Permasalahan
Bangsa
Timur dikenal sebagai bangsa yang ekosentris. Bangsa
yang menjujung tinggi penghormatannya terhadap alam. Bangsa yang menempatkan
alam sebagai makhluk yang juga mempunyai haknya. Semua itu terlihat jelas dari
ajaran-ajaran Lao Tse dan mistisisme rakyat Jawa. Mistisisme suku Jawa, seperti
mengkeramatkan pohon beringin, dianggap sebagai satu upaya untuk melestarikan
pohon yang bisa menghasilkan persediaan air tersebut.
Suku Jawa dan juga
sebenarnya nenek moyang bangsa Indonesia adalah penganut animisme dan
dinamisme. Jadi bangsa kita, jika melihat dari asal muasal nenek moyang kita,
adalah bangsa yang mempercayai alam merupakan sesuatu yang harus kita hormati.
Bahkan alam akan marah jika kita tidak memperlakukannya dengan baik.
Namun, jaman terus
berkembang. Dari bangsa yang primitive kita telah ikut dalam arus modernitas.
Sikap dan perilaku kita pun berubah-ubah. Sayangnya, perubahan yang terlihat
adalah perubahan ke arah yang negatif. Salah satu hal yang mencolok adalah
mengenai pencemaran sungai. Pencemaran sungai terjadi tak hanya di kota-kota
besar saja. Masyaraka desa pun agaknya sudah mulai membuang sampah di
sungai-sungai bahkan sungai kecil yang diperlukan untuk irigasi.
Sungai terkenal di
Jakarta misalnya, Ciliwung, sudah tercemar berat. Kepala Badan Lingkungan Hidup
(BLH) Kota Depok, Rahmat Subagio, yang didampingi Kabid Pemantauan Lingkungan,
Kania Parwanti, menyatakan hasil penelitian di laboratorium menunjukkan bahwa
kualitas air Sungai Ciliwung sudah tidak dapat lagi dimanfaatkan sebagai sumber
bahan baku PDAM di Kota Depok (kompasiana.kompas.com). Namun, nyatanya masih
banyak warga yang memakainya unuk keperluan sehari-hari seperti mencuci dan
memasak.
Selanjutnya Sungai
Citarum juga telah mengalami pencemaran yang begitu memprihatinkan. Dari hasil
penelitian yang di lakukan terhadap 7 sungai utama yaitu Cimanuk,
Citarum,Cisadane,Kali Bekasi, Ciliwung, Citanduy, dan Cilamaya, kesemuanya
menunjukan status D atau kondisi yang sangat buruk (tarungnews.com). Limbah
Sungai Citarum berasal dari limbah domestik hingga industri. Sungai Bengawan
Solo juga tak luput dari pencemaran.
Mengenai penanganannya
sendiri sebenarnya sudah beberapa dilakukan. Namun, ada yang dirasa kurang
serius atau sulit karena memang membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Dibutuhkan setidaknya Rp13,3
triliun pertahun untuk memulihkan pencemaran 40 sungai atau mencapai 76,3% dari
53 sungai di Jawa, Sumatera, Bali, dan Sulawasi (bisnis.com). Ecological Observation and Wetlands
Conservation (Ecoton) atau Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah
menilai penanganan pencemaran Sungai Surabaya yang dilakukan pemerintah
setempat tidak serius. Ada beberapa penyebab tingginya pencemaran di Kali
Surabaya di antaranya karena penegakan hukum terhadap pencemaran kurang
maksimal (metrotvnews.com).
Masalah yang coba
diangkat dalam paper ini adalah dinamika
masyarakat yang tinggal di lingkungan kumuh
ditinjau dari perspektif psikologi lingkungan.
Kajian Teori
dan Beberapa Penelitian
a. Teori
Beban Lingkungan
Teori
ini mempunyai beberapa asumsi menurut Cohen (Fisher 1985 dalam Veicth dan
Arkkelin 1995 dalam Helmi 1999), yaitu:
1. Manusia
mempunyai keterbatasan dalam pemrosesan informasi.
2. Ketika
stimulus melebihi kapasitas pemrosesan informasi maka proses perhatian tidak
akan optimal.
3. Respon
adaptif dibutuhkan saat stimulasi berlangsung.
4. Perhatian
yang diberikan tidak konstan sepanjang waktu, tapi sesuai kebutuhan
Menurut teori ini yang penting diperhatikan adalah
kapasitas dan pemorosesan.
b. Teori
Hambatan Perilaku
Teori
ini menjelaskan tentang hilangnya control ketika stimulasi yang ada tidak
diinginkan. Ketika itu terjadi maka orang akan mencoba untuk mengatasinya. Jika
itu gagal maka disebut learned helplessness. Teori ini dikembangkan oleh
Altman. Konsep penting dari Altman adalah tentang pentingnya privasi. Privasi
dapat diperoleh dengan cara menciptakan personal space, teritori, komunikasi
verbal dan non verbal (Helmi, 1999). Sementara itu Averril mengatakan bahwa
control terhadap lingkungan ada tiga jenis yaitu control kognitif, control
perilaku, dan control lingkungan.
c. Penelitian
Persepsi dan Perilaku Masyarakat dalam Pelestarian Hutan Sebagai Daerah Resapan
Air
Menurut kajian teori fungsi utama hutan adalah lindung terlepas dari
bentuk pemanfaatannya (hutan produksi, suaka alam, dan sebagainya). Sehingga
aktivitas budidaya seharusnya tidak boleh berlokasi di kawasan lindung karena
akan mengganggu fungsi lindung itu sendiri. Sedangkan menurut persepsi
masyarakat, hutan memiliki banyak fungsi (fungsi majemuk) (Umar, 2009). Selain
itu diketahui juga bahwa masyarakat tidak punya pengetahuan yang menyeluruh
tentang hutan sehingga tidak mengerti mengenai kewajiban-kewajibannya sehingga
kurang menjaga kelestarian hutan.
Menurut persepsi masyarakat pula mereka bukan
bagian dari pengelola kelestarian hutan sehingga tidak turut serta dalam
penjagaan hutan. Masyarakat memiliki persepsi bahwa hutan merupakan aset milik
umum (common property) sehingga mereka merasa berhak mengelola hutan dan
memiliki kewajiban memelihara kelestarian hutan sebagai daerah resapan air.
Timbulnya persepsi tersebut erat kaitannya dengan kepentingan masyarakat untuk
memiliki akses terhadap sumber daya hutan sebagai sumber mata pencaharian
(Umar, 2009).
d. .Pola
Perilaku Kebersihan: Studi Psikologi Lingkungan Tentang Penanggulangan Sampah
Perkotaan
Sampah sebagai stimulus diolah melalui
peta kausal pelaku, digabung-gabungkan dengan informasi yang sudah tersimpan
dalam ingatan, untuk kemudian diinterpretasi dan diberi makna tertentu. Makna tersebut,
menentukan tindakan-tindakan yang akan dilakukan oleh subyek. Dapat dinyatakan
bahwa tindakan-tindakan terhadap sampah didasari oleh makna subyektif pelaku
(Wibowo, 2009)
Pola perilaku kebersihan (PPK)
dibangun, dibentuk, diorganisasikan terus-menerus melalui tindakantindakan
penghuni, tatanan kejadian-kejadian yang membentuk pola perilaku kebersihan
ditentukan oleh resources (sumber daya setting) dan faktor
kontekstual yang melingkupinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tindakan
penghuni secara kolektif terhadap sampah yang terjadi secara terus menerus dari
hari ke hari merupakan proses yang membentuk pola perilaku kebersihan yang
relatif menetap. Rangkaian tindakan kolektif yang selaras dengan motif bersama
(memelihara kebersihan lingkungan) yang berdampak lingkungan bersih, membentuk
pola perilaku kebersihan. Dengan demikian program kebersihan dapat dinyatakan
sebagai pembentukan pola perilaku kebersihan . Sebaliknya rangkaian tindakan
kolektif yang tidak selaras dengan motif bersama dan berdampak lingkungan kotor
membentuk pola perilaku yang dinyatakan sebagai pola perilaku kebersihan.
e. Sumbangan
Kota Bandung terhadap Pendangkalan Sungai Ci Tarum
Pemerintah dengan UU maupun PP
sudah menetapkan aturan mengenai penjagaan terhadap kelestarian sungai. Namun,
masyarakat merasa UU dan PP itu tidak penting sebagaimana mereka lakukan.
Proses Penyadaran akan lingkungan perlu dilakukan sejak dini mulai dari institusi
keluarga hingga pendidikan dan level masyarakat. Etika Lingkungan sangat
diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Apabila hal ini dilaksanakan maka
kerusakan lingkungan dapat diatasi sedini mungkin (Pasya, 2009).
Pembahasan
Tidak dapat dipungkiri dalam menjalani kehidupan
modernnya ini manusia Indonesia memperlakukan alam sebagai objek dan mereka
sebagai subjek yang bisa mengeksplorasi alam semampu mereka. Pasalnya ini tidak
terjadi dalam level industri saja namun juga terjadi dalam level sosial
masyarakat desa yang notabene lebih dekat dengan alam secara fisik. Sebagai
contoh penelitian Umar (2009) yang menyatakan bahwa masyarakat tidak memiliki
persepsi sebagai bagian dari penjaga hutan dan meyakini bahwa hutan merupakan
milik umum dan memilki fungsi majemuk termasuk untuk pemenuhan kebutuhan
mereka.
Salah satu aspek psikologis yang menarik untuk disoroti
dalam kasus ini adalah aspek kognitif.
Sebab dinamika proses terbentuknya informasi mengenai sungai yang tercemar,
sebab-sebabnya, hingga penangananya merupakan rangkaian proses kognitif yang
terkait satu sama lain.
Terkait dengan aspek kognitif dalam psikologi lingkungan
hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Gestalt
bahwa yang menentukan dalam hubungan manusia dan lingkungan adalah persepsi.
Kenyatannya masyarakat memang lebih
mengutamakan persepsi dan menggunakan itu sebagai alat pengambil
keputusan. Misalnya membuang sampah sedikit di sungai akan dipersepsikan
sebagai kegiatan yang biasa karena sampah yang dibuang sedikit. Apalagi jika
rumahnya di tepi sungai maka membuang sampah dipersepsikan sebagai suatu yang
wajar. Akibatnya, peraturan yang sudah ada kurang diperhatikan.
Hal
ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Cohen bahwa stimulus yang kurang tidak akan mendapatkan perhatian dari subjek.
Dalam hal peraturan mengenai penjagaan hutan maupun sungai, harus diberikan sosialisasi
yang terus menerus dan komunikatif sehingga masyarakat akan
menginternalisasi informasi itu dan
mengimplementasikan peraturan-peraturan itu. Selain itu sesuai dengan teori kontrol maka pemimpin masyarakat
harus mampu memberi contoh perilaku menjga lingkungan yang baik agar bisa
menjadi teladan bagi masyarakatnya.
Ketika
beberapa hal yaitu informasi yang terus menerus dan teladan dari pimpinan
mengenai perilaku menjaga alam ada, maka dalam pikiran individu akan
benar-benar terbentuk pemahaman mengenai itu. Informasi yang ada akan
diakomodasi dan diasimilasi sehingga terbentuk konstruk yang logis mengenai
bagaimana kita harus menjaga alam, khususnya sungai dan hutan.
Masyarakat
memang bisa menjadi dan korban sekaligus terkait kerusakan sungai. Dalam artikel
penelitian Pasya misalnya yang bertajuk Sumbangan Kota Bandung terhadap
Pendangkalan Sungai Citarum. Dalam tulisan Pasya tersebut dijelaskan
bahwa pendangkalan sungai Citarum sebagian besar disebabkan oleh perilaku
masyarakat yang membuang sampah di sekitar aliran sungai. Meskipun berbagai
peraturan baik PP maupun UU sudah dikeluarkan oleh pihak terkait masyarakat
tetap tidak mempedulikannya. Sementara itu Wibowo menjelaskan bahwa sampah
sebagai stimulus diolah melalui peta kausal pelaku. Stimulus dari sampah ini digabung-gabungkan dengan informasi yang
sudah tersimpan dalam ingatan, untuk kemudian diinterpretasi dan diberi makna
tertentu. Bagaimana membentuk makna ini kemudian menjadi penting. Paling tidak
masyarakat harus memaknai bahwa pembuangan sampah secara sembarangan merupakan
hal yang buruk dan lebih baik lagi jika masyarakat memaknai bahwa sungai
merupakan bagian dari kehidupan mereka yang harus pula dijaga.
Di samping
masalah kejelasan sanksi dan juga bagaimana mengawasi setiap sungai saat agar
tahu individu mana yang melanggar peraturan, seseungguhnya yang paling penting
adalah memahamkan betul kepada masyarakat mengenai mengapa penting menjaga
sungai. Informasi mengenai pentingnya menjaga sungai dan juga dampak pencemaran
terhadap masa depan perlu disampaikan dengan bahasa yang komunikatif. Penetapan
peraturan tanpa masyarakat menginternalisasi pencemaran dan dampaknya tidak
akan efektif apalagi dengan pemasangan plang-plang UU atau PP yang kaku dan
sulit dipahami. Ketika bahasa komunikatif dan pendekatan personal diterapkan
maka masyarakat akan merasa menjadi bagian dari pelaku penjaga sungai yang
nantinya juga akan merasakan manfaat dari hal itu.
Dalam kaitannya dengan perhatian maka menjaga hutan
memang bukan menjadi perhatian utama masyarakat. yang menjadi perhatian utama
dan mengalahkan yang lain adalah kebutuhan sehari-hari mereka. Dalam hal
perusakan hutan maupun pencemaran sungai masyarakat lebih difokuskan pada
kebutuhan akan pemenuhan sandang dan pangan sehari-hari sehingga masalah
penjagaan hutan atau sungai tidak terpikirkan oleh mereka. Hal itu sesuai
dengan teori beban lingkungan yang menyatakan bahwa manusia mempunyai
keterbatsan dalam pemrosesan informasi.
Kerusakan lingkungan akhirnya menjadi sesuatu yang
disebut learned helplessness yaitu
kegagalan yang dipelajari dan menjadi suatu kebiasaan. Sehingga proses
penyadaran bahwa hal itu merupakan hal yang sangat merugikan dan bisa diatasi
perlu ditanamkan sejak dini mulai dari institusi pendidikan hingga campur
tangan pemerintah lokal maupun nasional.
Kesimpulan
Kerusakan
lingkungan terus menerus terjadi karena beberapa hal sebagai berikut:
1. Manusia
yang mengutamakan pemenuhan kebutuhan fisik sehingga tidak punya perhatian
terhadap lingkungan.
2. Perhatian
yang tidak ada itu karena manusia mempunyai keterbatasan dalam hal pemrosesan
informasi.
3. Sosialiasasi
peraturan yang seharusnya menjadi stimulus untuk membuat masyarakat peduli
namun kurang intensitasnya sehingga tidak menjadi perhatian bagi masyarakat.
4. Learned helplessness yang terjadi pada masyarakat
menjadikan fenomena penecemaran lingkungan menjadi sesuatu yang wajar.
Rekomendasi
Sedikit sumbangan ide untuk masalah pencemaran sungai dan
kerusakan hutan:
1. Membangkitkan
perhatian masyarakat (target adalah kognitif masyarakat) terhadap lingkungan
dengan komunikasi verbal seperti: penyuluhan rutin. Terutama di daerah-daerah
kumuh yang sudah parah pencemarannya. Dengan komunikasi non verbal seperti tanda
pelarangan membuang sampah dan plang-plang berisi peringatan dengan bahasa yang
komunikatif.
2. Menyadarkan
bahwa lingkungan merupakan milik kita yang harus dijaga. Jadi menyadarkan bahwa
lingkungan adalah bagian dari keseharian kita (meningkatkan place attachment) dengan cara kerja
bakti, pemasangan plang-plang yang berisi tulisan bahwa alam milik kita.
Contoh, seperti yang dilakukan Romomangun
dulu dengan cara menghadapkan rumah ke arah sungai sehingga secara otomatis
masyarakat akan mempunyai perhatian terhadap sungai.
3. Mempertegas
sanksi bagi yang melanggar. Itu sekaligus mempertegas aturan yang ada.