Alissa
Wahid: Mengharapkan Psikologi Berperan
dalam
Gerakan Kebangsaan
Terlahir di Jombang dan dibesarkan di keluarga islam yang kental
tak membuat Alissa Qotrunnada Munawaroh melulu beraktivitas di lingkungan yang
penuh dengan simbol-simbol Islam. Untuk pendidikan misalnya, wanita yang
kemudian popular dengan nama Alissa Wahid ini menempuh pendidikannya dari
sekolah dasar hingga sekolah menengah atas di sekolah umum. Bukan sekolah-sekolah islam seperti madrasah
ibitidaiyah (MI) atau madrasah aliyah (MA). “Saat sekolah menengah atas saya
bersekolah di SMA 8 Jakarta. Dari sekolah dasar memang di sekolah umum, dan
merasa nyaman di lingkungan itu,” kisahnya ketika ditemui di pawai kebudayaan
Aliansi Yogya Untuk Kebersamaan tanggal 24 Juni 2012.
Wanita yang menghadiri
pawai kebudayaan sore itu dengan pakaian serba putih itu, mengatakan bahwa
sangat senang dan betah tinggal di Yogyakarta. “Saya mulai tinggal di
Yogyakarta pada tahun 1990 karena pilihan studi saya di Fakultas Psikologi UGM.
Dan sejak itu sampai sekarang tinggal di kota ini,” kisahnya. Pada saat itu
jurusan psikologi di universitas negeri di Indonesia masih sedikit. Tiga
universitas negeri yang memiliki jurusan psikologi saat itu hanyalah
Universitas Indonesia, Universitas Padjajaran dan Universitas Gadjah Mada.
Agaknya UGM menjadi pilihannya juga karena letaknya di Yogyakarta, di kota
budaya yang majemuk dan penuh perbedaan.
Belajar
Psikologi, Belajar Dinamika Manusia
Ilmu
yang mempelajari manusia, yaitu psikologi, memang menjadi minat utamanya setelah
lulus dari jurusan ilmu alam SMA 8 Jakarta. Alissa mengatakan bahwa
ketertarikan akan dinamika manusia itu sudah ada jauh sebelum saat-saat
pemilihan jurusan. “Memang dari sehari-hari itu seneng banget ngeliat orang
itu kayak gimana sih, dan langsung
berpikir bahwa kalau di psikologi pasti belajarnya tentang manusia,” kenangnya
sambil tersenyum. Dengan adanya motivasi internal tersebut Alissa semakin
mantap untuk memilih jurusan psikologi walaupun menurutnya psikologi saat itu
belumlah sepopuler sekarang.
Alissa
yang saat kuliah aktif di Badan Pers dan Penerbitan Mahasiswa Fakultas
Psikologi Psikomedia dan sempat menjadi sekretaris jendral Ikatan Senat
Mahasiswa Seluruh Indonesia ini lulus dari Fakultas Psikologi UGM pada semester
keempat belas. “Sebenarnya kuliah saya sudah selesai di tahun ketiga. Namun
empat tahun setelah itu saya banyak sibuk di luar kuliah,” jelasnya. Beberapa
kesibukannya selama empat tahun itu selain mengurusi senat mahasiswa adalah
sebagai konselor remaja di PKBI DIY.
Lulus dari program
S1, Alissa langsung melanjutkan ke
program S2 Fakultas Psikologi UGM. Namun ia tidak menyelesaikan program S2
tersebut. “S2 tidak saya selesaikan karena ternyata saya bukan orang yang
minatnya di akademis,” ungkapnya. Menurutnya, saat itu kuliah di S2 banyak
riset dan kajian, padahal ia lebih suka langsung ke lapangan. Terjun langsung
menjadi konselor dan aktif di Lembaga Studi Pengembangan Perempuan dan Anak
(LSPPA) di Yogyakarta menjadi pilihannya daripada menyibukkan diri di ruang
kuliah. “Saya orang lapangan, jadi mencari ilmunya itu sambil bekerja. Saya
jadi mempelajari banyak tentang struktur sosial. Misalnya karena saya penelitian tentang analisis
komik-komik kartun Jepang, saya jadi tahu tentang relasi kuasa, relasi gender,
dan masih banyak lagi,” kisahnya.
Psikologi
dan Permasalahan Bangsa
Ketika disinggung
tentang berbagai permasalahan yang melanda bangsa Indonesia sekarang ini Alissa
memiliki keyakinan bahwa psikologi seharusnya bisa berperan dalam pencarian
solusi. “Sekarang ini apa yang namanya sebagai rekayasa sosial itu sering
terjadi. Di sana peran psikologi itu justru sangat signifikan. Cuman sayangnya memang gak banyak orang
yang masuk ke sana,” ujarnya. Alissa
setuju bahwa lebih banyak yang berminat di Psikologi Industri dan Organisasi
sebab kesempatan berkarir memang lebih banyak untuk bidang itu.
Namun sekarang, dengan
berbagai perkembangannya harusnya psikologi bisa masuk ke bidang-bidang lain
pula. Salah satu yang ditekankan oleh Alissa adalah bidang pendidikan. “Pendidikan
membutuhkan background psikologi yang
sangat luas” tegasnya. Alissa menegaskan bahwa sekarang faktanya kita berada
pada abad manusia. Bukan abad mesin seperti saat tahun 1900-an di mana mesin
menjadi sangat dominan karena revolusi industri.
Alissa mengisahkan
bahwa sempat pada tahun 1997 ia berbincang-bincang dengan ayahnya, mantan
presiden RI, Abdurahman Wahid. “Bapak bilang gini, nanti saat millennium baru,
psikologi pendidikan sangat penting. Kenapa? Karena tatanan kehidupan dan
peradaban itu berubah,” kenangnya. Alissa merasakan betul perubahan itu di mana
perkembangan teknologi informasi dan komunikasi begitu pesat dan dunia cepat
berubah. Ia menambahkan bahwa sekarang kita ada di global village. Hal itu mengakibatkan pertukaran kultur terjadi sangat
cepat. “Itu ilmu psikologi yang akan bisa menyiasati. Tentu saja bersama dengan
antropologi dan sosiologi. Namun, jika kita membicarakan manusia tetap
psikologi yang paling utama,” tegas Alissa.
Alissa
Wahid dan Gusdurian
Kini
Alissa tak terlalu banyak berkecimpung pada aktivitas konseling. “Dulu saya melayani
konseling keluarga, tapi sekarang tidak, karena sudah sibuk keluar kota,”
jelasnya yang kini memang lebih banyak mengurus Gusdurian. Gusdurian merupakan
sebuah jaringan yang memiliki visi dan misi menjaga nilai, pemikiran dan
perjuangan Gus Dur untuk tetap bisa mewarnai gerakan kebangsaan Indonesia.
Perjuangan itu dilakukan melalui sinergi karya para pengikut Gus Dur dengan
tetap berpegang pada prinsip atau nilai teladan yang selama ini di teladankan
Gus Dur.
Terkait
Gusdurian ini Alissa menolak kalau disebut sebagai pendirinya. “Itu jaringan
soalnya. Jadi saya sebagai salah satu yang menginisiasi. Dan Gusdurian itu misi
keluarga Ciganjur untuk merawat perjuangan Gusdur,” jelasnya. Kini Gusdurian
telah ada di 50 kota di seluruh Indonesia, termasuk di luar Pulau Jawa.
Gusdurian merupakan jaringan yang sangat cair sehingga di tiap daerah bentuk
gerakannya berbeda-beda.
Di Kebumen misalnya
membantu petani Ngapak, di Jepara
mendampingi nelayan Pantura, dan di Pati mendampingi masyarakat Sedulur Sikep
Samin yang tengah berupaya menolak penambangan semen yang berpotensi merusak
lingkungan. “Seperti itu yang kami lakukan. Jadi gak hanya soal pluralisme dan gak
hanya kajian, tetapi langsung ke lapangan juga,” jelasnya.
Walaupun tidak lagi
memberikan layanan konseling, Alissa menjelaskan bahwa kegiatannya di Gusdurian
tidak lepas dari ilmu psikologi. Apalagi jaringan Gusdurian terdiri dari
berbagai kelompok masyarakat, etnis, dan agama. “Saya jadi belajar banyak
karena ketemu banyak sekali kelompok yang berbeda. Saya belajar untuk mencari
dinamika serta kesamaan visi misi dari
berbagai perbedaan itu. Di situlah psikologi berperan,” paparnya.
Di akhir perbincangan
Alissa mengungkapkan harapannya terhadap psikologi sekarang. “Saya sangat
berharap praktisi-praktisi psikologi itu mau ambil bagian dan keluar dari
cangkang untuk merespon dan menjawab
tuntutan jaman karena kita butuh, bangsa ini butuh,” tegasnya. Ia menambahkan
pula bahwa jika ilmuwan dan praktisi psikologi tidak melakukannya maka ilmu
manusia akan dikerjakan oleh orang lain yang tidak punya ilmu, dan itu sangat
berbahaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar