Minggu, 29 April 2012

Membedah Semangat Juang Difabel dengan Kacamata Psikologi Individu


Perjalanan Difabel Hingga Kini
Pandangan masyarakat terhadap kaum difabel mengalami beberapa perubahan dari jaman ke jaman. Dalam pewayangan difabel diilustrasikan sebagai punakawan yang senantiasa membantu raja dan memiliki kesaktiannya sendiri. Dalam dunia pewayangan itu dikisahkan bahwa raja yang agung dan terhormat adalah mereka yang mampu melindungi rakyat tanpa mengecualikan kaum difabel.
Orang-orang aneh: kerdil, cacat, dan difabel lain, diperuntukkan untuk memperteguh kesaktian sang raja (Anderson, 1990 dalam Tohari 2012). Seiring dengan ekspansi yang dilakukan oleh bangsa Eropa ke Asia yang membawa pengetahuan akan kesehatan maka difabel tidak lagi dipandang sebagai manusia linuwih yang ajaib namun dianggap sebagai pesakitan yang harus disembuhkan. Istilah difabel yang mengacu pada arti bahasa different ability  adalah istilah asli Indonesia yang mana belum dipakai di luar negeri atau secara inernasional. Dalam buku Dissabilities PBB masih menggunakan istilah people wih disabilities.  Istilah difabel ini dicetuskan oleh pendiri pergerakan difabel Yogyakarta pada tahun 1990 beberapa tahun setelah era orde baru tumbang.
Pergerakan difabel di Yogyakarta ditandai oleh berdirinya Lembaga Swadaya Masyarakat Dria Manunggal pada tahun 1990 oleh Setyo Adi Purwanta yang sekarang menjabat sebagai Executuve Director LSM tersebut (Syarif, 2012). Berawal dari situ maka bermunculanlah LSM lain hingga kini dua puluh tahun sudah difabel bergerak secara terorganisir dalam masyarakat. Namun, setelah dua puluh tahun ini  ternyata berbagai masalah dan diskriminasi masih mendera kaum difabel. Sebagai contoh di dunia kerja difabel masih dipandang sebelah mata, di bidang pendidikan masih ada difabel yang ditolak karena alasan cacat badan. Hal yang paling menyakitkan namun tak pernah disadari adalah pandangan negative yang sering ditujukan pada mereka sehingga ketidakadilan sejak dalam pikiran pun tercipta dan terus menyebar.



Mereka yang Tetap Bertahan dan Bersinar
Namun, di balik realita yang diskriminatif itu masih ada difabel-difabel yang mampu mencapai puncak prestasinya. Slamet Thohari dan Mukhanif Yasin Yusuf merupakan dua difabel yang secara langsung penulis kenal dan mampu menjadi cahaya bagi dirinya sendiri dan orang di sekitarnya. Slamet Thohari merupakan difabel yang kaki kirinya lumpuh karena polio. Tahun 2011 lalu dia resmi diwisuda dari University of Hawaii dan kini menjadi dosen. Mukhanif Yasin Yusuf adalah difabel deaf kini duduk di bangku  kuliah S1 Sastra Indonesia UGM semester kedua. Mukhanif kehilangan pendengarannya pada usia 11 tahun. Prestasinya antara lain adalah Finalis LKTI Penelitian Bidang Bahasa tingkat SMA Provinsi Jawa Tengah 2009, Juara Harapan III Lomba Artikel Ilmiah Populer tingkat SMA Provinsi Jateng 2010, dll (Fitriyani dan Nugraheny, 2012).
Dua difabel ini merupakan difabel yang berhasil mengatasi keciutan hatinya dan berbalik mengejutkan orang-orang sekitarnya dengan prestasi-prestasi luar biasa. Prestasi yang bahkan orang non difabel tak mampu mencapainya. Maka menjadi menarik untuk membedah bagaimana dinamika psikologis kaum difabel pada umumnya dan Mukhanif Yasin Yusuf serta Slamet Thohari secara khusus sebagai difabel yang berhasil. Psikologi Individu yang dirumuskan oleh Alfred Adler merupakan teori yang cukup komprehensif untuk membahas fenomena semangat juang difabel dalam tulisan yang singkat ini.

Meneropong Difabel bersama Alfred Adler
            Dalam metode fenomenologi maka noetis dari tulisan ini adalah perjuangan difabel untuk mencapai kesuksesan. Untuk mengetahui dan menyadari noematis yang ada maka teori Alfred Adler menjadi pilihan. Adler berpendapat bahwa manusia pertama-tama dimotivasikan oleh dorongan-dorongan social (Hall & Lindzey, 1993). Adler berpendapat bahwa manusia merupakan makhluk social yang menghubungkan diri dengan orang lain, bekerja sama dengan orang lain dan dan menempatkan kesejahteraan social di atas kepentingan pribadi. Pokok dari teori Adler adalah finalisme fiktif, perjuangan ke arah superioritas, perasaan inferioritas dan kompensasi, minat social, gaya hidup, dan diri kreatif. Sekarang kita akan memakai kacamata Adler untuk melihat dinamika perjuangan difabel.
            Vaihinger merupakan salah satu tokoh yang menginspirasi Adler, ia meyakini bahwa manusia hidup dengan banyak cita-cita. Cita-cita itu sebernarnya merupakan fiktif yang tak ada dalam dunia nyata, contoh gambaran fiktif ini antara lain adalah semua manusia diciptakan sama, kejujuran adalah politik yang paling baik, tujuan membenarkan sarana, memungkinkan manusia menghadapi kenyataan secara lebih efektif (Hall & Lindzey, 1993). Melalui Vaihinger, Adler semakin yakin bahwa manusia dimotivasikan oleh harapan-harapannya daripada masa lalunya sebagaimana Freud yakini dalam teorinya. Harapan-harapan itu pulalah yang mendorong Mukhanif Yasin Yusuf, Slamet Thohari dan difabel lain sehingga tak putus asa. Harapan-harapan itu dibahasakan oleh Adler dengan finalisme fiktif.
            Selain finalisme fiktif kepribadian manusia juga mengalami perjuangan ke arah superioritas sebagaimana dikatakan Adler. Superioritas adalah perjuangan ke arah kesempurnaan atau aktualisasi diri. Semua manusia, menurut Adler, memiliki dorongan superioritas itu. Begitu pula para difabel yang bisa sukses, mereka memiliki dorongan kuat untuk berhasil. Untuk beraktualisasi lewat caranya sendiri-sendiri. Mukhanif dengan tulisan-tulisannya, dan Slamet dengan kemampuan komunikasinya yang bagus sehingga mampu memimpin sebuah organisasi tingkat universitas pada kala itu.
Inferioritas yang dialami oleh Mukhanif dan Slamet karena kekurangannya justru mendorong mereka untuk terus berkarya demi menutupi dan atau meniadakan gangguan-gangguan yang diakibatkan oleh kekurangan fisik mereka. Adler yakin bahwa manusia dengan kekurangan-kekurangannya bukanlah sesuatu yang patologis atau abnormal. Namun, merupakan sebuah keadaan yang akan mendorong manusia untuk mengembangkan kelebihannya. Adler mencontohkan Demosthenes yang gagap pada kecilnya akhirnya menjadi orator ulung, Theodore yang lemah menjadi pemimpin yang hebat. Begitu pula Inferioritas yang dialami oleh Mukhanif dan Slamet  memunculkan kompensasi atau pengganti atas inferioritas itu. Perasaan inferioritas dan kompensasi ini merupakan dinamika yang dialami manusia untuk mencapai superioritas.
             Selanjutnya manusia juga memiliki minat kemasyarakatan, yaitu suatu sifat bawaan manusia untuk berhubungan dengan sosialnya. Hal ini pula yang menjadi salah satu faktor Mukhanif dan Slamet untuk tetap terjun dalam masyarakat baik yang difabel maupun yang inklusif. Perjuangan Mukhanif dan Slamet untuk mengatasi inferioritasnya telah berhasil sehingga secara individu mereka telah siap untuk berbaur bersama masyarakat dan berperan di dalamnya. Adler mengatakan bahwa “minat social merupakan kompensasi sejati dan yang tak dapat dielakkan bagi semua kelemahan alamiah manusia individual”  (Adler 1929 dalam Hall & Lindzey, 1993). Slamet dan Mukhanif juga membuktikan itu dengan terjun dan aktif dalam organisasi-organisasi semasa sekolah maupun kuliah.
            Diri kreatif  yang dikemukakan oleh Adler menyatakan bahwa sikap manusia terhadap kehidupan lah yang menentukan hubungan antara hereditas yang dia  miliki serta pengalaman dengan lingkungan dunia. Diri kreatif adalah kemampuan manusia untuk mengolah fakta-fakta yang ada sehingga menjadikannya pribadi yang unik. Dan Mukhanif, Slamet, serta banyak difabel lain adalah individu yang mampu menciptakan diri kreatifnya sehingga mampu menjadi pribadi yang tangguh dan percaya diri dalam mencapai cita-cita.

Kesimpulan
            Dalam kehidupan para difabel yang memang secara nyata, ilmiah, dan empiris berbeda dengan orang “normal” sikap positif thinking sangat diperlukan. Sikap ini termanifestasi dalam agresifitas, keinginan berkuasa, dan superior. Sikap ini dalam diri difabel berwujud kepercayaan diri untuk mengelola fakta-fakta, pengalaman-pengalaman sehingga terwujud pribadi yang utuh. Sikap ini merupakan sesuatu yang herediter sehingga yang diperlukan adalah menumbuhkan keyakinan dan kepercayaan diri akan harapan-harapan yang dimiliki. Finalisme fiktif seperti “semua orang tercipta sama” merupakan sesuatu yang wajib ditanamkan bagi diri difabel. Namun, sama di sini maksudnya adalah sama-sama memiliki hak yang sama, hak hidup, hak pendidikan, hak bekerja dan lain-lain. Dengan itu maka difabel akan lebih berani menempatkan dirinya dalam masyarakat.

2 komentar:

  1. Thanks atas tulisan yg inspiratif ini. Salam kenal. Kunjungi balik ya.... :)

    BalasHapus
  2. cool men. apalagi bila ditambah rujukan daftar pustakanya jg :)

    BalasHapus