Sabtu, 22 Desember 2012

Setyo Adi Purwanta: Memulai Gerak dengan Wacana


Setyo Adi Purwanta: Memulai Gerak dengan Wacana

            `Segala sesuatu yang ada di dunia ini ada karena diadakan. Bila apa yang sudah diadakan itu merugikan eksistensi seseorang  atau bahkan sekelompok orang, maka hal itu harus diubah. Seperti penyebutan kata cacat pada mereka yang berbeda. Kata cacat itu bahkan ada sejak alam bawah sadar, baik pada yang disebut maupun yang menyebut. Membuat kecacatan itu benar-benar ada dan menghantui setiap saat. Untuk menghilangkan rasa kecacatan itu lah Setyo Adi Purwanta, bersama dengan Mansour Fakih dan Sukanthi Raharjo Bintoro melakukan transormasi dan memunculkan kata difabel.
            Tahun 1976 ketika sebuah kecelakaan membuat indera penglihatannya tak berfungsi, Setyo merenungi keadaannya dengan bijaksana. “Saat itu aku membaca Weda Parikrama, Baghawat Gita, Perjanjian Baru, Perjanjian lama, serta Al Qur’an dan hadits. Dari semua itu tidak ada satu firman Tuhan pun yang menyatakan menciptakan manusia dalam keadaan cacat,” jelasnya. Pria kelahiran Malang, 25 September 1953 ini juga terinspirasi oleh kata-kata Sakespeare yang menyatakan bahwa di alam ini tidak ada yang ternoda kecuali pikiran  dan hanya orang yang kejam saja yang pantas disebut cacat.

Memulai Counter Discourse
            Berangkat dari keyakinan bahwa cacat itu tidak ada, Setyo bersama kedua rekannya tadi berdiskusi sehingga terlahirlah kata difabel. “Yang jadi permasalahan itu kan orang dianggap cacat karena dia dianggap tidak mampu, Efek dari cacat adalah ketidakmampuan. Kita harus membalik bagaimana kita sebut ini orang yang mampu. Artinya ini harus dilihat dari kemampuannya sehingga yang disebut adalah kemampuannya” gagas Setyo yang lulus dari program sarjana Filsafat dan Sosial Pendidikan UST ini.
Mansour Fakih menanggapi gagasan tersebut dengan ide bahwa sebagai orang Yogyakarta, adalah sebuah khas untuk melakukan plesetan. Selanjutnya bertransformasilah disable menjadi difable, different ability yang berarti kemampuan yang berbeda.  Sukanthi saat itu mengusulkan untuk menuliskannya dengan cara Indonesia sehingga kata yang lahir adalah difabel. Mulai saat itu lah counter discourse dilakukan. Di segala kesempatan, baik dalam membaca, menulis dan berkata-kata mereka menggunakan kata difabel. Sejak itu kata difabel mulai dikenal dan digunakan oleh masyarakat secara luas.
Ketika disinggung mengenai sikap Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) yang menggunakan istilah people with disability Setyo menjelaskan bahwa itu disebabkan karena sudut pandang yang berbeda. Disabilitas menurut PBB adalah keadaan yang menunjukkan bahwa ada satu kondisi fisik atau organ yang memiliki kelemahan atau  gangguan. Karena ada gangguan ini maka ada efek psikososial dan kemudian muncul lah kondisi hambatan fisik akan aksesibilitas. “Konsep kita beda, kalau orang kakinya diamputasi, dia akan pakai kursi roda, berarti fungsi kaki itu diganti kursi roda, jadi indikasinya fungsi” jelas Setyo.
Selain melakukan perjuangan terhadap hak-hak difabel lewat berbagai tulisan di media massa dan seminar-seminar, Setyo juga mengelola sebuah lembaga swadaya masyarakat yaitu LSM Dria Manunggal. Kegiatan di sana dimulai sejak 1991. “Dria Manunggal merupakan LSM difabel pertama. Kalo sekarang kan LSM itu semua organisasi non pemerintah, untuk dulu LSM adalah organisasi yang dianggap miring oleh negara karena berhadapan dengan pemerintah,” papar Setyo yang kini menjadi CEO di LSM itu.  
LSM Dria Manunggal memiliki tujuan mendorong terbentuknya masyarakat inklusi di mana ada kesetaraan HAM antar sesamanya. Untuk mencapai hal itu Dria Manunggal mempunyai tiga misi. Pertama memperkuat kemampuan difabel, kedua membangun kesadaran masyarakat, dan terakhir mendorong pemerintah untuk memajukan HAM. Semua kegiatan di sana diturunkan dari tiga hal tersebut. Advokasi, melindungi, memenuhi, dan menghormati  hak-hak difabel adalah kegiatan-kegiatan utama.

Dalam Cengkeraman Kapitalis
            Peran negara dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat, dalam hal ini mereka yang difabel, dirasa masih jauh panggang dari api. “Sikap pemerintah itu culke ndhase gondheli buntute, jseolah-olah sudah difasilitasi tapi di belakangnya masih ada tarik ulur,” jelas Setyo. Keadaan ini terjadi karena ideologi kapitalis yang kental. Dalam paradigma kapitalis manusia diakui keberadaannya jika memiliki beberapa indikator. Indikator-indikator itu adalah efektivitas, efisiensi, dan produktivitas. Karena indikator-indikator tersebut muncul lah fenomena-fenomena seperti human investmen dan human resources. Selanjutnya semua itu digunakan sebagai akumulasi modal. Dalam hal ini para difabel dianggap tidak memiliki indikator-indikator tersebut sehingga terpinggirkan.
            Untuk melawan semua itu yang harus dilakukan adalah perang ideologi. Setyo menjelaskan bahwa kita harus membangun ideologi kemanusiaan. Ideologi yang melihat manusia sebagai human being bukan human investmen. Sebenarnya itu sudah termaktub dalam Pancasila. “Peristiwa G30 S itu agendanya menggulingkan Pancasila. Sebab kalau Pancasila menjadi ideologi besar tergulunglah kapitalis,” tegas Setyo. Dengan Pancasila kita harus membangun masyarakat yang inklsuif, menghormati dan menghargai kesetaraan.
            Pendidikan yang diharapkan menjadi salah satu jalan menuju kesejahteraan ternyata juga tak lepas dari cengkeraman kapitalis. Pola pendidikan yang ada di sekolah-sekolah Indonesia adalah pola kompetitif yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan kapitalis. Beberapa hal seperti rangking, sekolah unggulan, dan sistem tidak naik kelas merupakan metoda-metoda kapitalis. “Dalam sekolah inklusi tidak ada yang namanya tidak naik kelas dan iklim yang ada kooperatif. Untuk itu kualitas dan kuantitas sekolah inklusi perlu banyak ditingkatkan” jelas Setyo yang kini juga menjabat sebagai koordinator Pusat Sumber Pendidikan Inklusif Provinsi DIY.

Perlunya Kesadaran Kritis
            Dalam interaksi antara masyarakat difabel dan non difabel dibutuhkan sikap saling menghargai. Namun, hal itu masih belum sempurna terjadi hingga saat ini. Menurut Setyo dalam bergaul dengan difabel masyarakat terbagi dalam dua jenis, yang menganggap itu sebagai urusan mereka dan yang tidak.
Di antara jenis yang pertama masih ada tiga kelompok lagi. Pertama adalah kelompok dengan kesadaran magis yang menganggap difabel sebagai pemberian Tuhan. Sehingga yang mereka lakukan adalah berdoa atau paling signifikan membangun panti asuhan. Kedua adalah kelompok dengan kesadaran naïf. Pada kelompok ini yang dipentingkan adalah kemampuan untuk bersaing. Sehingga yang dilakukan adalah memberikan pelatihan-pelatihan bagi difabel.
Kelompok terakhir adalah mereka dengan kesadaran kritis. Kelompok ini yakin bahwa difabel punya kemampuan. Mereka percaya bahwa difabel menjadi tidak punya kemampuan karena tidak dipunyakan, dicacatkan dan sebagainya. Mereka mengusahakan bagaimana agar difabel menjadi diri mereka sendiri. Selain itu juga menggulirkan wacana untuk membongkar kesadaran masyarakat terhadap kemampuan difabel dengan gerakan-gerakan yang menentang diskriminasi.
Namun, Setyo mengakui bahwa gerakan difabel di Indonesia hingga saat ini masih setengah-setengah. Hal itu terjadi karena kebanyakan gerakan difabel dimulai dari masyarakat kelas menengah. Sementara itu difabel kelas menengah masih sedikit. Untuk memaksimalkan itu gerakan difabel perlu beraliansi dengan gerakan lain. Memasukkan isu difabel dalam isu lain, seperti isu keselamatan kerja yang berpotensi menyebabkan difabel, isu eksploitasi tenaga kerja, dan isu kekerasan terhadap anak.
Untuk mewujudkan semua itu tentu dibutuhkan kesadaran dari seluruh elemen masyarakat. Namun, Setyo masih yakin dan optimis bahwa gerakan difabel akan mengalami kemajuan. “Seperti di Amerika Latin, gerakan difabel di sana sudah begitu cantik dan massif,” harapnya di akhir perbincangan.

ditulis untuk majalah Kabare Kagama Edisi Wisuda UGM Agustus 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar