kegiatan participatory. Maka pembinaan yang top down membuat tidak nyaman,” papar Bahruddin.
Maka sekitar akhir tahun 2004 muncul ide untuk
melepaskan diri dengan SMP induk. Dinas pendidikkan setempat akhirnya
mengijinkan asal tahun ketiga diselesaikan terlebih dulu. Setelah tak terikat
lagi dengan SMP induk maka Komunitas Belajar Qoryah Thayyibah (KB QT) berkembang
hingga kini. Konsep-konsep yang nantinya dipakai dalam KB QT ini sedikit banyak
terinspirasi dari pemikiran-pemikiran Ivan Illich dan Paulo Freire. “Sejak
mahasiswa saya sudah terpikir tentang konsep Ivan Illich dan itu memang skripsi
saya,” jelas Bahruddin
Belajar Itu Berproduksi
Akses internet
merupakan hal penting untuk media komunikasi dan memperluas wawasan. Oleh
karena itu Bahruddin mengusahakan adanya akses tersebut demi perkembangan
anak-anak KB QT. “Tujuan utamanya adalah bridging
digital divide, menjembatani kesenjagan digital,” jelas Bahruddin. Namun,
kemudian ia berpikir kembali bahwa ketika mesin cetak diciptakan orang-orang
menjadi gemar membaca dan mengurangi menulis.
Menurutnya
kegiatan membaca tanpa menulis merupakan hal yang sangat kontraproduktif.
“Ternyata kan sekarang sangat kita rasakan.
Bahwa itu kontraproduktif. Misal,
saatnya mencangkul malah facebook-an. Itu masih lumayan ada interaksi. Tapi kalo udah download wah sudah tidak
karuan dan tak terkendali,” tegasnya. Kemudian ditambahkan konsep multipurpose. Jadi diharapkan telecenter yang ada ini
justru bisa menggalakkan produksi.
Bahruddin menekankan
bahwa indikator konsumsi juga kini dipakai dalam dunia pendidikkan Indonesia.
Misalnya anak yang menghafal rumus paling banyak, yang mendapat nilai tinggi karena
paling banyak mengingat. Itu lah yang dianggap hebat. Konsep tes atau ujian
juga termasuk dalam konsumsi karena yang dinilai adalah bila anak menguasai
atau hafal betul pelajaran yang diberikan. Bahruddin berkeyakinan bahwa yang dipakai
harusnya adalah indikator produksi. Sehingga yang harus dilakukan adalah
menghargai ide anak bahkan juga memicu agar anak memiliki berbagai idenya
sendiri.
Bicara mengenai
kurikulum maka apa yang diterapkan di KB QT jauh berbeda dengan pendidikan
formal. Tak hanya tak berseragam tapi materi yang ingin dipelajari juga
ditentukan oleh anak-anak. Mencari materi dan mempresentasikan juga dilakukan
anak-anak dengan binaan guru pendamping. Di luar kegiatan akademik ada berbagai
kegiatan yang bisa dilakukan anak-anak sesuai minatnya seperti teater, musik,
menulis, dan lainnya. Bahkan beberapa anak-anak KB QT sudah mempunyai karya
berupa buku, rekaman musik, dan film. Secara akademis anak-anak KB QT pun tak
kalah, bahkan lebih unggul dibandingkan anak-anak sekolah formal. Maka tak
heran jika KB QT merupakan fakta yang menarik sehingga berbagai universitas,
sma, warga asing, dan institusi lain berkunjung ke sana demi melihat KB QT lebih
dekat. Ahmad Bahruddin pun bukan sosok yang asing jika mengisi seminar atau
diskusi tentang pendidikan.
“Hal yang penting
adalah menghargai ide apapun yang dimiliki anak,” tandas Bahruddin. Hari Senin
di KB QT kita tidak akan menemukan upacara bendera. Sebab apa yang disebut
upacara di sana adalah kegiatan setor ide. Setiap anak boleh menceritakan ide
apapun tentang apapun kepada teman-teman sekelas. Bahruddin berkeyakinan bahwa
anak tidak boleh menjadi objek apalagi didikte. “Mereka harus menjadi subjek,”
tegasnya.
Tentang Pendidikan Indonesia
Masalah pendidikan di
Indonesia sudah teramat kompleks. Hal itu karena dunia pendidikan kini terjebak
dengan aturan-aturan, birokrasi, dan
cara pandang masa lalu. “Harus ada perubahan yang fundamental. Mestinya
pemikiran konstruktivisme yang digunakan sekarang. Itu yang paling sesuai
dengan era revolusi IT,” jelas Bahruddin. Bahkan ia mengatakan ekstrimnya jaman
sekarang model persekolahan harusnya
tidak ada. Hal penting yang harus dipahami adalah bahwa belajar tidak hanya
dilakukan di sekolah saja. Sekolah bukan satu-satunya tempat belajar. Masih ada
keluarga, masyarakat dan lingkungan sekitar dan itu merupakan tempat belajar
yang sesungguhnya.
Jika ada anak yang
harus menempuh jarak berkilo-kilo meter untuk menuju sekolah atau berenang
untuk sampai ke sekolah maka itu adalah proses belajar yang sesungguhnya. Selanjutnya
ia juga menjelaskan bahwa pendidikan kita harus bebas dari komersialisasi.
“Dalam kacamata kapitalis guru itu sumber produksi, jadi memang dia perusahaan
jasa, kemudian sekolah juga menjadi perusahaan jasa. Guru dibayar sampai per
jam, satu jam dibayar berapa, guru menjadi
kan pekerja. Manajemennya pendidikan sudah sama dengan manajemen
perusahaan dengan kepala sekolah sebagai manajer.
Untuk menggeser
paradigma bahwa sekolah merupakan satu-satunya tempat belajar Bahruddin
mengusulkan bahwa setelah selesai sekolah maka anak-anak hendaknya juga
berkumpul dengan teman-teman sedesa untuk belajar bersama membentuk komunitas
belajar. Belajar bisa apa saja, terserah yang diinginkan asalkan hal yang
positif dan bisa memebrdayakan masyarakat lokal sehingga menjadi masyarakat
yang unggul.
Bahruddin juga
menyatakan bahwa seharusnya pendidikan tidak menjauhkan anak dari tempat
asalnya. Sebab fenomena sekarang mereka yang menempuh pendidikan tinggi
kebanyakan memilih tinggal di kota daripada membangun desa sendiri. “Saya
pernah denger di daerah Madura warga mengirim pemuda belajar tentang pertanian
ke perguruan tinggi dalam rangka membangun pertanian di daerah asal. Yang
penting pemuda itu akhirnya kembali dan membangun desanya. Itu merupakan contoh
yang bagus. Jadi mereka yang kuliah tidak tercerabut dari akarnya,” jelas Bahruddin.
Dari banyak hal yang
diperbincangkan Bahruddin menekankan pentingnya keadilan sebagai kunci. “Di
dunia ini tidak ada yang pasti. Terkadang ada hal-hal yang harus diubah atau
dipertahankan. Kuncinya adalah keadilan jika masih ada ketidakadilan maka hal
itu harus dirubah agar menjadi adil,” jelasnya. Entah dalam pendidikan, hukum,
ekonomi, dan bermasyarakat jika masih ada ketidakadilan maka harus dilakukan
perubahan.
ditulis untuk majalah Kabare Kagama Edisi Wisuda UGM November 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar