Sabtu, 22 Desember 2012

Ahmad Bahruddin: Pendidikan Yang Lain


Ahmad Bahruddin: Pendidikan Yang Lain

Mohammad Hatta mengatakan pendidikan adalah kunci. Anies Baswedan mengatakan bahwa dengan pendidikan maka akan tercapai kecerdasan yang disusul dengan kesejahetraan. Ahmad Bahruddin pun punya pandangannya sendiri tentang pendidikan. Tak hanya pandangan, berbagai tindakan pun telah dilakukan.Di desa Kalibening yang masih bertahan dengan kedamaian dan ketenangannya Bahruddin melakukan sesuatu yang lain terkait pendidikkan.

            Tahun ajaran baru barangkali hal yang menyenangkan bagi mereka yang akan menjalani sekolah. Namun, bagi orang tua murid yang harus membiayainya maka tahun ajaran baru, apalagi memasuki sekolah baru tak jarang menjadi permasalahan ekonomi tersendiri. “Dulu kan belum ada dana BOS, undang-undang belum memaksa alokasi anggaran yang 20 persen ke pendidikan itu, jadi memang masih berat,” kenang Bahruddin, yang pada awal pendirian Komunitas Belajar Qoryah Thayyibah merupakan ketua RW sekaligus ketua Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah (SPPQT). Pada tahun 2003 itu untuk masuk ke sebuah sekolah menengah pertama harus membayar uang gedung sebesar Rp 750.000,00 dan itu masih ditambah biaya untuk keperluan lain.
            Melihat masalah itu maka pria lulusan Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang Cabang Salatiga pada 1993 menawarkan ide untuk membuat sekolah sendiri. “Jadi konsep awalnya merupakan konsep SMP Terbuka di mana kita harus menginduk ke SMP negeri,” kisahnya. Satu setengah tahun berjalan di bawah smp induk mulai timbul rasa tidak nyaman. “Ketika dibina oleh SMP induk secara psikologis teman-teman tidak nyaman. Karena sudah  terbiasa dengan kebebasan, kegiatan participatory. Maka pembinaan yang top down membuat tidak nyaman,” papar Bahruddin.
Maka sekitar akhir tahun 2004 muncul ide untuk melepaskan diri dengan SMP induk. Dinas pendidikkan setempat akhirnya mengijinkan asal tahun ketiga diselesaikan terlebih dulu. Setelah tak terikat lagi dengan SMP induk maka Komunitas Belajar Qoryah Thayyibah (KB QT) berkembang hingga kini. Konsep-konsep yang nantinya dipakai dalam KB QT ini sedikit banyak terinspirasi dari pemikiran-pemikiran Ivan Illich dan Paulo Freire. “Sejak mahasiswa saya sudah terpikir tentang konsep Ivan Illich dan itu memang skripsi saya,” jelas Bahruddin

Belajar Itu Berproduksi
            Akses internet merupakan hal penting untuk media komunikasi dan memperluas wawasan. Oleh karena itu Bahruddin mengusahakan adanya akses tersebut demi perkembangan anak-anak KB QT. “Tujuan utamanya adalah bridging digital divide, menjembatani kesenjagan digital,” jelas Bahruddin. Namun, kemudian ia berpikir kembali bahwa ketika mesin cetak diciptakan orang-orang menjadi gemar membaca dan mengurangi menulis.
 Menurutnya kegiatan membaca tanpa menulis merupakan hal yang sangat kontraproduktif. “Ternyata kan sekarang sangat kita rasakan.  Bahwa itu kontraproduktif.  Misal, saatnya mencangkul malah facebook-an. Itu masih lumayan ada interaksi.  Tapi kalo udah download wah sudah tidak karuan dan tak terkendali,” tegasnya. Kemudian ditambahkan konsep multipurpose.  Jadi diharapkan telecenter yang ada ini justru bisa menggalakkan produksi.
            Bahruddin menekankan bahwa indikator konsumsi juga kini dipakai dalam dunia pendidikkan Indonesia. Misalnya anak yang menghafal rumus paling banyak, yang mendapat nilai tinggi karena paling banyak mengingat. Itu lah yang dianggap hebat. Konsep tes atau ujian juga termasuk dalam konsumsi karena yang dinilai adalah bila anak menguasai atau hafal betul pelajaran yang diberikan.  Bahruddin berkeyakinan bahwa yang dipakai harusnya adalah indikator produksi. Sehingga yang harus dilakukan adalah menghargai ide anak bahkan juga memicu agar anak memiliki berbagai idenya sendiri.
            Bicara mengenai kurikulum maka apa yang diterapkan di KB QT jauh berbeda dengan pendidikan formal. Tak hanya tak berseragam tapi materi yang ingin dipelajari juga ditentukan oleh anak-anak. Mencari materi dan mempresentasikan juga dilakukan anak-anak dengan binaan guru pendamping. Di luar kegiatan akademik ada berbagai kegiatan yang bisa dilakukan anak-anak sesuai minatnya seperti teater, musik, menulis, dan lainnya. Bahkan beberapa anak-anak KB QT sudah mempunyai karya berupa buku, rekaman musik, dan film. Secara akademis anak-anak KB QT pun tak kalah, bahkan lebih unggul dibandingkan anak-anak sekolah formal. Maka tak heran jika KB QT merupakan fakta yang menarik sehingga berbagai universitas, sma, warga asing, dan institusi lain berkunjung ke sana demi melihat KB QT lebih dekat. Ahmad Bahruddin pun bukan sosok yang asing jika mengisi seminar atau diskusi tentang pendidikan.
            “Hal yang penting adalah menghargai ide apapun yang dimiliki anak,” tandas Bahruddin. Hari Senin di KB QT kita tidak akan menemukan upacara bendera. Sebab apa yang disebut upacara di sana adalah kegiatan setor ide. Setiap anak boleh menceritakan ide apapun tentang apapun kepada teman-teman sekelas. Bahruddin berkeyakinan bahwa anak tidak boleh menjadi objek apalagi didikte. “Mereka harus menjadi subjek,” tegasnya.

Tentang Pendidikan Indonesia
            Masalah pendidikan di Indonesia sudah teramat kompleks. Hal itu karena dunia pendidikan kini terjebak dengan aturan-aturan, birokrasi, dan  cara pandang masa lalu. “Harus ada perubahan yang fundamental. Mestinya pemikiran konstruktivisme yang digunakan sekarang. Itu yang paling sesuai dengan era revolusi IT,” jelas Bahruddin. Bahkan ia mengatakan ekstrimnya jaman sekarang model persekolahan  harusnya tidak ada. Hal penting yang harus dipahami adalah bahwa belajar tidak hanya dilakukan di sekolah saja. Sekolah bukan satu-satunya tempat belajar. Masih ada keluarga, masyarakat dan lingkungan sekitar dan itu merupakan tempat belajar yang sesungguhnya.
            Jika ada anak yang harus menempuh jarak berkilo-kilo meter untuk menuju sekolah atau berenang untuk sampai ke sekolah maka itu adalah proses belajar yang sesungguhnya. Selanjutnya ia juga menjelaskan bahwa pendidikan kita harus bebas dari komersialisasi. “Dalam kacamata kapitalis guru itu sumber produksi, jadi memang dia perusahaan jasa, kemudian sekolah juga menjadi perusahaan jasa. Guru dibayar sampai per jam, satu jam dibayar berapa, guru menjadi  kan pekerja. Manajemennya pendidikan sudah sama dengan manajemen perusahaan dengan kepala sekolah sebagai manajer.
            Untuk menggeser paradigma bahwa sekolah merupakan satu-satunya tempat belajar Bahruddin mengusulkan bahwa setelah selesai sekolah maka anak-anak hendaknya juga berkumpul dengan teman-teman sedesa untuk belajar bersama membentuk komunitas belajar. Belajar bisa apa saja, terserah yang diinginkan asalkan hal yang positif dan bisa memebrdayakan masyarakat lokal sehingga menjadi masyarakat yang unggul.
            Bahruddin juga menyatakan bahwa seharusnya pendidikan tidak menjauhkan anak dari tempat asalnya. Sebab fenomena sekarang mereka yang menempuh pendidikan tinggi kebanyakan memilih tinggal di kota daripada membangun desa sendiri. “Saya pernah denger di daerah Madura warga mengirim pemuda belajar tentang pertanian ke perguruan tinggi dalam rangka membangun pertanian di daerah asal. Yang penting pemuda itu akhirnya kembali dan membangun desanya. Itu merupakan contoh yang bagus. Jadi mereka yang kuliah tidak tercerabut dari akarnya,” jelas Bahruddin.
            Dari banyak hal yang diperbincangkan Bahruddin menekankan pentingnya keadilan sebagai kunci. “Di dunia ini tidak ada yang pasti. Terkadang ada hal-hal yang harus diubah atau dipertahankan. Kuncinya adalah keadilan jika masih ada ketidakadilan maka hal itu harus dirubah agar menjadi adil,” jelasnya. Entah dalam pendidikan, hukum, ekonomi, dan bermasyarakat jika masih ada ketidakadilan maka harus dilakukan perubahan.

 ditulis untuk majalah Kabare Kagama Edisi Wisuda UGM November 2012                       
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar