Pendidikan
pada dasarnya adalah sebuah proses yang mulia. Kemuliaan itu terletak pada
tujuannya yakni memanusiakan manusia. Memanusiakan manusia berarti membuat
manusia menjadi berfungsi sepenuhnya agar sejahtera hidup berdampingan dengan
masyarakatnya baik lokal maupun global dan mampu merencanakan masa depan
hidupnya yang cerah secara merdeka. Dalam menerawang nasib masa depan pendidikan
di Indonesia maka kita perlu memahami dan mengamati betul apa dan bagaimana
pendidikan tumbuh di hamparan bumi pertiwi ini.
Kesadaran akan
pentingnya pendidikan bagi masyarakat Indonesia ternyata telah diinsyafi oleh
pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Hal itu terlihat dari pembukaan
Undang Undang Dasar 1945 yang salah satunya berbunyi “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Mencerdaskan kehidupan bangsa
bermakna mewujudkan masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang percaya diri
dalam bersaing dengan masyarakat internasional di era global ini.
Dalam Pembukaan UUD
1945 tersebut secara jelas terlihat bahwa pemerintah sebagai pemangku kebijakan
dengan segala wewenang dan fungsinya wajib untuk menyelenggarakan sarana dan
pra sarana pendidikan bagi rakyatnya. Mencuplik salah satu kebijakan pemerintah
kita adalah kebijakan pemerintah orde baru dengan idenya yang mahsyur “wajib
belajar sembilan tahun”. Wajib belajar sembilan tahun yang artinya belajar
hingga minimal taraf sekolah menengah pertama ini kini telah mengarah pada
wajib belajar dua belas tahun.
Bukan hanya ide saja,
orde baru juga gencar melakukan revolusi fisik seperti pembangunan
infrastruktur sekolah dan penyeragaman buku sekolah. Ide-ide semacam itu
tentunya tidak terlepas dari ciri pemerintahan orde baru yang sentralistik dan
otoriter. Hingga kini kita hampir menuju pemilu untuk memilih presiden kita
yang ke- 7 berbagai kebijakan berhamburan menciprati dunia pendidikan
Indonesia. Namun, setelah bangsa Indonesia merdeka selama 66 tahun dan berbagai
kebijakan pemerintah dicipratkan lewat berbagai undang-undang, pendidikan di
Indonesia ini nyata-nyata belum mencapai apa yang dimaksudkan dalam Pembukaan
UUD 1945 yaitu cerdasnya kehidupan bangsa. Jangankan tercapainya tujuan yang
mulia itu malahan negeri ini menyabet berbagai prestasi buruk dalam kancah
dunia pendidikan internasional.
Beberapa
prestasi buruk yang harusnya menampar dan menyadarkan kita semua, terutama
civitas perguruan tinggi antara lain adalah kualitas guru yang rendah, prestasi
siswa yang rendah, dan pengangguran terpelajar menumpuk. Persoalan pertama adalah
bab guru. Data konkret dari rendahnya prestasi guru kita adalah aspek kualitas
input/pengajar/guru Indonesia yang mendapat nilai E dan menempati peringkat
paling akhir dari 14 negara di kawasan asia pasifik yang diteliti oleh Asian South Pasifikc Beurau of Adult
Educatuion dan Global Campaign
for Education pada tahun 2005.
Bab
kedua adalah malangnya nasib anak-anak bangsa yang rendah prestasinya ketika
disandingkan dengan prestasi anak-anak dari negara lain. Berdasar Trends in Mathematic and Science Study (TIMSS)
2003-2004, siswa Indonesia hanya menduduki peringkat ke-35 dari 44 negara dalam
hal prestasi matematika. Bab ketiga adalah menumpuknya pengangguran terpelajar
di Indonesia. Dari sekian melimpahnya pengangguran di Indonesia ini pada tahun
2006 ada sekitar 3 juta sarjana muda yang ikut menjadi pengangguran karena
belum tertampung perusahaan. Masih banyak lagi data tentang bertaburannya
prestasi buruk dunia pendidikan kita jika kita mau mencari di dunia maya maupun
di buku-buku yang relevan. Namun, selain data kuantitatif tadi data kualitatif
yang bisa kita amati dan rasakan sendiri tentang sumbangnya nada pendidikan
Indonesia juga tak kalah banyak. Misalnya, banyak siswa terutama siswa sekolah
dasar yang sedih dan bermuka muram saat berangkat sekolah tetapi bahagia dan
cerah ketika mendengar bel pulang sekolah berbunyi.
Menjelang
dilaksanakannya ujian akhir nasional anak-anak sekolah dasar menjinjing tas
berat penuh berisi berbagai macam buku dan bekal makanan karena harus les
sampai sore. Menjelang ujian akhir nasional pula tak sedikit kasus kesurupan
terjadi di beberapa smp atau pun sma yang disinyalir penyebabnya adalah karena
stress dan cemas menghadapi ujian nasional yang dari tahun ke tahun standar
nilai kelulusannya terus dinaikan tanpa diimbangi dengan kualitas pembelajaran
dan mental siswa.
Pendidikan yang
seharusnya menjadi pencerahan telah menjadi tempat yang menyeramkan dengan
tingkat kompetisi peringkat yang tinggi dengan mengesampingkan pemberdayaan
anak didik sebagai individu. Tradisi rangking yang ada dalam sistem sekolah
negeri nyata-nyata malah menumbuhkan rasa individualis yang mengkhianati nilai
kebersamaan dan gotong royong sebagai salah satu nilai yang pernah dimiliki bangsa
ini.
Akibatnya kebanyakan
siswa lulus hanya mendapatkan ijazah saja tak lebih dari itu. Padahal pada
kenyataannya ijazah hanya berguna untuk proses administrasi saja dalam mencari
pekerjaan atau mendirikan lapangan kerja. Selebihnya hal yang diperlukan adalah
jiwa kepemimpinan, daya kreasi, kemampuan menciptakan visi dan misi dalam
hidup, kemampuan bersosialisasi dan adaptasi. Hal itu selanjutnya disebut
dengan karakter dan sistem pendidikan nasional dengan berbagai kurikulumnya
yang berganti-ganti belum mampu melahirkan siswa dengan karakter tadi. Alih
alih menjadi tempat untuk mengembangkan potensi diri sekolah malah menjadi
tempat menyeramkan bak sumber penyakit seperti stress, cemas dengan laku atau
tidaknya ijazah, mendapat peringkat atau tidak dan lain sebagainya.
Jika kita telah
memahami apa dan bagaimana keadaan pendidikan di negeri ini maka kita tidak
bisa diam saja dan membiarkan penyakit ini terus disebarkan turun temurun.
Banyak pihak bisa disalahkan terkait sumbangannya pada kebobrokan dunia
pendidikan Indonesia. Namun, demi mempertimbangkan nasib generasi penerus
bangsa dan juga bangsa ini sendiri maka kita harus segera bangkit dari penyakit
ini dan memulai penyembuhan mulai dari yang kita bisa semaksimal mungkin.
Ide-ide untuk
memperbaiki dunia pendidikan di Indonesia mulai bermunculan baik dalam hal
wacana maupun praktek langsung. Beberapa di antaranya adalah munculnya berbagai
pendidikan alternatif seperti Komunitas
Orang Rimba dan Butet Manurung di Jambi, SDKE Mangunan dan SMP Qaryah Thayyibah
di Salatiga Jawa Tengah. Selain itu ide-ide dari akademisi juga muncul salah
satunya ide gerakan Indonesia Mengajar oleh Anies Baswedan yang gencar
mengirimkan ratusan mahasiswa ke berbagai pelosok Indonesia untuk mengisi
kekosongan pengajar. Ide tersebut akhirnya memicu lahirnya berbagai gerakan
sejenis di berbagai kampus di Indonesia.
Dengan
segala kelebihan dan kekurangannya pendidikan alternatif seakan mulai menjawab
permasalahan pendidikan Indonesia walaupun belum semuanya. SMP Qaryah Thayibbah
misalnya sebagai salah satu contoh memiliki tujuan terwujudnya desa yang
berdaya mencoba menjawab permasalahan dengan pembelajaran berbasis komunitas. Konsep
guru mengajar diubah menjadi konsep belajar bersama. Dengan konsep ini guru
menempatkan diri sebagai teman yang mempunyai kelebihan dan kekurangannya
masing-masing. Siswa tidak perlu tunduk terpaksa pada kurikulum atau silabi
yang diterapkan guru. Siswa bersama dengan guru menentukan bersama apa yang
ingin dipelajari dan mempelajari pula kaitan antara materi yang dipelajari
dengan realita sehari-hari.
Dengan metode seperti
ini siswa terbukti lebih nyaman belajar dan menghasilkan berbagai macam
prestasi nyata seperti novel, album lagu, lukisan, dan masih banyak lainnya.
Namun, hal yang paling penting adalah dengan metode ini maka siswa menjadi
manusia merdeka yang mampu merencanakan dan meraih apa yang diinginkan. Siswa
dari SMP Qaryah Thayyibah ini dibebaskan untuk mengikuti atau tidak mengikuti
ujian akhir nasional. Namun, jangan salah, siswa-siswa di sini telah terbukti
mampu bersaing dan unggul dibanding siswa yang belajar pada sekolah formal.
Model-model
pembalajaran seperti ini kini mulai terus bermunculan dan menjadi bahan kajian
yang menarik baik oleh para aktivis maupun akademisi. Jika pemerintah mau mulai
membuka diri dengan saling bertukar ide tentang pendidikan kepada para
penggagas dan pelaku pendidikan alternatif maka bukan tidak mungkin model
terbaik sistem pendidikan bisa dirumuskan dan dipraktikan demi terwujudnya
kecerdasan bangsa. Dengan itu maka masa depan pendidikan Indonesia bisa
dipastikan setapak demi setapak menuju masanya yang cerah dan mencerahkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar