Sabtu, 22 Desember 2012

Susilo Nugroho Menggeluti Seni Peran Tradisional di Era Global


Susilo Nugroho
Menggeluti Seni Peran Tradisional di Era Global
Keyakinan bahwa sesuatu yang tradisional bukan berarti seuatu yang mandeg dan kaku tapi bisa menyesuaikan dengan perubahan jaman adalah hal yang terus dipegang oleh Susilo Nugroho. Sosok  yang sempat menghiasi dunia pertelevisian Indonesia  di era orde baru lewat perannya sebagai Den Baguse Ngarso ini ternyata hingga kini masih menggeluti seni peran di sela-sela kesibukannya  sebagai pengajar.

Kita tentu masih ingat dengan sosok Den Baguse Ngarso yang sok pintar, sok tau, sombong, dan  nggaya. Tokoh Den Baguse Ngarso yang diperankan oleh Susilo Nugroho selama lebih dari sepuluh tahun ini hadir dalam program Mbangun Deso, acara yang ditayangkan oleh TVRI Yogyakarta saat itu. Acara yang sempat menjadi program favorit masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya kala itu menurut penuturan Susilo Nugroho tadinya merupakan acara yang tidak menarik sama sekali.
“Malah banyak masyarakat yang mematikan televisinya ketika acara tersebut berlangsung,” kisahnya. Hal itu disebabkan Mbangun Deso awalnya merupakan acara yang sangat kaku. Acara yang merupakan program pemerintah orde baru ini berisi macam-macam penyuluhan. Penyuluhan tentang pertanian, keluarga berencana, kesehatan hingga politik dikemas dalam acara itu.
Mengetahui respon negatif dari masyarakat maka konsep acara diubah. Perubahan pertama adalah petugas-petugas dari dinas yang akan melakukan penyuluhan menjadi tokoh utama. Susilo Nugroho yang saat itu menjadi penulis naskah akhirnya mengusulkan untuk menciptakan tokoh utama yang tetap sehingga penonton tidak bingung. Akhirnya ia sendiri pun ditunjuk sebagai pemeran salah satu tokoh yaitu Den Baguse Ngarso. Ada pun tokoh lainnya saat itu antara lain adalah Pak Binah, Sronto, dan Kuramin. Akhirnya acara ini berbentuk semacam sitkom tanpa menghilangkan substansi penyuluhan dan mendapat perhatian yang besar dari masyarakat.
Hingga kini tidak sedikit yang masih mengenali Susilo Nugroho sebagai Den Baguse Ngarso, walau pun acara tersebut sudah tidak tayang lagi. “Kebanyakan yang kenal ya yang umurnya 25 tahunan ke atas, berarti wajah saya tidak banyak berubah ya?” ujarnya sambil tertawa. Untuk pemuda-pemuda biasanya mengenali Susilo Nugroho karena diberitahu orang atau mulut ke mulut sebab mereka tidak mengikuti acara Mbangun Deso.  
Perubahan dari sosok yang dikenal oleh masyarakat luas menjadi sosok yang tidak seterkenal dulu awalnya cukup menjadi beban. Namun, sekarang ia sudah bisa menyesuaikan diri. Apalagi sampai sekarang ia masih menikmati kegiatannya di dunia peran walau tak sesibuk dulu. Beberapa kegiatannya kini antara lain adalah pentas bersama Teater Gandrik dan mengisi salah satu acara di TVRI sebulan sekali. Bersama Teater Gandrik ia biasa pentas di Yogyakrta dan Jakarta. Selain itu laki-laki kelahiran Yogyakarta, 5 Januari 1959 ini juga menjadi pengajar di SMK N 1 Bantul untuk mata pelajaran pemasaran. “Kalo ngajar ya sudah dari dulu sebelum mendapat peran sebagai Den Baguse Ngarso,” jelasnya.
Susilo menjelaskan bahwa dunia pertelevisian kini sudah jauh berbeda dengan dulu. Dulu stasiun televisi didominasi oleh pemerintah dan sekarang banyak televisi swasta bermunculan. Bahkan stasiun televisi lokal pun semakin bertambah. “Namun, dulu dan sekarang sama-sama tidak seimbang. Dulu didominasi pemerintah sekarang pihak swasta yang menguasai,” ujarnya ketika ditanya mengenai kekurangan dunia pertelevisian Indonesia.
Jaman terus berubah seiring dengan perkembangan tekhnologi dan gaya hidup masyarakat saat ini. Susilo Nugroho berpendapat bahwa kehidupan remaja saat ini sangat berbeda dengan masanya dulu. “Saya itu malah heran apa anak muda jaman sekarang ini senang?” paparnya. Ia mencontohkan di sekolah tempatnya mengajar saja jam pelajaran mencapai 48 jam seminggu. Belum lagi masih ditambah les dan kegiatan ekstrakurikuler. Kalau ada waktu senggang sedikit paling sering pergi ke mall.
Susilo Nugroho mengisahkan bahwa ia sangat menikmati masa mudanya dulu. “Sepulang sekolah  kalau mau naik sepeda kita bisa berkeliling kampus mulai dari UGM, UNY, Sanata Dharma, Atma Jaya dan seterusnya pasti ada acara,” kenangnya. Dulu malahan sampai ada arisan teater karena pentas yang jumlahnya banyak dalam satu hari. Arisan teater di sini maksudnya adalah pergiliran pemakaian tempat. Walau dengan teknologi yang minim saat itu peminat teater termasuk banyak. Acara-acara yang ada saat itu mulai dari pentas musik akustik, wayang, kethoprak dan pembacaan puisi. “Sekarang saya sudah setahun hampir setiap hari lewat UGM rasanya sepi-sepi saja,” kisahnya. 
Mengenai rendahnya minat kaum muda masa kini dengan kesenian tradisional Susilo menganggap itu juga karena kesalahan generasi tua. “Generasi tua harusnya mengenalkan seni-seni tradisional pada pemudanya,. Sebab bagaimana pemuda mau tertarik kalau tau saja mereka tidak,” tandasnya. Kini lagu-lagu pop bisa didapat hanya dengan membuka internet lalu mengunduhnya. “Kalo wayang kulit ya gak ada di internet,.Wajar kalau anak sekarang gak tau wayang, lenong, srandul, dan kethoprak, karena yang tua gak mau rekayasa,” paparnya. Dalam hal ini pemerintah menurutnya juga tidak banyak memberi dorongan.
Pengalaman menarik yang pernah dialami oleh Susilo Nugroho salah satunya adalah ketika ia pentas ketoprak. Ada seorang pemuda yang menemuinya di akhir pentas untuk memberi selamat. Ketika ditanya alasan kenapa menonton acara tersebut jawaban pemuda itu adalah karena ia sudah bosan dengan acara televisi dan karena kebetulan adanya kethoprak maka ia menonton kethoprak. “Jawabannya sangat luar biasa,” ucapnya sambil tertawa. Minat terhadap kesenian tradisional memang cenderung menurun. Namun, yang harus dijadikan perhatian adalah tidak hanya mengenai meningkat atau menurunnya. “Permasalahannya adalah sudah jelas turun kok hanya mengeluh,” tegasnya.  Disebabkan tidak adanya peluang bisnis maka orang-orang menjadi tidak mendukung,
Dalam waktu dekat ini Susilo Nugroho mempunyai rencana untuk mengundang pemuda-pemuda dalam acaranya secara gratis. “Jika kursi yang disediakan seratus saya berani menyebar undangan dua ratus,” ucapnya. Hal itu disebabkan belum tentu yang diundang itu tahu mengenai jenis acara yang diadakan. Susilo Nugroho berharap kepada kaum muda jika ingin mengembangkan karya tradisional tidak perlu menunggu yang tua. “Tidak perlu mikir pakem atau kaidah-kaidah yang diwariskan turun temurun. Namun, juga jangan asal beda sehingga merusak,” jelasnya.
Selama ini ia mengaku tetap berusaha mengembangkan seni tradisional karena generasi di bawahnya tidak ada yang memulai. “Kesenian tradisional adalah sesuatu yang bisa dikembangkan. Biasanya anak muda lah yang akomodatif terhadap perkembangan,” jelasnya. Walau pun masih di bawah target ia menjelaskan bahwa ada perkembangan dan keuntungan yang bisa diperoleh dari mengembangkan seni tradisional. Jadi harapan akan kebangkitan seni-seni tradisional masih belum hilang.
ditulis untuk majalah Kabare Kagama Edisi Wisuda UGM Februari 2012

1 komentar: