Minggu, 08 April 2012

SLB sebagai Tembok Bagi Perkembangan Konsep Diri Remaja dengan Ketidakmampuan


A.    Latar Belakang
Pendidikan sebagai hak yang harus didapat oleh tiap-tiap warga negara merupakan hal yang mutlak harus dipenuhi. Perbedaan-perbedaan atau kekurangan-kekuarangan yang ada pada masyarakat tidak boleh menjadi alasan terhalangnya suatu golongan terterntu untuk mendapatkan haknya termasuk pendidikan. Apalagi jika kita mau menyadari bahwa masyarakat kita, masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk yang tudak hanya beragam status ekonomi sosialnya tapi  juga beragam budayanya.      
Dalam rangka memenuhi salah satu tujuan nasional kemerdekaan Indoneisa yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, maka seluruh warga negara berhak mengenyam  pendidikan. Pendidikan merupakan salah satu syarat mutlak yang harus dipenuhi untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera. Hal itu dikarenakan pendidikan merupakan proses memanusiakan manusia. Di mana dengan pendidikan setiap orang akan belajar untuk hidup beradaptasi dengan masyarakat menuju kehidupan yang sejahtera.
Namun di balik idealisme akan cita-cita terselenggaranya pendidikan yang merata bagi seluruh masyarakat di seluruh pelosok tanah air  ini, wajah pendidikan Indonesia masih banyak tercoreng. Prestasi siswa yang rendah, kualitas pengajar yang rendah, menumpuknya pengangguran intelektual, gedung-gedung sekolah yang hampir atau sudah ambruk, dan biaya yang mahal menjadi isu-isu yang betah beredar di masyarakat karena memang belum tertangani.
Di balik ramainya wacana mengenai beragam  masalah pendidikan di Indonesia ada satu tema wacana yang sering terpinggirkan. Wacana tersebut adalah wacana mengenai difabel. Jangankan mengenai pendidikannya, mengenai keberadaannya pun mereka masih sering dipandang sebelah mata. Stereotype negative ataupun rasa kasihan lebih sering diberikan atas diri kaum difabel karena kelamahannya. Kekurangan atau kecacatan mereka lebih menjadi pusat perhatian dibandingkan kelebihan yang dimilikinya.
Melihat keadaan kaum difabel yang masih mendapat tempat marginal atau terpinggirkan di masyarakat maka pendidikan yang tepat sangat penting bagi kaum difabel. Pendidikan yang diberikan pada kaum difabel ini diharapkan akan membuat difabel tidak canggung dalam berinteraksi dengan masyarakat, mampu menjadi pribadi mandiri, dan ikut serta dalam membangun bangsa dan tentunya ikut menikmati hasil pembangunan.
Sejarah pendidikan difabel di berbagai belahan dunia mempunyai kisah yang berbeda sesuai dengan pandangan masyarakat tentang difabel. Di Indonesia sendiri pendidikan untuk kaum difabel sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda  hingga sekarang dan mengalami berbagai perkembangan. Tujuan dari pendidikan untuk kaum difabel atau yang biasa disebut dengan pendidikan luar biasa ini pada dasarnya sama dengan pendidikan biasa karena nantinya mereka juga akan hidup bersama dengan masyarakat pada umumnya.
Oleh karena itu, mereka yang lulus dari pendidikan luar biasa diharapkan dapat berbaur dan mengambil peran dalam masyarakat. Lulusan pendidikan luar biasa hendaknya memiliki konsep diri yang bagus pula. Konsep diri merupakan hal yang penting bagi siapapun tak terkecuali bagi kaum difabel. Seseorang dengan konsep diri yang matang akan lebih siap dan mantap dalam menghadapi dan berperan dalam masyarakatnya.
Namun, pada kenyataannya masih banyak difabel yang setelah lulus dari pendidikan luar biasa belum mampu secara percaya diri mengambil peran dalam masyarakat. Hal itu salah satunya disebabkan oleh eksklusivisme yang mereka alami selama menempuh pendidikan di sekolah luar biasa. Walaupun secara ketrampilan mereka mendapatkan banyak dari sekolah luar biasa tetapi untuk interaksi dengan non difabel pada umumnya mereka belum terbiasa sehingga secara psikologis mereka belum siap.
Jika sebagian besar lulusan sekolah luar biasa rendah dalam hal adaptasi dengan masyarakat maka pada dasarnya pendidikan luar biasa telah gagal dalam mendidik murid-muridnya. Kemampuan berinteraksi dengan masyarakat merupakan syarat pokok individu dalam menjalani kehidupannya baik bagi mereka yang difabel maupun non difabel.
Oleh karena itu makalah ini secara sederhana mencoba untuk mengungkapkan bagaimana keterkaitan antara ekslusivisme pendidikan di SLB dan kaitannya dengan kemampuan adaptasi social murid-muridnya setelah lulus. Namun, makalah ini sengaja menyoroti masa remaja atau pendidikan tingkat SMPLB.  Hal itu disebabkan  masa remaja merupakan masa yang penuh perubahan dan menentukan bagi remaja. Seperti pencarian jati diri dan perubahan fisik sangat menentukan perkembangan remaja khususnya difabel. 

B.     Permasalahan
Permasalahan yang coba diangkat dalam makalah ini adalah rendahnya kemampuan lulusan sekolah luar biasa untuk berinteraksi dengan masyarakat umum. Beberapa faktor yang mempengaruhi hal tersebut coba untuk dibahas dalam makalah ini.
Makalah ini sengaja menyoroti masa remaja difabel dan kaitannya dengan eksklusivisme yang mereka alami saat Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa. Pemisahan antara remaja difabel dan non difabel dalam SMPLB diyakini berpengaruh banyak pada proses pembentukan konsep diri, harga diri dan perbandingan social. Konsep diri, harga diri, dan perbandingan social yang tidak matang menjadi penyebab rendahnya kemampuan bersosialisasi kaum difabel setelah lulus dari pendidikan luar biasanya dan harus berhadapan dengan mayarakat sessungguhnya.
Mereka yang termasuk difabel memang banyak macamnya antara lain tuna rungu, tuna grahita, tuna netra, dan tuna wicara. Namun, makalah ini mencoba melihat perkembangan konsep diri, harga diri, dan perbandingan social secara umum pada remaja difabel yang bersekolah di SLB, dengan menitikberatkan terpisahnya mereka dari kemajemukan masyarakat.
Jadi secara umum makalah ini ingin menjawab pertanyaan “Bagaimana perkembangan konsep diri dan harga diri pada remaja difabel selama belajar di SMPLB?”

C.    Landasan Teori
Pelajar yang tidak biasa (Exceptional Learner)
Untuk keperluan pendidikan, pelajar yang tidak biasa adalah mereka yang membutuhkan pendidikan khusus dan layanan yang sesuai untuk merealisasikan potensi maksimal mereka sebagai manusia (Kauffman &Halahan, 2005, dalam Hallahan et al, 2012). Sedangkan menurut Santrock (2010) pelajar yang tidak biasa (exceptional) adalah anak-anak yang memiliki gangguan atau ketidakmampuan dan anak-anak yang tergolong berbakat.
Masih dalam Santrock (2010) disebutkan bahwa kurang lebih 11 % anak dari usia enam sampai tujuh belas tahun di Amerika Serikat mendapatkan pendidikan atau pelayanan khusus. Sebelumnya istilah ketidakmampuan (disability) dan cacat (handicapped) dipakai bersamaan. Namun, kini kedua istilah tersebut dibedakan. Disability berarti keterbatasan fungsi yang membatasi kemampuan seseorang . Handicap adalah kondisi yang diberikan pada seseorang yang menderita ketidakmampuan. Hal itu bisa disebabkan oleh masyarakat, lingkungan fisik, atau sikap orang itu sendiri (Lewis 2002, dalam Halahan et al 2012).
Sementara itu menurut Amin & Dwijosumarto (1979) anak-anak luar biasa sering disebut anak berkelainan. Masih merujuk pada buku yang sama anak luar biasa adalah anak yang jelas-jelas berbeda perkembangan fisik, mental, atau sosialnya dari perkembangan anak-anak pada umumnya sehingga memerlukan bantuan khusus dalam usahanya mengenai perkembangan yang sebaik-baiknya. Menurut Tejaningsih dan Udin (1988) anak digolongkan luar biasa apabila ia tidak termasuk pada kategori anak normal atau menyimpang sedemikian rupa dari anak normal.
 Sedangkan kini para pendidik lebih sering menggunakan istilah “children with disabilities” daripada “disabled children”. Tujuannya adalah memberi penekanan pada anaknya, bukan pada ketidakmampuannya (Santrock, 2010). Menurut Santrock (2010) ketidakmampuan dan gangguan digolongkan sebagai berikut: gangguan organ indra, gangguan fisik, retardasi mental, gangguan bicara dan bahasa, gangguan belajar, ADHD, dan gangguan emosional dan perilaku.

Pendidikan Luar Biasa
Menurut Tejaningsih & Udin (1988) sekolah khusus adalah sekolah yang menyelenggarakan pendidikan khusus ditujukan bagi anak-anak luar biasa. Kemudian menurut Amin & Dwijosumarto (1979) pendidikan luar biasa adalah pendidikan yang diberikan pada mereka yang termasuk orang luar biasa, yaitu anak luar biasa atau orang dewasa yang luar biasa.
Menurut Huefner dalam Hallahan et al (2012) pendidikan khusus berarti instruksi yang didesain khusus untuk memenuhi kebutuhan yang tidak biasa dari pelajar yang tidak biasa dan mungkin membutuhkan alat dan bahan khusus, teknik mengajar khusus, dan fasilitas. Masih dalam buku yang sama Hallahan et al (2012) menyebutkan bahwa pendidikan umum bahkan yang terbaik sekalipun tidak dapat menggantikan pendidikan khusus. Pendidikan khusus lebih menitikberatkan pada control tempat atau kecepatan, intensitas, tiadanya belas kasihan karenacacat seseorang, struktur, penguatan, adanya guru pendamping, kurikulum, monitoring dan assesmen. Di Indonesia sendiri menurut data Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) tahun 2011, terdapat 356.192 ABK dan hanya 85.645 ABK yang mendapat layanan pendidikan di sekolah luar biasa (SLB), sekolah dasar luar biasa (SDLB), dan sekolah terpadu (edukasi-kompas.com).
Last Restrictive Environment
Dalam Individual with Disabilities Education Act (IDEA) anak yang mempunyai ketidakmampuan harus dididik dalam lingkungan dengan restriksi minimal (Last Restrictive Environment) (Santrock, 2010).  Lingkungan ini adalah lingkungan dengan setting semirip mungkin dengan setting tempat mendidik anak yang tidak menderita ketidakmampuan. Ketentuan ini member dasar hukum untuk mendidik anak dengan ketidakmampuan di kelas regular (inklusi). Sebuah studi menemukan bahwa prestasi akademik dari anak yang mengalami gangguan belajar akan mendapatkan manfaat dari sekolah inklusi. Akan tetapi, beberapa ahli percaya bahwa program yang terpisah juga dapat lebih efektif dan tepat bagi anak penderita gangguan belajar (Martin & Terman 1996, dalam Santrock, 2010).
           
Definisi Belajar
Cronbach (1954, dalam Suryabrata 2002) menyatakan bahwa pembelajaran ditunjukkan dengan adanya perubahan perilaku sebagai hasil dari pengalaman. Menurut Cronbach pula belajar yang sebaik-baiknya adalah dengan mengalami , dan dalam mengalami itu si pelajar menggunakan panca inderanya. Sedangkan Suryabrata (2002) menyimpulkan pokok-pokok definisi belajar yaitu:
a.       Bahwa belajar membawa perubahan
b.      Perubahan itu pada pokoknya adalah mendapat kecakapan baru.
c.       Perubahan itu terjadi karena usaha.
Menurut Santrock (2010) pembelajaran dapat didefinisikan sebagai pengaruh permanen atas perilaku, pengetahuan, dan ketrampilan berpikir yang diperoleh melalui pengalaman.



Komponen dalam proses belajar
1.      Perhatian dan Pengamatan
Perhatian adalah pemusatan tenaga psikis tertuju pada suatu obyek (Bigot 1950, dalam Suryabrata 2002).  Makin banyak kesadaran yang menyertai suatu aktivitas maka semakin intensif lah perhatiannya. Dan semakin intensif perhatian yang menyertai suatu aktivitas makin sukseslah aktivitas itu (Suryabrata, 2002). Perhatian ada pula yang spontan dan sekehendak. Dua-duanya penting karena memberikan kesan pada ingatan. Pengetahuan mengenai hal-hal yang menarik perhatian sangat penting untuk memudahkan siswa dalam memenuhi tugas.
2.      Faktor Psikologi Dalam Belajar
Arden N. Frandsen mengatakan bahwa hal-hal yang mendorong seseorang untuk belajar itu amtara lain adalah sebagai berikut:
-          Adanya sifat ingin tahu dan ingin menyelidiki dunia yang lebih luas;
-          Adanya sifat kreatif yang ada pada manusia dan keinginan untuk selalu maju;
-          Adanya keinginan untuk mendapatkan simpati dari orang tua, guru, dan teman-teman.
Maslow mengemukakan motif-motif belajar antara lain (Frandsen 1961, dalam Suryabrata 2002):
-          Adanya kebutuhan akan rasa aman, bebas dari kekhawatiran.
-          Adanya kebutuhan akan kecintaan dan penerimaan dalam hubungan dengan orang lain.
-          Adanya kebutuhan untuk mendapat kehormatan dari masyarakat.




Perkembangan pada masa remaja :
1.      Perubahan  fisik dan kognisi
Secara fisik anak yang memasuki periode remaja atau masa sekolah menengah pertama akan mengalami apa yang disebut pubertas. Pubertas adalah serangkaian perubahan psikologis yang mengakibatkan organism yang tidak matang sanggup bereproduksi (Slavin, 2008). Setiap organ dan juga sistem dalam tubuh dipengaruhi oleh perubahan ini.
Inhelder dan Piaget (1958 dalam Slavin 2008) mengakui bahwa perubahan otak pada masa pubertas mungkin perlu untuk kemajuan kognitif pada masa remaja. Namun, mereka menegaskan bahwa pengalaman dengan masalah-masalah rumit tuntutan pengajaran formal, dan pertukaran serta kontradiksi gagasan dengan teman sebaya juga perlu agar penalaran operasional formal berkembang.

2.      Konsep Diri dan Harga Diri
Konsep diri meliputi cara kita memahami kekuatan, kelemahan, kemampuan, sikap, dan nilai kita. Perkembangannya dimulai pada saat lahir dan terus dibentuk oleh pengalaman (Slavin, 2008).  Sedangkan harga diri menunjuk pada pada bagaimana kita mengevaluasi ketrampilan dan kemampuan kita. Harga diri mencapai titik terendah ketika anak-anak memasuki kelas lima dan enam atau sekolah menengah pertama dan dengan awal pubertas (Simmons & Blyth, 1987 dalam Slavin 2008). Harga diri umum atau perasaan tentang nilai diri tampaknya dipengaruhi paling kuat oleh penampilan fisik kemudian oleh penerimaan social teman-teman sebaya (Slavin, 2008). Dalam proses pembentukkan harga diri dan konsep diri ada yang disebut dengan perbandingan social yaitu proses membandingkan diri seseorang dengan diri otang-orang lain untuk mengumpulkan informasi dan untuk mengevaluasi dan menilai kemampuan, sikap, dan perilaku diri seseorang. Rogers dalam Santrock (2010) menyebutkan bahwa sebab utama seseorang punya penghargaan diri yang renda adalah karena mereka tidak diberi dukungan emosional dan penerimaan social yang memadai.

3.      Hubungan Sosial
Pada umumnya jumlah waktu yang dihabiskan bersama teman meningkat dramatis; remaja menghabiskan lebih banyak waktu bersama teman-teman sebaya mereka daripada bersama anggota keluarga atau sendirian (Slavin, 2008). Ketika remaja dalam usia awal berjuang untuk membentuk identitas pribadi yang terlepas dari identitas orang tua mereka, mereka akan makin berpaling pada teman sebaya untuk mendapatkan rasa aman dan dukungan social. Remaja yang mempunyai persahabatan yang memuaskan dan harmonis juga melaporkan tingkat harga diri yang lebih tinggi, kurang merasa kesepian, mempunyai kemampuan social yang lebih matang, dan tampil lebih baik di sekolah daripada remaja yang tidak mempunyai persahabatan yang mendukung (Kerr, et al dalam Slavin 2008).

Teori Ekologi Brofenbrenner
            Teori ekologi Brofenbrenner terdiri dari lima sistem lingkungan yang merentang dari interaksi interpersonal sampai ke pengaruh kultur yang lebih luas. Bronfenbrener menyebutnya sebagai mikrosistem, mesosistem, ekosistem, makrosistem, dan kronosistem. Mesosistem adalah  kaitan antar mikrosistem contohnya hubungan antara pengalaman di rumah dan di sekolah. Eksosistem terjadi ketika pengalaman di setting lain mempengaruhi pengalaman murid dan guru dalam konteks mereka sendiri (Santrock, 2010).  Makrosistem adalah kultur yang lebih luas seperti status social ekonomi, adat istiadat, dan norma masyarakat.


Teori Perkembangan Rentang Hidup Erikson
Masa remaja dalam teori perkembangan rentang hidup Erikson ada pada tahap kelima. Remaja berusaha mencari tahu jati dirinya, apa makna dirinya, dan ke mana mereka akan menuju. Mereka berhadapan dengan banyak peran baru dan status dewasa. Remaja perlu diberi kesempatan untuk mengeksplorasi berbagai cara untuk memahami identitas dirinya. Apabila remaja tidak cukup mengeksplorasi peran yang berbeda dan tidak merencang jalan ke masa depan yang positif mereka bisa tetap bingung akan identitas diri mereka.

Teori Kognitif Sosial Bandura
            Albert Bandura menjelaskan mengenai pembelajaran observasional  yaitu imitasi atau modeling, yaitu pembelajaran yang dilakukan ketika sesorang mengamati dan meniru perilaku orang lain (Santrock, 2010). Bandura juga menjelaskan tenang self efficacy yaitu keyakinan bahwa seseorang bisa menguasai situasi dan memproduksi hasil positif. Modelling amat efektif dalam meningkatkan self efficacy apabila murid melihat teman yang mampu mengatasi suatu tantangan maka perilaku itu akan diadopsi.

D.    Pembahasan
Pengelompokkan SLB dan sempitnya dunia remaja
Sekolah luar biasa atau yang biasa disebut dengan pendidikan khusus mempunyai karakter di mana anak-anak yang telah diklasifikasikan sesuai dengan ketidakmampuannya dikelompokkan dalam SLB SLB tertentu. SLB-SLB di Indonesia  dikelompokkan ke dalam SLB A untuk tuna netra, SLB B unuk tuna rungu, SLB C untuk tunagrahita, SLB D untuk tunadaksa dan SLB E untuk anak tuna laras.
Dengan pengelompokkan yang demikian maka anak-anak dengan gangguan penglihatan akan berkumpul dengan anak-anak gangguan penglihatan, anak-anak dengan gangguan pendengaran akan berkumpul \dengan anak yang mengalami gangguan pendengaran, demikian seterusnya. Mereka hanya akan bergaul dengan orang-orang yang sejenis dengan mereka di sekolah, kecuali gurunya yang intensitasnya pun sangat sedikit.
Sekolah di mana remaja menghabiskan sebagian besar waktunya ibarat laboratorium kehidupan bagi remaja Di sekolah remaja akan banyak bergaul dan mengalami banyak pengalaman baru akan sangat disayangkan jika remaja tunarungu hanya mendapat pengalaman dengan remaja tunarungu sebab kenyataannya di luar sana orang-orang tanpa ketunaan lebih banyak jumlahnya dan mereka akan mengalami kesulitan untuk bergaul di dunia luar jika tidak dididik sejak sekolah.
Sesuai dengan teori ekologi Brofenbrenner remaja di sekolah ada pada lingkaran lingkungan mesosistem di mana pengalaman-pengalaman di keluarga dan sekolah akan bertemu. Remaja tunarungu dengan pengalaman di keluarganya dan pengalaman di SLB di mana semua remaja juga tuna rungu tentu akan menghasilkan pengalaman yang tidak terlalu mengagetkan karena penerimaan yang diberikan. Namun, ketika mereka masuk ke dalam makrosistem di mana berlaku adat istiadat, kultur dan norma di mana kebanyakan yang ada adalah aturan untuk orang normal maka menjadi sangat mungkin jika remaja SLB mengalami kegugupan saat harus berinteraksi dengan orang-orang di luar sekolahnya. Apalagi sampai saat ini para penyandang cacat masih dipandang sebelah mata oleh masyarakat umum.

SLB sebagai pembentuk konsep diri remaja
Sesuai dengan yang diungkapkan oleh Cronbach bahwa pembelajaran adalah sebuah proses perubahan perilaku sebagai hasil dari pengalaman. Menurut Cronbach juga belajar sebaik-baiknya adalah melalui pengamatan langsung. Seperti yang dibahas sebelumnya proses pendidikan pada SLB harusnya menjadikan anak mampu hidup mandiri. Hidup mandiri berarti juga harus mampu berinteraksi dengan sosialnya dengan baik sehingga tercapai kesejahteraannya. Melihat tujuan ini dan dikaitkan dengan apa yang diungkapkan oleh Cronbach maka nampaknya ada suatu hambatan yang merintangi tujuan pendidikan luar biasa. Pendidikan luar biasa yang lingkungannya bisa dibilang homogeny di mana remaja tuna netra bertemu remaja tuna netra saja dan seterusnya akan menjadi batas bagi remaja untuk mengeksplorasi diri.
Kesempatan untuk berinteraksi dengan dunia luar yang majemuk terkurangi karena sebagian waktunya habis untuk belajar di sekolah. Spulang sekolah pun mereka belum tentu mau dan mampu mengadakan interaksi yang efektif dengan masyarakat. sekolah harusnya mengkondisikan agar remaja  memperoleh kesempatan untuk belajar berinteraksi dengan orang-orang lain yang normal, dan SLB sangat sulit untuk newujudkan itu. Konsep diri dan harga diri anak menjadi rendah karena pemenjaraan yang dilakukan oleh SLB.
Hal itu bisa dijelaskan sebagai berikut. Dalam proses belajar terjadi yang disebut dengan pengamatan dan perhatian. Pengamatan yang dilakukan oleh remaja SLB di sekolahnya yang hanya itu-itu saja akan memicu sedikitnya pengalaman anak. Lingkungannya yang majemuk tidak akan melatih mereka untuk terbiasa menaruh perhatian terhada hal-hal yang berbeda. Mengetahui lingkungannya yang terbiasa dengan kekurangan akan membuat anak memandang rendah dirinya. Hal itu kemudian didukung dengan kurangnya interaksi mereka dengan orang normal. Sehingga mereka bisa dibilang sudah mengalami prasangka rebdah diri jika memandang dunia luar yang serba berbeda dengannya. Hal itu terjadi karena mereka tidak dibiasakan.
Akan lain halnya jika mereka bersekolah bersama dengan anak-anak normal lain. Ketika mereka terbiasa berinteraksi dengan anak-anak normal maka pengamatan dan perhatian mereka akan bertambah dan pengalaman mereka pun bertambah. Misalnya mereka melihat bahwa anak-anak normal mampu menyelesaikan soal-soal dengan baik dan juga mereka bisa mengerjakannya maka akan terjadi proses perbandingan social di mana mereka akan merasa tidak lebih rendah dengan yang anak normal. Seld efficacy pun akan meningkat sebab mereka jadi punya harapan bahwa hal-hal lain pun akan bisa mereka lakukan seperti yang anak normal lakukan dan bisa bersaing melebihi mereka. Tentunya dengan bantuan guru yang menyetting tempat sekondusif mungkin.
Kemudian menjadi penting untuk menerapkan Last Restrictive environment yaitu suatu lingkungan yang mendekati keumuman. Lingkungan yang hampir sama dengan kelas regular. Dengan itu maka remaja akan terbiasa.  Apalagi harga diri seorang anak mencapai titik terendahnya saat remaja. Oleh karena itu menjadi penting bagi sekolah untuk menanamkan secara langsung bahwa walaupun mereka punya kekurangan bukan berarti mereka tidak diterima oleh lingkungan. Hal itu hanya mungkin terjadi jika ada penanaman langsung melalui pertemuan-pertemuan dengan remaja lain yang normal dan saling menghargai.
Selain itu, menurut errikson remaja juga mengalami proses pencarian jati diri. Akan menjadi hal yang berbahaya jika mereka berpendapat bahwa lingkungannya hanyalah lingkungan dengan kondisi yang homogeny. Bila itu terjadi maka remaja akan salah menenmpatkan dirinya dalam masyarakat, yaitu menempatkan dirinya hanya menjadi salah satu dari bagian remaja yang mengalami ketidak mampuan. Padahal, di luar sana masyarakat lebih luas lagi macamnya.
Pada masa remaja itu pula terjadi eksplorasi atas diri dan lingkungan. Bila remaja terus tinggal dalam sekolah yang sempit dan homogeny itu maka eksplorasi diri dan lingkungan yang mereka lakukan tidak akan maksimal. Konsep diri yang berarti, pemahaman akan kelebihab dan kekuatan diri pun akan menjadi tidak kukuh karena kurangnya pengalaman dengan dunia luar. Harga diri juga menjadi rapuh karena mereka tidak langsung berhadapan langsung dengan dunia luar yang lebih luas akan perbedaan. Seperti yang dijelaskan oleh Santrock bahwa konsep diri dan harga diri sangat dipengaruhi oleh pengalaman. Oleh karena itu semakin penting lah lingkungan sekolah dalam memberikan pengalaman yang beragam pada anak didik untuk member kesempatan seluas-luasnya bagi anak demi maksimalnya potensi. Sekali lagi SLB belum bisa disebut merealisasikan itu. Sebab lingkungan kelas yang majemuk akan lebih menimbulkan minat dan rasa ingin tahu yang tinggi pada anak.
Teori Bandura yaitu observasional learning semakin menekankan pentingnya pengalaman langsung bagi remaja dalam mengembangkan konsep diri. Proses membandingkan diri dengan teman-teman yang di sekolah akan berlangsung lebih baik jika remaja mempunyai teman yang majemuk baik dengan gangguan ataupun dengan gangguan. Remaja akan mengetahui langsung bahwa yang paling penting bukanlah kekurangannya namun kemampuannya untuk tetap bersaing dengan teman-temannya yang tidak mengalami gangguan.
Jika dalam sekolah remaja telah mendapatkan tempat untuk mengeksplor diri dengan lingkungan yang majemuk maka ketika lulus dari sekolah dan berhadapan dengan masyarakat luas dia sudah siap dan kepribadian akan semakin matang. Jati diri yang ia dapatkan pun akan lebih baik dan mampu membuatnya menempatkan diri sebagai bagian dari masyarakat yang majemuk tanpa rasa rendah diri.

E.     Kesimpulan
Remaja dengan ketidakmampuan sebagai individu yang sedang dalam masa pencarian identitas perlu diberi lingkungan yang majemuk dan semirip mungkin dengan dunia nyata untuk mempersiapkan mereka menjadi mandiri dan mampu berinteraksi dengan masyarakat umum. SLB terbukti masih membatasi siswa karena siswa tidak mendapatkan Last Environment Restriction, yaitu suatu kondisi kelas yang regular yang lebih nyata. Siswa SLB yang hanya bergaul dengan teman-teman yang mempunyai ketidakmampuan sama akan terkurangi kesempatannya mengeksplor diri. Self efficacy pada siswa remaja yang nantinya akan berpengaruh pada harga diri akan lebih meningkat bila dia dihadapkan dengan siswa regular yang pada umumnya secara akademis memilki kemampuan lebih. SLB yang terkelompok-kelompok akan mengurangi kesempatan siswa untuk melakukan perbandiangan social terkait dengan letak remaja yang ada pada mesosistem dan makrosistem. Kurangnya pengalaman akan perbandingan social akan membuat mereka canggung dalam bergaul dengan dunia nyata yang majemuk.
Satu kesimpulan yang bisa diambil adalah SLB merupakan tempat yang kurang maksimal bagi remaja dalam mengembangkan konsep diri dan harga diri yang nantinya akan berpengaruh pada kehidupan mereka setelah lulus dari sekolah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar