Perjalanan
Difabel Hingga Kini
Pandangan masyarakat
terhadap kaum difabel mengalami beberapa perubahan dari jaman ke jaman. Dalam pewayangan
difabel diilustrasikan sebagai punakawan yang senantiasa membantu raja dan
memiliki kesaktiannya sendiri. Dalam dunia pewayangan itu dikisahkan bahwa raja
yang agung dan terhormat adalah mereka yang mampu melindungi rakyat tanpa
mengecualikan kaum difabel.
Orang-orang aneh:
kerdil, cacat, dan difabel lain, diperuntukkan untuk memperteguh kesaktian sang
raja (Anderson, 1990 dalam Tohari 2012). Seiring dengan ekspansi yang dilakukan
oleh bangsa Eropa ke Asia yang membawa pengetahuan akan kesehatan maka difabel
tidak lagi dipandang sebagai manusia linuwih
yang ajaib namun dianggap sebagai pesakitan yang harus disembuhkan. Istilah
difabel yang mengacu pada arti bahasa different
ability adalah istilah asli
Indonesia yang mana belum dipakai di luar negeri atau secara inernasional.
Dalam buku Dissabilities PBB masih
menggunakan istilah people wih
disabilities. Istilah difabel ini
dicetuskan oleh pendiri pergerakan difabel Yogyakarta pada tahun 1990 beberapa
tahun setelah era orde baru tumbang.
Pergerakan difabel di
Yogyakarta ditandai oleh berdirinya Lembaga Swadaya Masyarakat Dria Manunggal
pada tahun 1990 oleh Setyo Adi Purwanta yang sekarang menjabat sebagai
Executuve Director LSM tersebut (Syarif, 2012). Berawal dari situ maka
bermunculanlah LSM lain hingga kini dua puluh tahun sudah difabel bergerak
secara terorganisir dalam masyarakat. Namun, setelah dua puluh tahun ini ternyata berbagai masalah dan diskriminasi
masih mendera kaum difabel. Sebagai contoh di dunia kerja difabel masih
dipandang sebelah mata, di bidang pendidikan masih ada difabel yang ditolak
karena alasan cacat badan. Hal yang paling menyakitkan namun tak pernah
disadari adalah pandangan negative yang sering ditujukan pada mereka sehingga
ketidakadilan sejak dalam pikiran pun tercipta dan terus menyebar.
Mereka
yang Tetap Bertahan dan Bersinar
Namun, di balik realita
yang diskriminatif itu masih ada difabel-difabel yang mampu mencapai puncak
prestasinya. Slamet Thohari dan Mukhanif Yasin Yusuf merupakan dua difabel yang
secara langsung penulis kenal dan mampu menjadi cahaya bagi dirinya sendiri dan
orang di sekitarnya. Slamet Thohari merupakan difabel yang kaki kirinya lumpuh
karena polio. Tahun 2011 lalu dia resmi diwisuda dari University of Hawaii dan
kini menjadi dosen. Mukhanif Yasin Yusuf adalah difabel deaf kini duduk di bangku kuliah
S1 Sastra Indonesia UGM semester kedua. Mukhanif kehilangan pendengarannya pada
usia 11 tahun. Prestasinya antara lain adalah Finalis LKTI Penelitian Bidang
Bahasa tingkat SMA Provinsi Jawa Tengah 2009, Juara Harapan III Lomba Artikel
Ilmiah Populer tingkat SMA Provinsi Jateng 2010, dll (Fitriyani dan Nugraheny,
2012).
Dua difabel ini
merupakan difabel yang berhasil mengatasi keciutan hatinya dan berbalik
mengejutkan orang-orang sekitarnya dengan prestasi-prestasi luar biasa.
Prestasi yang bahkan orang non difabel tak mampu mencapainya. Maka menjadi
menarik untuk membedah bagaimana dinamika psikologis kaum difabel pada umumnya
dan Mukhanif Yasin Yusuf serta Slamet Thohari secara khusus sebagai difabel
yang berhasil. Psikologi Individu yang dirumuskan oleh Alfred Adler merupakan
teori yang cukup komprehensif untuk membahas fenomena semangat juang difabel
dalam tulisan yang singkat ini.
Meneropong
Difabel bersama Alfred Adler
Dalam
metode fenomenologi maka noetis dari tulisan ini adalah perjuangan difabel
untuk mencapai kesuksesan. Untuk mengetahui dan menyadari noematis yang ada
maka teori Alfred Adler menjadi pilihan. Adler berpendapat bahwa manusia
pertama-tama dimotivasikan oleh dorongan-dorongan social (Hall & Lindzey,
1993). Adler berpendapat bahwa manusia merupakan makhluk social yang menghubungkan
diri dengan orang lain, bekerja sama dengan orang lain dan dan menempatkan
kesejahteraan social di atas kepentingan pribadi. Pokok dari teori Adler adalah
finalisme fiktif, perjuangan ke arah superioritas, perasaan inferioritas dan
kompensasi, minat social, gaya hidup, dan diri kreatif. Sekarang kita akan
memakai kacamata Adler untuk melihat dinamika perjuangan difabel.
Vaihinger
merupakan salah satu tokoh yang menginspirasi Adler, ia meyakini bahwa manusia
hidup dengan banyak cita-cita. Cita-cita itu sebernarnya merupakan fiktif yang
tak ada dalam dunia nyata, contoh gambaran fiktif ini antara lain adalah semua
manusia diciptakan sama, kejujuran adalah politik yang paling baik, tujuan
membenarkan sarana, memungkinkan manusia menghadapi kenyataan secara lebih
efektif (Hall & Lindzey, 1993). Melalui Vaihinger, Adler semakin yakin
bahwa manusia dimotivasikan oleh harapan-harapannya daripada masa lalunya
sebagaimana Freud yakini dalam teorinya. Harapan-harapan itu pulalah yang
mendorong Mukhanif Yasin Yusuf, Slamet Thohari dan difabel lain sehingga tak
putus asa. Harapan-harapan itu dibahasakan oleh Adler dengan finalisme
fiktif.
Selain
finalisme fiktif kepribadian manusia juga mengalami perjuangan ke arah superioritas
sebagaimana dikatakan Adler. Superioritas adalah perjuangan ke arah
kesempurnaan atau aktualisasi diri. Semua manusia, menurut Adler, memiliki
dorongan superioritas itu. Begitu pula para difabel yang bisa sukses, mereka
memiliki dorongan kuat untuk berhasil. Untuk beraktualisasi lewat caranya
sendiri-sendiri. Mukhanif dengan tulisan-tulisannya, dan Slamet dengan
kemampuan komunikasinya yang bagus sehingga mampu memimpin sebuah organisasi
tingkat universitas pada kala itu.
Inferioritas yang
dialami oleh Mukhanif dan Slamet karena kekurangannya justru mendorong mereka
untuk terus berkarya demi menutupi dan atau meniadakan gangguan-gangguan yang
diakibatkan oleh kekurangan fisik mereka. Adler yakin bahwa manusia dengan
kekurangan-kekurangannya bukanlah sesuatu yang patologis atau abnormal. Namun,
merupakan sebuah keadaan yang akan mendorong manusia untuk mengembangkan
kelebihannya. Adler mencontohkan Demosthenes yang gagap pada kecilnya akhirnya
menjadi orator ulung, Theodore yang lemah menjadi pemimpin yang hebat. Begitu
pula Inferioritas yang dialami oleh Mukhanif dan Slamet memunculkan kompensasi atau pengganti atas
inferioritas itu. Perasaan inferioritas dan kompensasi ini merupakan dinamika
yang dialami manusia untuk mencapai superioritas.
Selanjutnya manusia juga memiliki minat
kemasyarakatan, yaitu suatu sifat bawaan manusia untuk berhubungan
dengan sosialnya. Hal ini pula yang menjadi salah satu faktor Mukhanif dan
Slamet untuk tetap terjun dalam masyarakat baik yang difabel maupun yang
inklusif. Perjuangan Mukhanif dan Slamet untuk mengatasi inferioritasnya telah
berhasil sehingga secara individu mereka telah siap untuk berbaur bersama
masyarakat dan berperan di dalamnya. Adler mengatakan bahwa “minat social
merupakan kompensasi sejati dan yang tak dapat dielakkan bagi semua kelemahan
alamiah manusia individual” (Adler 1929
dalam Hall & Lindzey, 1993). Slamet dan Mukhanif juga membuktikan itu
dengan terjun dan aktif dalam organisasi-organisasi semasa sekolah maupun
kuliah.
Diri
kreatif yang dikemukakan oleh
Adler menyatakan bahwa sikap manusia terhadap kehidupan lah yang menentukan
hubungan antara hereditas yang dia
miliki serta pengalaman dengan lingkungan dunia. Diri kreatif adalah
kemampuan manusia untuk mengolah fakta-fakta yang ada sehingga menjadikannya
pribadi yang unik. Dan Mukhanif, Slamet, serta banyak difabel lain adalah
individu yang mampu menciptakan diri kreatifnya sehingga mampu menjadi pribadi
yang tangguh dan percaya diri dalam mencapai cita-cita.
Kesimpulan
Dalam kehidupan para difabel
yang memang secara nyata, ilmiah, dan empiris berbeda dengan orang “normal”
sikap positif thinking sangat diperlukan. Sikap ini termanifestasi dalam
agresifitas, keinginan berkuasa, dan superior. Sikap ini dalam diri difabel berwujud
kepercayaan diri untuk mengelola fakta-fakta, pengalaman-pengalaman sehingga
terwujud pribadi yang utuh. Sikap ini merupakan sesuatu yang herediter sehingga
yang diperlukan adalah menumbuhkan keyakinan dan kepercayaan diri akan
harapan-harapan yang dimiliki. Finalisme fiktif seperti “semua orang tercipta
sama” merupakan sesuatu yang wajib ditanamkan bagi diri difabel. Namun, sama di
sini maksudnya adalah sama-sama memiliki hak yang sama, hak hidup, hak
pendidikan, hak bekerja dan lain-lain. Dengan itu maka difabel akan lebih
berani menempatkan dirinya dalam masyarakat.
Thanks atas tulisan yg inspiratif ini. Salam kenal. Kunjungi balik ya.... :)
BalasHapuscool men. apalagi bila ditambah rujukan daftar pustakanya jg :)
BalasHapus