Sabtu, 22 Desember 2012

Alissa Wahid: Mengharapkan Psikologi Berperan dalam Gerakan Kebangsaan


Alissa Wahid: Mengharapkan Psikologi Berperan
dalam Gerakan Kebangsaan

Terlahir di Jombang dan dibesarkan di keluarga islam yang kental tak membuat Alissa Qotrunnada Munawaroh melulu beraktivitas di lingkungan yang penuh dengan simbol-simbol Islam. Untuk pendidikan misalnya, wanita yang kemudian popular dengan nama Alissa Wahid ini menempuh pendidikannya dari sekolah dasar hingga sekolah menengah atas di sekolah umum.  Bukan sekolah-sekolah islam seperti madrasah ibitidaiyah (MI) atau madrasah aliyah (MA). “Saat sekolah menengah atas saya bersekolah di SMA 8 Jakarta. Dari sekolah dasar memang di sekolah umum, dan merasa nyaman di lingkungan itu,” kisahnya ketika ditemui di pawai kebudayaan Aliansi Yogya Untuk Kebersamaan tanggal 24 Juni 2012.
Wanita yang menghadiri pawai kebudayaan sore itu dengan pakaian serba putih itu, mengatakan bahwa sangat senang dan betah tinggal di Yogyakarta. “Saya mulai tinggal di Yogyakarta pada tahun 1990 karena pilihan studi saya di Fakultas Psikologi UGM. Dan sejak itu sampai sekarang tinggal di kota ini,” kisahnya. Pada saat itu jurusan psikologi di universitas negeri di Indonesia masih sedikit. Tiga universitas negeri yang memiliki jurusan psikologi saat itu hanyalah Universitas Indonesia, Universitas Padjajaran dan Universitas Gadjah Mada. Agaknya UGM menjadi pilihannya juga karena letaknya di Yogyakarta, di kota budaya yang majemuk dan penuh perbedaan.

Belajar Psikologi, Belajar Dinamika Manusia
            Ilmu yang mempelajari manusia, yaitu psikologi, memang menjadi minat utamanya setelah lulus dari jurusan ilmu alam SMA 8 Jakarta. Alissa mengatakan bahwa ketertarikan akan dinamika manusia itu sudah ada jauh sebelum saat-saat pemilihan jurusan. “Memang dari sehari-hari itu seneng banget ngeliat orang itu kayak gimana sih, dan langsung berpikir bahwa kalau di psikologi pasti belajarnya tentang manusia,” kenangnya sambil tersenyum. Dengan adanya motivasi internal tersebut Alissa semakin mantap untuk memilih jurusan psikologi walaupun menurutnya psikologi saat itu belumlah sepopuler sekarang.
            Alissa yang saat kuliah aktif di Badan Pers dan Penerbitan Mahasiswa Fakultas Psikologi Psikomedia dan sempat menjadi sekretaris jendral Ikatan Senat Mahasiswa Seluruh Indonesia ini lulus dari Fakultas Psikologi UGM pada semester keempat belas. “Sebenarnya kuliah saya sudah selesai di tahun ketiga. Namun empat tahun setelah itu saya banyak sibuk di luar kuliah,” jelasnya. Beberapa kesibukannya selama empat tahun itu selain mengurusi senat mahasiswa adalah sebagai konselor remaja di PKBI DIY.
Lulus dari program S1, Alissa langsung  melanjutkan ke program S2 Fakultas Psikologi UGM. Namun ia tidak menyelesaikan program S2 tersebut. “S2 tidak saya selesaikan karena ternyata saya bukan orang yang minatnya di akademis,” ungkapnya. Menurutnya, saat itu kuliah di S2 banyak riset dan kajian, padahal ia lebih suka langsung ke lapangan. Terjun langsung menjadi konselor dan aktif di Lembaga Studi Pengembangan Perempuan dan Anak (LSPPA) di Yogyakarta menjadi pilihannya daripada menyibukkan diri di ruang kuliah. “Saya orang lapangan, jadi mencari ilmunya itu sambil bekerja. Saya jadi mempelajari banyak tentang struktur sosial.  Misalnya karena saya penelitian tentang analisis komik-komik kartun Jepang, saya jadi tahu tentang relasi kuasa, relasi gender, dan masih banyak lagi,” kisahnya.

Psikologi dan Permasalahan Bangsa
Ketika disinggung tentang berbagai permasalahan yang melanda bangsa Indonesia sekarang ini Alissa memiliki keyakinan bahwa psikologi seharusnya bisa berperan dalam pencarian solusi. “Sekarang ini apa yang namanya sebagai rekayasa sosial itu sering terjadi. Di sana peran psikologi itu justru sangat signifikan. Cuman sayangnya memang gak banyak orang yang masuk ke sana,” ujarnya.  Alissa setuju bahwa lebih banyak yang berminat di Psikologi Industri dan Organisasi sebab kesempatan berkarir memang lebih banyak untuk bidang itu.
Namun sekarang, dengan berbagai perkembangannya harusnya psikologi bisa masuk ke bidang-bidang lain pula. Salah satu yang ditekankan oleh Alissa adalah bidang pendidikan. “Pendidikan membutuhkan background psikologi yang sangat luas” tegasnya. Alissa menegaskan bahwa sekarang faktanya kita berada pada abad manusia. Bukan abad mesin seperti saat tahun 1900-an di mana mesin menjadi sangat dominan karena revolusi industri.
Alissa mengisahkan bahwa sempat pada tahun 1997 ia berbincang-bincang dengan ayahnya, mantan presiden RI, Abdurahman Wahid. “Bapak bilang gini, nanti saat millennium baru, psikologi pendidikan sangat penting. Kenapa? Karena tatanan kehidupan dan peradaban itu berubah,” kenangnya. Alissa merasakan betul perubahan itu di mana perkembangan teknologi informasi dan komunikasi begitu pesat dan dunia cepat berubah. Ia menambahkan bahwa sekarang kita ada di global village. Hal itu mengakibatkan pertukaran kultur terjadi sangat cepat. “Itu ilmu psikologi yang akan bisa menyiasati. Tentu saja bersama dengan antropologi dan sosiologi. Namun, jika kita membicarakan manusia tetap psikologi yang paling utama,” tegas Alissa.

Alissa Wahid dan Gusdurian
            Kini Alissa tak terlalu banyak berkecimpung pada aktivitas konseling. “Dulu saya melayani konseling keluarga, tapi sekarang tidak, karena sudah sibuk keluar kota,” jelasnya yang kini memang lebih banyak mengurus Gusdurian. Gusdurian merupakan sebuah jaringan yang memiliki visi dan misi menjaga nilai, pemikiran dan perjuangan Gus Dur untuk tetap bisa mewarnai gerakan kebangsaan Indonesia. Perjuangan itu dilakukan melalui sinergi karya para pengikut Gus Dur dengan tetap berpegang pada prinsip atau nilai teladan yang selama ini di teladankan Gus Dur.
            Terkait Gusdurian ini Alissa menolak kalau disebut sebagai pendirinya. “Itu jaringan soalnya. Jadi saya sebagai salah satu yang menginisiasi. Dan Gusdurian itu misi keluarga Ciganjur untuk merawat perjuangan Gusdur,” jelasnya. Kini Gusdurian telah ada di 50 kota di seluruh Indonesia, termasuk di luar Pulau Jawa. Gusdurian merupakan jaringan yang sangat cair sehingga di tiap daerah bentuk gerakannya berbeda-beda.
Di Kebumen misalnya membantu petani Ngapak, di Jepara mendampingi nelayan Pantura, dan di Pati mendampingi masyarakat Sedulur Sikep Samin yang tengah berupaya menolak penambangan semen yang berpotensi merusak lingkungan. “Seperti itu yang kami lakukan. Jadi gak hanya soal pluralisme dan gak hanya kajian, tetapi langsung ke lapangan juga,” jelasnya.
Walaupun tidak lagi memberikan layanan konseling, Alissa menjelaskan bahwa kegiatannya di Gusdurian tidak lepas dari ilmu psikologi. Apalagi jaringan Gusdurian terdiri dari berbagai kelompok masyarakat, etnis, dan agama. “Saya jadi belajar banyak karena ketemu banyak sekali kelompok yang berbeda. Saya belajar untuk mencari dinamika serta  kesamaan visi misi dari berbagai perbedaan itu. Di situlah psikologi berperan,” paparnya.
Di akhir perbincangan Alissa mengungkapkan harapannya terhadap psikologi sekarang. “Saya sangat berharap praktisi-praktisi psikologi itu mau ambil bagian dan keluar dari cangkang untuk merespon dan  menjawab tuntutan jaman karena kita butuh, bangsa ini butuh,” tegasnya. Ia menambahkan pula bahwa jika ilmuwan dan praktisi psikologi tidak melakukannya maka ilmu manusia akan dikerjakan oleh orang lain yang tidak punya ilmu, dan itu sangat berbahaya.

           
Ditulis untuk Majalah Kabare Kagama Edisi Wisuda UGM Agustus 2012







Tidak ada komentar:

Posting Komentar