A.
Latar
Belakang
Pendidikan
sebagai hak yang harus didapat oleh tiap-tiap warga negara merupakan hal yang
mutlak harus dipenuhi. Perbedaan-perbedaan atau kekurangan-kekuarangan yang ada
pada masyarakat tidak boleh menjadi alasan terhalangnya suatu golongan
terterntu untuk mendapatkan haknya termasuk pendidikan. Apalagi jika kita mau
menyadari bahwa masyarakat kita, masyarakat Indonesia merupakan masyarakat
majemuk yang tudak hanya beragam status ekonomi sosialnya tapi juga beragam budayanya.
Dalam
rangka memenuhi salah satu tujuan nasional kemerdekaan Indoneisa yaitu
mencerdaskan kehidupan bangsa, maka seluruh warga negara berhak mengenyam pendidikan. Pendidikan merupakan salah satu
syarat mutlak yang harus dipenuhi untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera.
Hal itu dikarenakan pendidikan merupakan proses memanusiakan manusia. Di mana
dengan pendidikan setiap orang akan belajar untuk hidup beradaptasi dengan
masyarakat menuju kehidupan yang sejahtera.
Namun
di balik idealisme akan cita-cita terselenggaranya pendidikan yang merata bagi
seluruh masyarakat di seluruh pelosok tanah air ini, wajah pendidikan Indonesia masih banyak
tercoreng. Prestasi siswa yang rendah, kualitas pengajar yang rendah,
menumpuknya pengangguran intelektual, gedung-gedung sekolah yang hampir atau
sudah ambruk, dan biaya yang mahal menjadi isu-isu yang betah beredar di
masyarakat karena memang belum tertangani.
Di
balik ramainya wacana mengenai beragam masalah
pendidikan di Indonesia ada satu tema wacana yang sering terpinggirkan. Wacana
tersebut adalah wacana mengenai difabel. Jangankan mengenai pendidikannya,
mengenai keberadaannya pun mereka masih sering dipandang sebelah mata.
Stereotype negative ataupun rasa kasihan lebih sering diberikan atas diri kaum
difabel karena kelamahannya. Kekurangan atau kecacatan mereka lebih menjadi
pusat perhatian dibandingkan kelebihan yang dimilikinya.
Melihat
keadaan kaum difabel yang masih mendapat tempat marginal atau terpinggirkan di
masyarakat maka pendidikan yang tepat sangat penting bagi kaum difabel.
Pendidikan yang diberikan pada kaum difabel ini diharapkan akan membuat difabel
tidak canggung dalam berinteraksi dengan masyarakat, mampu menjadi pribadi
mandiri, dan ikut serta dalam membangun bangsa dan tentunya ikut menikmati
hasil pembangunan.
Sejarah
pendidikan difabel di berbagai belahan dunia mempunyai kisah yang berbeda
sesuai dengan pandangan masyarakat tentang difabel. Di Indonesia sendiri
pendidikan untuk kaum difabel sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda hingga sekarang dan mengalami berbagai
perkembangan. Tujuan dari pendidikan untuk kaum difabel atau yang biasa disebut
dengan pendidikan luar biasa ini pada dasarnya sama dengan pendidikan biasa
karena nantinya mereka juga akan hidup bersama dengan masyarakat pada umumnya.
Oleh
karena itu, mereka yang lulus dari pendidikan luar biasa diharapkan dapat
berbaur dan mengambil peran dalam masyarakat. Lulusan pendidikan luar biasa
hendaknya memiliki konsep diri yang bagus pula. Konsep diri merupakan hal yang
penting bagi siapapun tak terkecuali bagi kaum difabel. Seseorang dengan konsep
diri yang matang akan lebih siap dan mantap dalam menghadapi dan berperan dalam
masyarakatnya.
Namun,
pada kenyataannya masih banyak difabel yang setelah lulus dari pendidikan luar
biasa belum mampu secara percaya diri mengambil peran dalam masyarakat. Hal itu
salah satunya disebabkan oleh eksklusivisme yang mereka alami selama menempuh
pendidikan di sekolah luar biasa. Walaupun secara ketrampilan mereka
mendapatkan banyak dari sekolah luar biasa tetapi untuk interaksi dengan non
difabel pada umumnya mereka belum terbiasa sehingga secara psikologis mereka
belum siap.
Jika
sebagian besar lulusan sekolah luar biasa rendah dalam hal adaptasi dengan
masyarakat maka pada dasarnya pendidikan luar biasa telah gagal dalam mendidik
murid-muridnya. Kemampuan berinteraksi dengan masyarakat merupakan syarat pokok
individu dalam menjalani kehidupannya baik bagi mereka yang difabel maupun non
difabel.
Oleh
karena itu makalah ini secara sederhana mencoba untuk mengungkapkan bagaimana
keterkaitan antara ekslusivisme pendidikan di SLB dan kaitannya dengan kemampuan
adaptasi social murid-muridnya setelah lulus. Namun, makalah ini sengaja
menyoroti masa remaja atau pendidikan tingkat SMPLB. Hal itu disebabkan masa remaja merupakan masa yang penuh
perubahan dan menentukan bagi remaja. Seperti pencarian jati diri dan perubahan
fisik sangat menentukan perkembangan remaja khususnya difabel.
B.
Permasalahan
Permasalahan
yang coba diangkat dalam makalah ini adalah rendahnya kemampuan lulusan sekolah
luar biasa untuk berinteraksi dengan masyarakat umum. Beberapa faktor yang
mempengaruhi hal tersebut coba untuk dibahas dalam makalah ini.
Makalah
ini sengaja menyoroti masa remaja difabel dan kaitannya dengan eksklusivisme
yang mereka alami saat Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa. Pemisahan antara
remaja difabel dan non difabel dalam SMPLB diyakini berpengaruh banyak pada
proses pembentukan konsep diri, harga diri dan perbandingan social. Konsep
diri, harga diri, dan perbandingan social yang tidak matang menjadi penyebab
rendahnya kemampuan bersosialisasi kaum difabel setelah lulus dari pendidikan
luar biasanya dan harus berhadapan dengan mayarakat sessungguhnya.
Mereka
yang termasuk difabel memang banyak macamnya antara lain tuna rungu, tuna
grahita, tuna netra, dan tuna wicara. Namun, makalah ini mencoba melihat
perkembangan konsep diri, harga diri, dan perbandingan social secara umum pada
remaja difabel yang bersekolah di SLB, dengan menitikberatkan terpisahnya
mereka dari kemajemukan masyarakat.
Jadi
secara umum makalah ini ingin menjawab pertanyaan “Bagaimana perkembangan konsep diri dan harga diri pada remaja difabel
selama belajar di SMPLB?”
C.
Landasan
Teori
Pelajar yang tidak biasa (Exceptional Learner)
Untuk keperluan pendidikan, pelajar yang tidak
biasa adalah mereka yang membutuhkan pendidikan khusus dan layanan yang sesuai
untuk merealisasikan potensi maksimal mereka sebagai manusia (Kauffman
&Halahan, 2005, dalam Hallahan et al, 2012). Sedangkan menurut Santrock
(2010) pelajar yang tidak biasa (exceptional) adalah anak-anak yang memiliki
gangguan atau ketidakmampuan dan anak-anak yang tergolong berbakat.
Masih dalam Santrock (2010) disebutkan bahwa kurang
lebih 11 % anak dari usia enam sampai tujuh belas tahun di Amerika Serikat
mendapatkan pendidikan atau pelayanan khusus. Sebelumnya istilah ketidakmampuan
(disability) dan cacat (handicapped) dipakai bersamaan. Namun,
kini kedua istilah tersebut dibedakan. Disability berarti keterbatasan fungsi
yang membatasi kemampuan seseorang . Handicap adalah kondisi yang diberikan
pada seseorang yang menderita ketidakmampuan. Hal itu bisa disebabkan oleh
masyarakat, lingkungan fisik, atau sikap orang itu sendiri (Lewis 2002, dalam
Halahan et al 2012).
Sementara itu menurut Amin & Dwijosumarto
(1979) anak-anak luar biasa sering disebut anak berkelainan. Masih merujuk pada
buku yang sama anak luar biasa adalah anak yang jelas-jelas berbeda
perkembangan fisik, mental, atau sosialnya dari perkembangan anak-anak pada
umumnya sehingga memerlukan bantuan khusus dalam usahanya mengenai perkembangan
yang sebaik-baiknya. Menurut Tejaningsih dan Udin (1988) anak digolongkan luar
biasa apabila ia tidak termasuk pada kategori anak normal atau menyimpang
sedemikian rupa dari anak normal.
Sedangkan
kini para pendidik lebih sering menggunakan istilah “children with disabilities” daripada “disabled children”. Tujuannya adalah memberi penekanan pada
anaknya, bukan pada ketidakmampuannya (Santrock, 2010). Menurut Santrock (2010)
ketidakmampuan dan gangguan digolongkan sebagai berikut: gangguan organ indra,
gangguan fisik, retardasi mental, gangguan bicara dan bahasa, gangguan belajar,
ADHD, dan gangguan emosional dan perilaku.
Pendidikan Luar Biasa
Menurut Tejaningsih & Udin (1988) sekolah
khusus adalah sekolah yang menyelenggarakan pendidikan khusus ditujukan bagi
anak-anak luar biasa. Kemudian menurut Amin & Dwijosumarto (1979)
pendidikan luar biasa adalah pendidikan yang diberikan pada mereka yang
termasuk orang luar biasa, yaitu anak luar biasa atau orang dewasa yang luar
biasa.
Menurut Huefner dalam Hallahan et al (2012)
pendidikan khusus berarti instruksi yang didesain khusus untuk memenuhi
kebutuhan yang tidak biasa dari pelajar yang tidak biasa dan mungkin
membutuhkan alat dan bahan khusus, teknik mengajar khusus, dan fasilitas. Masih
dalam buku yang sama Hallahan et al (2012) menyebutkan bahwa pendidikan umum
bahkan yang terbaik sekalipun tidak dapat menggantikan pendidikan khusus.
Pendidikan khusus lebih menitikberatkan pada control tempat atau kecepatan,
intensitas, tiadanya belas kasihan karenacacat seseorang, struktur, penguatan,
adanya guru pendamping, kurikulum, monitoring dan assesmen. Di Indonesia
sendiri menurut data Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) tahun 2011,
terdapat 356.192 ABK dan hanya 85.645 ABK yang mendapat layanan pendidikan di
sekolah luar biasa (SLB), sekolah dasar luar biasa (SDLB), dan sekolah terpadu
(edukasi-kompas.com).
Last Restrictive Environment
Dalam Individual with Disabilities Education Act
(IDEA) anak yang mempunyai ketidakmampuan harus dididik dalam lingkungan dengan
restriksi minimal (Last Restrictive Environment) (Santrock, 2010). Lingkungan ini adalah lingkungan dengan
setting semirip mungkin dengan setting tempat mendidik anak yang tidak
menderita ketidakmampuan. Ketentuan ini member dasar hukum untuk mendidik anak
dengan ketidakmampuan di kelas regular (inklusi). Sebuah studi menemukan bahwa prestasi
akademik dari anak yang mengalami gangguan belajar akan mendapatkan manfaat
dari sekolah inklusi. Akan tetapi, beberapa ahli percaya bahwa program yang
terpisah juga dapat lebih efektif dan tepat bagi anak penderita gangguan
belajar (Martin & Terman 1996, dalam Santrock, 2010).
Definisi Belajar
Cronbach (1954, dalam Suryabrata 2002) menyatakan
bahwa pembelajaran ditunjukkan dengan adanya perubahan perilaku sebagai hasil
dari pengalaman. Menurut Cronbach pula belajar yang sebaik-baiknya adalah
dengan mengalami , dan dalam mengalami itu si pelajar menggunakan panca
inderanya. Sedangkan Suryabrata (2002) menyimpulkan pokok-pokok definisi
belajar yaitu:
a. Bahwa
belajar membawa perubahan
b. Perubahan
itu pada pokoknya adalah mendapat kecakapan baru.
c. Perubahan
itu terjadi karena usaha.
Menurut
Santrock (2010) pembelajaran dapat didefinisikan sebagai pengaruh permanen atas
perilaku, pengetahuan, dan ketrampilan berpikir yang diperoleh melalui
pengalaman.
Komponen dalam proses belajar
1.
Perhatian
dan Pengamatan
Perhatian adalah pemusatan tenaga psikis tertuju pada suatu
obyek (Bigot 1950, dalam Suryabrata 2002).
Makin banyak kesadaran yang menyertai suatu aktivitas maka semakin
intensif lah perhatiannya. Dan semakin intensif perhatian yang menyertai suatu
aktivitas makin sukseslah aktivitas itu (Suryabrata, 2002). Perhatian ada pula
yang spontan dan sekehendak. Dua-duanya penting karena memberikan kesan pada
ingatan. Pengetahuan mengenai hal-hal yang menarik perhatian sangat penting
untuk memudahkan siswa dalam memenuhi tugas.
2.
Faktor
Psikologi Dalam Belajar
Arden N. Frandsen mengatakan bahwa hal-hal yang mendorong
seseorang untuk belajar itu amtara lain adalah sebagai berikut:
-
Adanya sifat ingin tahu dan ingin menyelidiki
dunia yang lebih luas;
-
Adanya sifat kreatif yang ada pada manusia dan
keinginan untuk selalu maju;
-
Adanya keinginan untuk mendapatkan simpati dari
orang tua, guru, dan teman-teman.
Maslow
mengemukakan motif-motif belajar antara lain (Frandsen 1961, dalam Suryabrata
2002):
-
Adanya kebutuhan akan rasa aman, bebas dari
kekhawatiran.
-
Adanya kebutuhan akan kecintaan dan penerimaan
dalam hubungan dengan orang lain.
-
Adanya kebutuhan untuk mendapat kehormatan dari
masyarakat.
Perkembangan pada masa remaja :
1.
Perubahan
fisik dan kognisi
Secara fisik anak yang memasuki
periode remaja atau masa sekolah menengah pertama akan mengalami apa yang
disebut pubertas. Pubertas adalah serangkaian perubahan psikologis yang
mengakibatkan organism yang tidak matang sanggup bereproduksi (Slavin, 2008).
Setiap organ dan juga sistem dalam tubuh dipengaruhi oleh perubahan ini.
Inhelder dan Piaget (1958 dalam
Slavin 2008) mengakui bahwa perubahan otak pada masa pubertas mungkin perlu
untuk kemajuan kognitif pada masa remaja. Namun, mereka menegaskan bahwa
pengalaman dengan masalah-masalah rumit tuntutan pengajaran formal, dan
pertukaran serta kontradiksi gagasan dengan teman sebaya juga perlu agar
penalaran operasional formal berkembang.
2.
Konsep
Diri dan Harga Diri
Konsep diri meliputi cara kita memahami kekuatan,
kelemahan, kemampuan, sikap, dan nilai kita. Perkembangannya dimulai pada saat
lahir dan terus dibentuk oleh pengalaman (Slavin, 2008). Sedangkan harga diri menunjuk pada pada
bagaimana kita mengevaluasi ketrampilan dan kemampuan kita. Harga diri mencapai
titik terendah ketika anak-anak memasuki kelas lima dan enam atau sekolah
menengah pertama dan dengan awal pubertas (Simmons & Blyth, 1987 dalam
Slavin 2008). Harga diri umum atau perasaan tentang nilai diri tampaknya
dipengaruhi paling kuat oleh penampilan fisik kemudian oleh penerimaan social
teman-teman sebaya (Slavin, 2008). Dalam proses pembentukkan harga diri dan
konsep diri ada yang disebut dengan perbandingan social yaitu proses
membandingkan diri seseorang dengan diri otang-orang lain untuk mengumpulkan
informasi dan untuk mengevaluasi dan menilai kemampuan, sikap, dan perilaku
diri seseorang. Rogers dalam Santrock (2010) menyebutkan bahwa sebab utama
seseorang punya penghargaan diri yang renda adalah karena mereka tidak diberi
dukungan emosional dan penerimaan social yang memadai.
3.
Hubungan
Sosial
Pada umumnya jumlah waktu yang dihabiskan bersama
teman meningkat dramatis; remaja menghabiskan lebih banyak waktu bersama
teman-teman sebaya mereka daripada bersama anggota keluarga atau sendirian
(Slavin, 2008). Ketika remaja dalam usia awal berjuang untuk membentuk
identitas pribadi yang terlepas dari identitas orang tua mereka, mereka akan
makin berpaling pada teman sebaya untuk mendapatkan rasa aman dan dukungan
social. Remaja yang mempunyai persahabatan yang memuaskan dan harmonis juga
melaporkan tingkat harga diri yang lebih tinggi, kurang merasa kesepian,
mempunyai kemampuan social yang lebih matang, dan tampil lebih baik di sekolah
daripada remaja yang tidak mempunyai persahabatan yang mendukung (Kerr, et al
dalam Slavin 2008).
Teori Ekologi Brofenbrenner
Teori ekologi
Brofenbrenner terdiri dari lima sistem lingkungan yang merentang dari interaksi
interpersonal sampai ke pengaruh kultur yang lebih luas. Bronfenbrener
menyebutnya sebagai mikrosistem, mesosistem, ekosistem, makrosistem, dan
kronosistem. Mesosistem adalah kaitan
antar mikrosistem contohnya hubungan antara pengalaman di rumah dan di sekolah.
Eksosistem terjadi ketika pengalaman di setting lain mempengaruhi pengalaman
murid dan guru dalam konteks mereka sendiri (Santrock, 2010). Makrosistem adalah kultur yang lebih luas
seperti status social ekonomi, adat istiadat, dan norma masyarakat.
Teori Perkembangan Rentang
Hidup Erikson
Masa remaja dalam teori perkembangan rentang hidup
Erikson ada pada tahap kelima. Remaja berusaha mencari tahu jati dirinya, apa
makna dirinya, dan ke mana mereka akan menuju. Mereka berhadapan dengan banyak
peran baru dan status dewasa. Remaja perlu diberi kesempatan untuk
mengeksplorasi berbagai cara untuk memahami identitas dirinya. Apabila remaja
tidak cukup mengeksplorasi peran yang berbeda dan tidak merencang jalan ke masa
depan yang positif mereka bisa tetap bingung akan identitas diri mereka.
Teori Kognitif Sosial Bandura
Albert Bandura menjelaskan mengenai pembelajaran
observasional yaitu imitasi atau
modeling, yaitu pembelajaran yang dilakukan ketika sesorang mengamati dan
meniru perilaku orang lain (Santrock, 2010). Bandura juga menjelaskan tenang
self efficacy yaitu keyakinan bahwa seseorang bisa menguasai situasi dan
memproduksi hasil positif. Modelling amat efektif dalam meningkatkan self
efficacy apabila murid melihat teman yang mampu mengatasi suatu tantangan maka
perilaku itu akan diadopsi.
D.
Pembahasan
Pengelompokkan SLB
dan sempitnya dunia remaja
Sekolah luar biasa atau yang biasa
disebut dengan pendidikan khusus mempunyai karakter di mana anak-anak yang
telah diklasifikasikan sesuai dengan ketidakmampuannya dikelompokkan dalam SLB
SLB tertentu. SLB-SLB di Indonesia dikelompokkan
ke dalam SLB A untuk tuna netra, SLB B unuk tuna rungu, SLB C untuk
tunagrahita, SLB D untuk tunadaksa dan SLB E untuk anak tuna laras.
Dengan pengelompokkan yang demikian maka
anak-anak dengan gangguan penglihatan akan berkumpul dengan anak-anak gangguan
penglihatan, anak-anak dengan gangguan pendengaran akan berkumpul \dengan anak
yang mengalami gangguan pendengaran, demikian seterusnya. Mereka hanya akan
bergaul dengan orang-orang yang sejenis dengan mereka di sekolah, kecuali
gurunya yang intensitasnya pun sangat sedikit.
Sekolah di mana remaja menghabiskan
sebagian besar waktunya ibarat laboratorium kehidupan bagi remaja Di sekolah
remaja akan banyak bergaul dan mengalami banyak pengalaman baru akan sangat
disayangkan jika remaja tunarungu hanya mendapat pengalaman dengan remaja
tunarungu sebab kenyataannya di luar sana orang-orang tanpa ketunaan lebih
banyak jumlahnya dan mereka akan mengalami kesulitan untuk bergaul di dunia
luar jika tidak dididik sejak sekolah.
Sesuai dengan teori ekologi
Brofenbrenner remaja di sekolah ada pada lingkaran lingkungan mesosistem di
mana pengalaman-pengalaman di keluarga dan sekolah akan bertemu. Remaja
tunarungu dengan pengalaman di keluarganya dan pengalaman di SLB di mana semua
remaja juga tuna rungu tentu akan menghasilkan pengalaman yang tidak terlalu
mengagetkan karena penerimaan yang diberikan. Namun, ketika mereka masuk ke
dalam makrosistem di mana berlaku adat istiadat, kultur dan norma di mana
kebanyakan yang ada adalah aturan untuk orang normal maka menjadi sangat
mungkin jika remaja SLB mengalami kegugupan saat harus berinteraksi dengan
orang-orang di luar sekolahnya. Apalagi sampai saat ini para penyandang cacat
masih dipandang sebelah mata oleh masyarakat umum.
SLB sebagai pembentuk konsep diri remaja
Sesuai
dengan yang diungkapkan oleh Cronbach bahwa pembelajaran adalah sebuah proses
perubahan perilaku sebagai hasil dari pengalaman. Menurut Cronbach juga belajar
sebaik-baiknya adalah melalui pengamatan langsung. Seperti yang dibahas
sebelumnya proses pendidikan pada SLB harusnya menjadikan anak mampu hidup
mandiri. Hidup mandiri berarti juga harus mampu berinteraksi dengan sosialnya
dengan baik sehingga tercapai kesejahteraannya. Melihat tujuan ini dan dikaitkan
dengan apa yang diungkapkan oleh Cronbach maka nampaknya ada suatu hambatan
yang merintangi tujuan pendidikan luar biasa. Pendidikan luar biasa yang
lingkungannya bisa dibilang homogeny di mana remaja tuna netra bertemu remaja
tuna netra saja dan seterusnya akan menjadi batas bagi remaja untuk
mengeksplorasi diri.
Kesempatan
untuk berinteraksi dengan dunia luar yang majemuk terkurangi karena sebagian
waktunya habis untuk belajar di sekolah. Spulang sekolah pun mereka belum tentu
mau dan mampu mengadakan interaksi yang efektif dengan masyarakat. sekolah
harusnya mengkondisikan agar remaja
memperoleh kesempatan untuk belajar berinteraksi dengan orang-orang lain
yang normal, dan SLB sangat sulit untuk newujudkan itu. Konsep diri dan harga
diri anak menjadi rendah karena pemenjaraan yang dilakukan oleh SLB.
Hal
itu bisa dijelaskan sebagai berikut. Dalam proses belajar terjadi yang disebut
dengan pengamatan dan perhatian. Pengamatan yang dilakukan oleh remaja SLB di
sekolahnya yang hanya itu-itu saja akan memicu sedikitnya pengalaman anak.
Lingkungannya yang majemuk tidak akan melatih mereka untuk terbiasa menaruh
perhatian terhada hal-hal yang berbeda. Mengetahui lingkungannya yang terbiasa
dengan kekurangan akan membuat anak memandang rendah dirinya. Hal itu kemudian
didukung dengan kurangnya interaksi mereka dengan orang normal. Sehingga mereka
bisa dibilang sudah mengalami prasangka rebdah diri jika memandang dunia luar
yang serba berbeda dengannya. Hal itu terjadi karena mereka tidak dibiasakan.
Akan
lain halnya jika mereka bersekolah bersama dengan anak-anak normal lain. Ketika
mereka terbiasa berinteraksi dengan anak-anak normal maka pengamatan dan
perhatian mereka akan bertambah dan pengalaman mereka pun bertambah. Misalnya
mereka melihat bahwa anak-anak normal mampu menyelesaikan soal-soal dengan baik
dan juga mereka bisa mengerjakannya maka akan terjadi proses perbandingan
social di mana mereka akan merasa tidak lebih rendah dengan yang anak normal. Seld
efficacy pun akan meningkat sebab mereka jadi punya harapan bahwa hal-hal lain
pun akan bisa mereka lakukan seperti yang anak normal lakukan dan bisa bersaing
melebihi mereka. Tentunya dengan bantuan guru yang menyetting tempat sekondusif
mungkin.
Kemudian
menjadi penting untuk menerapkan Last Restrictive environment yaitu suatu
lingkungan yang mendekati keumuman. Lingkungan yang hampir sama dengan kelas
regular. Dengan itu maka remaja akan terbiasa.
Apalagi harga diri seorang anak mencapai titik terendahnya saat remaja.
Oleh karena itu menjadi penting bagi sekolah untuk menanamkan secara langsung
bahwa walaupun mereka punya kekurangan bukan berarti mereka tidak diterima oleh
lingkungan. Hal itu hanya mungkin terjadi jika ada penanaman langsung melalui
pertemuan-pertemuan dengan remaja lain yang normal dan saling menghargai.
Selain
itu, menurut errikson remaja juga mengalami proses pencarian jati diri. Akan
menjadi hal yang berbahaya jika mereka berpendapat bahwa lingkungannya hanyalah
lingkungan dengan kondisi yang homogeny. Bila itu terjadi maka remaja akan
salah menenmpatkan dirinya dalam masyarakat, yaitu menempatkan dirinya hanya
menjadi salah satu dari bagian remaja yang mengalami ketidak mampuan. Padahal,
di luar sana masyarakat lebih luas lagi macamnya.
Pada
masa remaja itu pula terjadi eksplorasi atas diri dan lingkungan. Bila remaja
terus tinggal dalam sekolah yang sempit dan homogeny itu maka eksplorasi diri
dan lingkungan yang mereka lakukan tidak akan maksimal. Konsep diri yang
berarti, pemahaman akan kelebihab dan kekuatan diri pun akan menjadi tidak
kukuh karena kurangnya pengalaman dengan dunia luar. Harga diri juga menjadi
rapuh karena mereka tidak langsung berhadapan langsung dengan dunia luar yang
lebih luas akan perbedaan. Seperti yang dijelaskan oleh Santrock bahwa konsep
diri dan harga diri sangat dipengaruhi oleh pengalaman. Oleh karena itu semakin
penting lah lingkungan sekolah dalam memberikan pengalaman yang beragam pada
anak didik untuk member kesempatan seluas-luasnya bagi anak demi maksimalnya
potensi. Sekali lagi SLB belum bisa disebut merealisasikan itu. Sebab
lingkungan kelas yang majemuk akan lebih menimbulkan minat dan rasa ingin tahu
yang tinggi pada anak.
Teori
Bandura yaitu observasional learning semakin menekankan pentingnya pengalaman
langsung bagi remaja dalam mengembangkan konsep diri. Proses membandingkan diri
dengan teman-teman yang di sekolah akan berlangsung lebih baik jika remaja
mempunyai teman yang majemuk baik dengan gangguan ataupun dengan gangguan.
Remaja akan mengetahui langsung bahwa yang paling penting bukanlah
kekurangannya namun kemampuannya untuk tetap bersaing dengan teman-temannya yang
tidak mengalami gangguan.
Jika
dalam sekolah remaja telah mendapatkan tempat untuk mengeksplor diri dengan
lingkungan yang majemuk maka ketika lulus dari sekolah dan berhadapan dengan
masyarakat luas dia sudah siap dan kepribadian akan semakin matang. Jati diri
yang ia dapatkan pun akan lebih baik dan mampu membuatnya menempatkan diri
sebagai bagian dari masyarakat yang majemuk tanpa rasa rendah diri.
E.
Kesimpulan
Remaja
dengan ketidakmampuan sebagai individu yang sedang dalam masa pencarian
identitas perlu diberi lingkungan yang majemuk dan semirip mungkin dengan dunia
nyata untuk mempersiapkan mereka menjadi mandiri dan mampu berinteraksi dengan
masyarakat umum. SLB terbukti masih membatasi siswa karena siswa tidak
mendapatkan Last Environment Restriction, yaitu suatu kondisi kelas yang
regular yang lebih nyata. Siswa SLB yang hanya bergaul dengan teman-teman yang
mempunyai ketidakmampuan sama akan terkurangi kesempatannya mengeksplor diri.
Self efficacy pada siswa remaja yang nantinya akan berpengaruh pada harga diri
akan lebih meningkat bila dia dihadapkan dengan siswa regular yang pada umumnya
secara akademis memilki kemampuan lebih. SLB yang terkelompok-kelompok akan
mengurangi kesempatan siswa untuk melakukan perbandiangan social terkait dengan
letak remaja yang ada pada mesosistem dan makrosistem. Kurangnya pengalaman
akan perbandingan social akan membuat mereka canggung dalam bergaul dengan
dunia nyata yang majemuk.
Satu
kesimpulan yang bisa diambil adalah SLB merupakan tempat yang kurang maksimal
bagi remaja dalam mengembangkan konsep diri dan harga diri yang nantinya akan
berpengaruh pada kehidupan mereka setelah lulus dari sekolah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar