PENDAHULUAN
Manusia
dalam hidupnya tak bisa dilepaskan barang sejenak dari ilmu pengetahuan. Sadar
atau tidak sadar segala yang kita lakukan, segala yang ada dalam tubuh kita,
segala yang berjalan, berlari dan berjungkir balik di sekitar kita termaktub
dalam ilmu pengetahuan baik yang terkitabkan maupun yang tidak. Segala yang
kita lakukan adalah perilaku dan di situ psikologi. Segala yang ada di tubuh
kita adalah biologi. Masih banyak dan berlimpah ruah pengetahuan yang
berserak-serak.
Melalui hikmah yang
turun pada seorang manusia maka kertas ditemukan dan segala rupa ide dan makna
dituliskan. Maka abadilah apa yang ditulis hingga bertahun-tahun kemudian.
Bahkan sebelum kertas ditemukan manusia telah belajar menyimpan sesuatu pada
sesuatu yang lain. Pada batu dan pada gua. Lalu menjadi artefak dan menjadi
prasasti yang kemudian bisa kita lihat cetaknya pada buku-buku sejarah.
Alasan mengapa moyang
kita dan para pendahulu kita menuliskan sesuatu anatara lain pasti adalah untuk
mengabarkan apa yang terjadi, apa yang mereka alami, dan apa yang mereka ingini
pada jamannya. Dengan membaca apa yang telah mereka tulis kita mengetahui tutur
cerita dari jaman yang bahkan tak terbayangkan oleh khayalan kita yang paling
tinggi sekalipun. Dengan tulisan maka sesuatu pada sekali waktu bisa terbaca
pada waktu yang lain.
Dengan tulisan maka kita bisa membaca. Dengan
membaca kita mendapat hikmah dan menyarikannya dalam pikiran kita sendiri.
sering proses membaca berlanjut kembali menjadi proses menulis. Menulis dan
membaca menjadi suatu siklus yang linier yang dengan olahan manusia pengetahuan
menjadi terangkum di dalamnya. Kegiatan menulis dan membaca dan terus menerus
dibarengi sikap kritis dan peka akan lingkungan sekitar membuat ilmu
pengetahuan terus berkembang dari era ke era, jaman ke jaman, dan peradaban ke
peradaban.
Namun, dewasa ini di
jaman serba kompetitif ini budaya membaca ternyata malah jadi sesuatu yang
kurang digemari di kalangan masyarakat, bahkan di kalangan yang sering disebut
kaum intelektual itu sendiri (mahasiswa). Padahal tanpa membaca maka suatu
siklus perkembangan ilmu pengetahuan menjadi invalid dan timpang mengiringi era globalisasi ini. Rendahnya
budaya mambaca juga berefek secara domino pada budaya menulis. Bagaimana bisa
menulis jika membaca atau mancoba membaca saja tidak pernah.
Bukan tak mungkin
sebuah bangsa menjadi statis atau mengalami degradasi karena rendahya budaya
membaca pada masyarakatnya. Matinya siklus membaca dan menulis adalah matinya
pembaharuan ilmu pengetahuan yang harus terus disesuaikan dengan konteks
masyarakat yang terus berubah. Maka dalam hal ini sangatlah penting untuk terus
meningkatkan budaya membaca dan menulis pada masyarakat kita.
Dalam hal ini mahasiswa
yang masih diyakini sebagai agen perubahan dan generasi penerus bangsa penting
untuk memiliki kegiatan mambaca. Apalagi, bagaimanapun juga mahasiswa secara
nyata menempati institusi formal yaitu perguruan tinggi di mana seharusnya berupa-rupa
ilmu pengetahuan dimasak sejadi-jadinya untuk disesuaikan dengan kekinian.
Namun, jika membaca saja malas bagaimana bisa mahasiswa mengkaji ilmu
pengetahuan di sekitarnya. Apalagi menyangkutkanya dengan kehidupan masyarakat,
itu menjadi hal yang sulit.
a.
Mengabadikan
Zaman demi Zaman
Jika kita
mencoba menengok buku-buku sejarah sejenak maka kita akan menemukan bahwa
sejarah telah ditulis dari jaman paling
dahulu sekalipun. Kita tahu bahwa pada Gua Leang-Leang ada gambar telapak
tangan dan binatang buruan, dari situ kita tahu bahwa pada masa prasejarah
masyarakat Indonesia juga mengenal berburu. Codex Hamurrabi yang terkenal akan
undang-undangnya juga mengabadikannya dalam tulisan masih dengan tanah lempung.
Belajar dari
sejarah, jaman dulu juga dikenal huruf paku dan huruf hyerogliph. Hal itu
membuktikan kepada kita bahwa kesadaran akan menuangkan sesuatu dalam
pencatatan sudah ada sejak awal-awal peradaban manusia ada. Bahkan peradaban
yang dianggap maju seperti Babylon juga terkenal akan koleksi perpustakaannya.
Bangsa Eropa pada kala itu memasuki masa pencerahan juga akibat berkembangnya
ilmu pengetahuan secara pesat. Buku adalah hal yang penting karena di situlah
tersimpan pengetahuan dan sejarah akan bangsa-bangsanya terdahulu.
Mengambil
contoh dari bangsa sendiri maka pahlawan emansipasi wanita kita, Kartini, juga
memulai perjuangannya dengan kegiatan baca tulis. Surat yang dia kirimkan
kepada sahabatnya di Belanda dibaca oleh colonial dan mendapat perhatian
khusus. Dipergunakannya surat kabar
sebagai alat perjuangan meraih kemerdekaan juga merupakan suatu bukti bahwa
membaca dan menulis menjadi sebuah kegiatan yang bermanfaat sekaligus bermakna.
David C
McLelland mengembangkan teori Max Weber, The Protestan Ethic, yang menguraikan
bahwa bangsa Eropa Barat yang kini pun berkembang di Amerika adalah bangsa yang
paling sukses dalam meraih kesejahteraan di dalam sistem kapitalisme selama
ini, dan teori Abraham Maslow, Theory of Hierarchy Needs ( yang terdiri dari
the need for self-actualization, the esteem needs, the love needs, the safety
need). Ia menelaah lebih jauh lagi, bahwa ternyata tiap masyarakat yang sukses
meraih kesejahteraan adalah yang memiliki kandungan need of achievement (n-ach)
atau dorongan untuk berprestasi yang tinggi (Wijayanti, 2008). Kebutuhan akan
berprestasi yang cukup tinggi ini sebanding dengan kebutuhan masyarakat akan
mambaca buku.
b.
Budaya
Membaca dan Menulis Masa Kini: Data dan Fakta
Menjadi
hal yang perlu dirisaukan ketika suatu masyarakat sudah kehilangan budaya baca
tulisnya. Indonesia terindikasi sebagai salah satu bangsa yang mengalami hal
itu. Apabila dilakukan pengamatan sederhana terhadap kebiasaan hidup masyarakat
baik anak-anak maupun orang dewasa, tampaknya kegiatan membaca belum menjadi
suatu kebiasaan (Siahaan dan Martiningsih, 2008). Namun di sisi lain selama 10 tahun terakhir
jumlah terbitan baik kotan maupun majalah mengalami peningkatan. Seharusnya itu
menjadi cerminan bahwa terjadi perkembangan pada minat baca dalam artian minat
baca meningkat (Siahaan dan Martiningsih, 2008).
Namun,
data yang ada menunjukkan bahwa minat baca masyarakat masih rendah. Telah
menjadi rahasia umum bahwa budaya baca masyarakat Indonesia termasuk yang
paling rendah di Asia. Jangankan masyarakat, guru dan dosen sekalipun, meski
secara individual adalah pendidik yang dekat dengan dunia baca-membaca, pada
kenyataannya juga rendah minat dalam membaca (Baedhowi, 2010). Memang terjadi
peningkatan baca tetapi hanya terbatas pada Koran dan majalah saja, tidak untuk
buku-buku yang memuat ilmu pengetahuan (Siahaan dan Martiningsih, 2008).
Rendahnya
budaya baca ini juga dibarengi dengan tingginya intensitas gempuran budaya
global yang datang dari luar. Internet dan televisi menjadi media yang lebih
akrab untuk dinikmati tiap harinya daripada membaca. Padahal apa yang disajikan di televisi
kebanyakan hanya berupa hiburan yang minim ilmu pengetahuan. Jika membuka situs
di internet pun yang dibuka adalah situs jejaring sosial. Bahkan pada tahun
belakangan Indonesia menjadi pengguna sebuah situs jejaring social dengan
intensitas paling tinggi di antara beberapa negara di dunia.
Fakta
menunjukkan bahwa secara budaya dan tradisi, masyarakat kita adalah masyarakat
bertutur yang fasih. Ketika budaya bertutur masih melekat, akibat kemajuan
teknologi, saat ini kita dihadapkan dengan budaya melihat atau menonton acara
televisi yang sedemikian kuat dan dahsyat pengaruhnya terhadap perubahan
perilaku masyarakat (Baedhowi, 2010). Sayangnya budaya menonton yang
intensitasnya tinggi ini tidak dibarengi atau didahului dengan budaya membaca
sehingga berdampak kurangya daya filter masyarakat akan kandungan-kandungan
tayangan televisi.
Minat
dan kebiasaan membaca masyarakat Indonesia yang masih rendah dapat dilihat
melalui beberapa indicator. Salah satu indikatornya adalah dari kegiatan yang
cenderung dilakukan masyarakat pada waktyu luang, seperti mengunggu giliran
berobat di ruang praktek ataupun rumah sakit (Siahaan dan Martiningsih, 2008).
Dalam kesempatan seperti ini orang lebih memilih mengobrol atau pun berdiam
diri sama sekali walaupun telah disediakan bahan bacaan.
Tidak jarang didapati di sekolah-sekolah bahwa
kebiasaan guru dalam membaca kurang dari 1 jam per hari. Kebiasaan membaca yang
kurang baik itu bisa dilihat dari jumlah buku baru yang terbit di negeri ini,
yaitu hanya sekitar 8.000 judul/tahun. Bandingkan dengan Malaysia yang
menerbitkan 15.000 judul/tahun, Vietnam 45.000 judul/tahun, sedangkan Inggris
menerbitkan 100.000 judul/tahun. Jumlah judul buku baru yang ditulis dan
diterbitkan itu menunjukkan betapa budaya baca masyarakat kita masih tergolong
rendah (Baedhowi, 2010). Padahal, buku yang secara fisik dapat didefinisikan
sebagai kumpulan kertas yang terangkum menjadi satu bagian ini tidak dipungkiri
lagi merupakan sesuatu yang sangat penting dari masa ke masa, begitu pula bagi
perkembangan manusia (Wijayanti, 2008). Tanpa membaca bagaimana lah peradaban
bisa berkembang. Masyarakat bahkan tidak akan sadar bahwa jaman telah berubah
dan telah terseret dalam arusnya.
c.
Membaca
dan Melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi
Institusi
pendidikan sekelas perguruan tinggi tidak main-main dalam mengemban amanah
bangsa. Semua perguruan tinggi memiliki dharma yang harus dilaksanakan yaitu:
pendidikan, penelitian, dan pengabdian. Dengan logika sederhana saja dapat
terjawab bahwa tidak mungkin tiga dharma itu terlaksana tanpa mendapatkan
pengetahuan, pengetahuan bisa pengetahuan terdahulu ataupun pengetahuan
terbaru. Pengetahuan tak akan didapat tanpa membaca. Bagaimana mungkin
mahasiswa hanya nangkring di depan
layar internet dan televise dan berharap dharmanya telah terlaksana. Pendidikan
itu sendiri adalah porsi di mana kita belajar melatih kompetensi sehingga
tenaga atau pemikir-pemikir ahli dapat terbentuk. Di dalamnya tak mungkin lepas
kegiatan membaca.
Penelitian
yang dari kosakatanya juga terdengar sangat ilmiah tidak bisa tidak, harus lah
dibarengi dengan budaya baca yang kuat. Apalagi banyak universitas kini memimpikan
diri menjadi universitas riset kelas dunia. Tanpa membaca maka apalah artinya?
Itu adalah sebuah mimpi di siang bolong.
Fakta
memang menunjukkan bahwa minat meneliti baik dosen maupun mahasiswa masih
rendah. Prof Dr Anna S. Soeparno, anggota Majelis Penelitian Pendidikan Tinggi,
Komisi Pendidikan Depdikbud dan Dr. Arief Purnomo, pakar pendidikan LIPI
merisaukan minat dan budaya meneliti mahasiswa dan dosen kita. Padahal, peran
penelitian dan pengembangan merupakan prasyarat penting agar bangsa kita tidak
tertinggal di era globalisasi ini (Gunawan, 1999). Menurut pada penelitian yang
dilakukan divisi riet Badan Pers dan Penerbitan Balairung tahun 2009 mengenai
jumlah penelitian dosen dalam setahun terakhir tercatat bahwa sejumlah 77,6% menjawab kurang dari 5
penelitian, 20,4% menjawab antara
5-10 dan sebanyak 2% meneliti lebih dari 10 kali. Angka-angka tersebut
mengindikasikan kurang giatnya para dosen dalam penelitian. Padahal meneliti adalah syarat
yang harus dipenuhi agar tak ketinggalan dalam era global ini.
Dharma
ketiga adalah pengabdian. Pengabdian merupakan tantangan tersendiri yang
menjadi bukti bahwa apa yang dipelajari dalam institusi pendidikan tinggi
memang memiliki suatu arti. Ketika kita terdidik dan selalu merefleksikan serta
mengembangkan apa yang kita pelajari lewat penelitian maka kita akan melihat
apakah suatu ilmu pengetahuan masih relevan dengan konteks masyarakat saat ini.
Namun, tanpa membaca dan menulis mustahil pemahaman akan masyarakat melalui
teropong ilmu pengetahuan akan didapat.
PENUTUP
Budaya
membaca dan menulis adalah suatu komunikasi yang dilakukan untuk melintasi
zaman dan mengenali zamannya sendiri. Mustahil suatu peradaban berkembang tanpa
ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan sendiri tak mungkin berkembang tanpa bacaan
dan tulisan. Ketika suatu bangsa punah budaya membacanya maka punahlah bangsa
itu.
Dalam hal mengatasi
rendahnya minat baca pada masyarakat kita membutuhkan kesadaran berbagai pihak.
Kesadaran masyarakat itu sendiri dan juga stimulus yang tepat dari aparat
pemerintah untuk menyediakan lingkungan yang memadai bagi masyarakatnya untuk
membaca. Mahasiswa sebagai generasi penerus bangsa adalah benteng bangsa untuk
menahan gempuran arus globalisasi dan tetap bertahan sekaligus bersaing di
dalamnya. Untuk itu sangat penting bagi mahasiswa untuk membaca dan
mempersaingkan bangsanya dengan bangsa lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar