Susilo Nugroho
Menggeluti Seni
Peran Tradisional di Era Global
Keyakinan bahwa
sesuatu yang tradisional bukan berarti seuatu yang mandeg dan kaku tapi bisa
menyesuaikan dengan perubahan jaman adalah hal yang terus dipegang oleh Susilo
Nugroho. Sosok yang sempat menghiasi
dunia pertelevisian Indonesia di era
orde baru lewat perannya sebagai Den Baguse Ngarso ini ternyata hingga kini
masih menggeluti seni peran di sela-sela kesibukannya sebagai pengajar.
Kita tentu masih ingat dengan sosok Den
Baguse Ngarso yang sok pintar, sok tau, sombong,
dan nggaya.
Tokoh Den Baguse Ngarso yang diperankan oleh Susilo Nugroho selama lebih dari sepuluh
tahun ini hadir dalam program Mbangun Deso, acara yang ditayangkan oleh TVRI
Yogyakarta saat itu. Acara yang sempat menjadi program favorit masyarakat
Yogyakarta dan sekitarnya kala itu menurut penuturan Susilo Nugroho tadinya
merupakan acara yang tidak menarik sama sekali.
“Malah banyak
masyarakat yang mematikan televisinya ketika acara tersebut berlangsung,”
kisahnya. Hal itu disebabkan Mbangun Deso awalnya merupakan acara yang sangat
kaku. Acara yang merupakan program pemerintah orde baru ini berisi macam-macam
penyuluhan. Penyuluhan tentang pertanian, keluarga berencana, kesehatan hingga
politik dikemas dalam acara itu.
Mengetahui respon
negatif dari masyarakat maka konsep acara diubah. Perubahan pertama adalah
petugas-petugas dari dinas yang akan melakukan penyuluhan menjadi tokoh utama.
Susilo Nugroho yang saat itu menjadi penulis naskah akhirnya mengusulkan untuk menciptakan
tokoh utama yang tetap sehingga penonton tidak bingung. Akhirnya ia sendiri pun
ditunjuk sebagai pemeran salah satu tokoh yaitu Den Baguse Ngarso. Ada pun
tokoh lainnya saat itu antara lain adalah Pak Binah, Sronto, dan Kuramin.
Akhirnya acara ini berbentuk semacam sitkom tanpa menghilangkan substansi
penyuluhan dan mendapat perhatian yang besar dari masyarakat.
Hingga kini tidak
sedikit yang masih mengenali Susilo Nugroho sebagai Den Baguse Ngarso, walau pun
acara tersebut sudah tidak tayang lagi. “Kebanyakan yang kenal ya yang umurnya
25 tahunan ke atas, berarti wajah saya tidak banyak berubah ya?” ujarnya sambil
tertawa. Untuk pemuda-pemuda biasanya mengenali Susilo Nugroho karena
diberitahu orang atau mulut ke mulut sebab mereka tidak mengikuti acara Mbangun
Deso.
Perubahan dari sosok
yang dikenal oleh masyarakat luas menjadi sosok yang tidak seterkenal dulu
awalnya cukup menjadi beban. Namun, sekarang ia sudah bisa menyesuaikan diri.
Apalagi sampai sekarang ia masih menikmati kegiatannya di dunia peran walau tak
sesibuk dulu. Beberapa kegiatannya kini antara lain adalah pentas bersama
Teater Gandrik dan mengisi salah satu acara di TVRI sebulan sekali. Bersama
Teater Gandrik ia biasa pentas di Yogyakrta dan Jakarta. Selain itu laki-laki
kelahiran Yogyakarta, 5 Januari 1959 ini juga menjadi pengajar di SMK N 1
Bantul untuk mata pelajaran pemasaran. “Kalo ngajar ya sudah dari dulu sebelum
mendapat peran sebagai Den Baguse Ngarso,” jelasnya.
Susilo menjelaskan
bahwa dunia pertelevisian kini sudah jauh berbeda dengan dulu. Dulu stasiun
televisi didominasi oleh pemerintah dan sekarang banyak televisi swasta
bermunculan. Bahkan stasiun televisi lokal pun semakin bertambah. “Namun, dulu
dan sekarang sama-sama tidak seimbang. Dulu didominasi pemerintah sekarang
pihak swasta yang menguasai,” ujarnya ketika ditanya mengenai kekurangan dunia
pertelevisian Indonesia.
Jaman terus berubah
seiring dengan perkembangan tekhnologi dan gaya hidup masyarakat saat ini. Susilo
Nugroho berpendapat bahwa kehidupan remaja saat ini sangat berbeda dengan
masanya dulu. “Saya itu malah heran apa anak muda jaman sekarang ini senang?”
paparnya. Ia mencontohkan di sekolah tempatnya mengajar saja jam pelajaran
mencapai 48 jam seminggu. Belum lagi masih ditambah les dan kegiatan
ekstrakurikuler. Kalau ada waktu senggang sedikit paling sering pergi ke mall.
Susilo Nugroho
mengisahkan bahwa ia sangat menikmati masa mudanya dulu. “Sepulang sekolah kalau mau naik sepeda kita bisa berkeliling
kampus mulai dari UGM, UNY, Sanata Dharma, Atma Jaya dan seterusnya pasti ada
acara,” kenangnya. Dulu malahan sampai ada arisan teater karena pentas yang
jumlahnya banyak dalam satu hari. Arisan teater di sini maksudnya adalah
pergiliran pemakaian tempat. Walau dengan teknologi yang minim saat itu peminat
teater termasuk banyak. Acara-acara yang ada saat itu mulai dari pentas musik
akustik, wayang, kethoprak dan pembacaan puisi. “Sekarang saya sudah setahun
hampir setiap hari lewat UGM rasanya sepi-sepi saja,” kisahnya.
Mengenai rendahnya
minat kaum muda masa kini dengan kesenian tradisional Susilo menganggap itu
juga karena kesalahan generasi tua. “Generasi tua harusnya mengenalkan
seni-seni tradisional pada pemudanya,. Sebab bagaimana pemuda mau tertarik
kalau tau saja mereka tidak,”
tandasnya. Kini lagu-lagu pop bisa didapat hanya dengan membuka internet lalu
mengunduhnya. “Kalo wayang kulit ya gak ada di internet,.Wajar kalau anak
sekarang gak tau wayang, lenong,
srandul, dan kethoprak, karena yang tua gak
mau rekayasa,” paparnya. Dalam hal ini pemerintah menurutnya juga tidak banyak
memberi dorongan.
Pengalaman menarik
yang pernah dialami oleh Susilo Nugroho salah satunya adalah ketika ia pentas
ketoprak. Ada seorang pemuda yang menemuinya di akhir pentas untuk memberi selamat.
Ketika ditanya alasan kenapa menonton acara tersebut jawaban pemuda itu adalah
karena ia sudah bosan dengan acara televisi dan karena kebetulan adanya
kethoprak maka ia menonton kethoprak. “Jawabannya sangat luar biasa,” ucapnya
sambil tertawa. Minat terhadap kesenian tradisional memang cenderung menurun.
Namun, yang harus dijadikan perhatian adalah tidak hanya mengenai meningkat
atau menurunnya. “Permasalahannya adalah sudah jelas turun kok hanya mengeluh,” tegasnya.
Disebabkan tidak adanya peluang bisnis maka orang-orang menjadi tidak
mendukung,
Dalam waktu dekat ini
Susilo Nugroho mempunyai rencana untuk mengundang pemuda-pemuda dalam acaranya
secara gratis. “Jika kursi yang disediakan seratus saya berani menyebar
undangan dua ratus,” ucapnya. Hal itu disebabkan belum tentu yang diundang itu
tahu mengenai jenis acara yang diadakan. Susilo Nugroho berharap kepada kaum
muda jika ingin mengembangkan karya tradisional tidak perlu menunggu yang tua.
“Tidak perlu mikir pakem atau kaidah-kaidah yang diwariskan turun temurun.
Namun, juga jangan asal beda sehingga merusak,” jelasnya.
Selama ini ia mengaku
tetap berusaha mengembangkan seni tradisional karena generasi di bawahnya tidak
ada yang memulai. “Kesenian tradisional adalah sesuatu yang bisa dikembangkan.
Biasanya anak muda lah yang akomodatif terhadap perkembangan,” jelasnya. Walau
pun masih di bawah target ia menjelaskan bahwa ada perkembangan dan keuntungan
yang bisa diperoleh dari mengembangkan seni tradisional. Jadi harapan akan
kebangkitan seni-seni tradisional masih belum hilang.
ditulis untuk majalah Kabare Kagama Edisi Wisuda UGM Februari 2012
Apik tenan ....
BalasHapus