Sabtu, 22 Desember 2012

Bosman Batubara: Menilik Kembali Lumpur Sidoarjo


Bosman Batubara: Menilik Kembali Lumpur Sidoarjo

Pada 29 Mei 2006 lumpur panas menyembur di area pengeboran milik PT Lapindo Brantas. Lumpur menyembur hingga ketinggian 40 meter pada jarak 150 meter dari lokasi pengeboran. Enam tahun telah berlalu sejak hari itu, tetapi hingga kini semburan itu belum berhenti. Telah banyak wacana, perdebatan, hingga beberapa peraturan presiden, dan berbagai advokasi dilakukan terkait penanganan peristiwa tragis ini. Faktanya tragedi itu masih menyisakan berbagai permasalahan yang belum tertangani secara tuntas.
            Empat tahun setelah semburan lumpur itu muncul, Bosman Batubara alumni Fakultas Teknik Jurusan Teknik Geologi UGM bertandang ke Porong untuk turut serta melakukan advokasi. Tidak sendirian, advokasi yang dia lakukan sebelumnya telah didahului oleh rekannya, Paring Wahyu Utomo, pada tahun 2006. Dari banyak proses wawancara yang mereka lakukan terhadap masyarakat dari kedai kopi ke kedai kopi dan banyak advokasi mereka berdua akhirnya melahirkan sebuah karya dalam bentuk buku berjudul “Kronik Lumpur Lapindo Bencana Industri dan Bisnis Lumpur Lapindo”.
Terkait semburan lumpur yang kini genangannya telah meluas berkali-kali lipat itu ada isu yang sangat penting sehingga berdampak pada keluarnya beberapa peraturan presiden. “Isu yang penting adalah mengenai apakah semburan itu termasuk bencana alam atau kah bencana industri,” jelas Bosman. Gempa di Yogyakarta dijadikan salah satu faktor untuk menyusun teori lempeng tektonik yang mengarahkan isu ini pada bencana alam.
Namun, penelitian membuktikan bahwa getaran dari pusat gempa Yogyakarta tidak cukup besar sehingga tidak akan menimbulkan mud volcano. Fakta tersebut diperkuat dengan pandangan dari pakar geologi dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya Ir Amien Widodo, MT, yang menyebutkan bahwa semburan lumpur di Sidoarjo bisa dimungkinkan hanya jika efek gempa yang sampai di Porong dan sekitarnya berkekuatan hingga 6 skala Richter (SR). Kenyataannya, efek gempa yang sampai ke Porong dan sekitarnya hanya 2,2 SR.
Dari sisi lain banyak ilmuwan yang meyakini bahwa tragedi lumpur ini murni karena kesalahan manusia, kesalahan teknis yang dilakukan oleh PT Lapindo Brantas. “Yang aku yakini adalah bahwa apa yang terjadi dengan Lapindo itu disebabkan karena kesalahan manusia,” tandas Bosman. PT Lapindo Brantas tidak memasang alat pemboran sesuai perencanaan. Apa yang ditulis Bosman dalam bukunya senada dengan apa yang dituliskan Ali Azhar Akbar pada bukunya yang berjudul Konspirasi di Balik Lumpur Lapindo. Penulis yang sempat dikabarkan hilang itu menulis bahwa terdapat dokumen rapat milik PT Lapindo Brantas yang menyatakan bahwa saat pengeboran mencapai 8.500 kaki, PT Medco Energi sebagai salah satu pemegang saham Lapindo memperingatkan agar operator segera memasang selubung pengaman (casing) berdiameter 9.297 kaki, tapi prosedur baku pengeboran itu diabaikan.
Beberapa cara telah diupayakan untuk menghentikan semburan itu. Sebab bagaimanapun kini dampak buruk yang ditimbulkan semakin meluas. Jika kita mengingat dulu sempat coba untuk dimasukan bola-bola beton untuk mengurangi debit lumpur. “Beberapa hari sempat berkurang memang, tapi kemudian kembali lega,” jelas Bosman. Sikap pemerintah yang tidak tegas menyebabkan isu berkembang sehingga muncullah peraturan presiden yang mengatur pembagian tanggung jawab antara PT Lapindo Brantas dengan pemerintah.
Antara lain perpres yang dikeluarkan adalah perpres no 14 tahun 2007, no 48 tahun 2008, dan 40 tahun 2009. Perpres-perpres yang dikeluarkan tersebut membagi tanggung jawab antara PT Lapindo Brantas dan pemerintah. Untuk penggantian atas kerugian lahan yang terendam yang akhirnya muncul dalam skema jual beli sebagian ditanggung perusahaan itu dan sebagian pemerintah. “Seandainya pemerintah tegas menyatakan bahwa itu memang karena kesalahan teknis maka ganti rugi sepenuhnya ditanggung oleh PT Lapindo Brantas karena itu mengacu pada bencana industri,” tegas Bosman.
Bentuk ganti rugi dihitung dari luas lahan dan nilai bangunan yang berdiri di atasnya. “Uang dibayarkan pada akhir 2006 atau akhir 2007, artinya kalo mengacu pada
perpres harusnya akhir 2008 atau awal 2009 udah selesai. Tapi pada 2009 belum selsesai,” jelas Bosman. Bahkan selanjutnya Lapindo Minarak Jaya, anak perusahaan dari PT Lapindo Brantas, menawarkan skema cicilan yang berarti tiap bulan korban akan mendapat uang senilai 15 juta. Faktanya skema cicilan itu juga tidak lancar. Padahal jika merunut pada perpres maka harusnya pembayaran dilakukan secara langsung.
            Munculnya penawaran skema cicilan membuat masyarakat terbagi menjadi dua. Dua kelompok itu yang pertama adalah yang tetap memperjuangkan pembayaran langsung. “Orang yang menolak cicilan merasa bahwa mereka orang yang taat hukum karena sesuai dengan perpres. Sedang yang menerima dianggap cicilan tidak taat hukum,” jelas Bosman. Proses penghitungan lahan menjadi nilai uang ini juga menimbulkan masalah tersendiri. Secara psikologis maka orang akan menjadi sangat perhatian dengan berapa luas lahan yang dia miliki sampai ke masalah warisan. “Antara saudara pun bisa menjadi gontok-gontokan karena perhitungan lahan,” jelas Bosman. Selain itu pada umumnya masyarakat di sana tak sedikit yang mempunyai lahan begitu luas sehingga jika dibayar dengan skema cicilan bisa membutuhkan waktu berpuluh-puluh tahun.
Namun, menurutnya masalah ini tak sesederhana masalah ganti rugi atas bencana yang terjadi. Kepentingan bisnis dan politik tingkat tinggi juga diyakini memang nyata terjadi. Sebelum lumpur menyembur pada tanggal 29 Mei 2006 bahkan terendus kepentingan dari PT Lapindo Brantas untuk menguasai lahan yang ada. Bosman menuturkan bahwa persuasi yang dilakukan perusahaan besar tersebut adalah akan dijadikannya lahan di sana untuk kepentingan pertanian dan semacamnya. Namun, ketika banyak perangkat tambang muncul seperti truk dan alat bor, masyarakat baru sadar bahwa ada yang tidak beres.
Selama di Porong Bosman banyak melihat bahwa sesungguhnya ada hal yang lebih berharga daripada penghitungan uang lahan. Tatanan sosial masyarakat yang ada, rasa kebersamaan, kekeluargaan, dan hal yang tak nampak sebenarnya memiliki nilai yang jauh lebih banyak. “Misalnya arisan ibu-ibu. Sebenarnya itu merupakan suatu bentuk jaringan pengaman sosial di mana warga bisa saling meminjami uang. Namun akibat bencana  sistem seperti itu menghilang,” jelas Bosman.
Masalah pendidikan, kesehatan, dan ekonomi juga menjadi hal yang perlu dipikirkan. Anak-anak kehilangan sekolah, rawan terkena penyakit terutama pernafasan, dan banyak buruh kehilangan pekerjaan. “Akibat lumpur lapindo banyak pabrik yang tutup dan buruh kehilangan pekerjaannya. Padahal buruh yang rata-rata umurnya sudah tidak muda lagi sehinnga jika melamar ke pabrik lain akan ditolak dengan alasan umur terlalu tua,” papar Bosman. Pembentukkan koperasi perempuan adalah salah satu advokasi yang Bosman dan rekan-rekannya lakukan. Pikiran dan tenaga para pria pada umumnya sudah habis untuk melakukan banyak negosiasi dan demonstrasi memperjuangkan haknya. Demi harusnya berjalannya roda perekonomian maka dibentuklah koperasi.
Tragedi ini memang tak semata hanya bencana saja. Namun sudah banyak kepentingan yang bertahun-tahun tarik ulur terjadi. Sehingga berdampak pada kebijakan-kebijakan yang diambil dan selanjutnya bisa berdampak bagi kondisi sosial masyarakat. Tentu saja advokasi yang dilakukan harus terus dilakuakn dengan evaluasi agar tak latah dan salah arah. Satu hal yang paling penting tentu saja adalah ketegasan pemerintah dalam menyikapi tragedi ini. 
ditulis untuk majalah Kabare Kagama Edisi Wisuda UGM November 2012

1 komentar:

  1. BANGSA TEMBRE

    Selama PENGAMBIL KEPUTUSAN masih berpendapat
    • bahwa saat terjadi gempa banyak rumah yg roboh maka yang disalahkan gempanya;
    • bahwa saat terjadi angin puting beliung banyak pohon dan papan reklame roboh yang disalahkan anginnya;
    • bahwa saat hujan deras dikuti banjir/banjir bandangi yang disalahkan hujannya;
    • bahwa saat hujan deras terjadi tanggul jebol yang disalahkan hujannya.
    • bahwa saat terjadi kebakaran yang menimbulkan kerusakan dan kerugian yang disalahkan apinya;
    • bahwa saat terjadi serangan influensa yang menimbulkan penyakit flu dimana mana, yang disalahkan virusnya;
    • bahwa saat terjadi semburan lumpur yang menenggelamkan ribuan rumah yang disalahkan gempa

    Maka selama itu pula kita tidak pernah belajar dari kesalahan untuk memperbaiki masa depan. Kita akan terantuk masalah yg sama berulang ulang tanpa melakukan apa apa.

    BalasHapus