Minggu, 29 April 2012

Membaca dan Membangun Sebuah Peradaban


PENDAHULUAN

            Manusia dalam hidupnya tak bisa dilepaskan barang sejenak dari ilmu pengetahuan. Sadar atau tidak sadar segala yang kita lakukan, segala yang ada dalam tubuh kita, segala yang berjalan, berlari dan berjungkir balik di sekitar kita termaktub dalam ilmu pengetahuan baik yang terkitabkan maupun yang tidak. Segala yang kita lakukan adalah perilaku dan di situ psikologi. Segala yang ada di tubuh kita adalah biologi. Masih banyak dan berlimpah ruah pengetahuan yang berserak-serak.
Melalui hikmah yang turun pada seorang manusia maka kertas ditemukan dan segala rupa ide dan makna dituliskan. Maka abadilah apa yang ditulis hingga bertahun-tahun kemudian. Bahkan sebelum kertas ditemukan manusia telah belajar menyimpan sesuatu pada sesuatu yang lain. Pada batu dan pada gua. Lalu menjadi artefak dan menjadi prasasti yang kemudian bisa kita lihat cetaknya pada buku-buku sejarah.
Alasan mengapa moyang kita dan para pendahulu kita menuliskan sesuatu anatara lain pasti adalah untuk mengabarkan apa yang terjadi, apa yang mereka alami, dan apa yang mereka ingini pada jamannya. Dengan membaca apa yang telah mereka tulis kita mengetahui tutur cerita dari jaman yang bahkan tak terbayangkan oleh khayalan kita yang paling tinggi sekalipun. Dengan tulisan maka sesuatu pada sekali waktu bisa terbaca pada waktu yang lain.
 Dengan tulisan maka kita bisa membaca. Dengan membaca kita mendapat hikmah dan menyarikannya dalam pikiran kita sendiri. sering proses membaca berlanjut kembali menjadi proses menulis. Menulis dan membaca menjadi suatu siklus yang linier yang dengan olahan manusia pengetahuan menjadi terangkum di dalamnya. Kegiatan menulis dan membaca dan terus menerus dibarengi sikap kritis dan peka akan lingkungan sekitar membuat ilmu pengetahuan terus berkembang dari era ke era, jaman ke jaman, dan peradaban ke peradaban.
Namun, dewasa ini di jaman serba kompetitif ini budaya membaca ternyata malah jadi sesuatu yang kurang digemari di kalangan masyarakat, bahkan di kalangan yang sering disebut kaum intelektual itu sendiri (mahasiswa). Padahal tanpa membaca maka suatu siklus perkembangan ilmu pengetahuan menjadi invalid dan timpang mengiringi era globalisasi ini. Rendahnya budaya mambaca juga berefek secara domino pada budaya menulis. Bagaimana bisa menulis jika membaca atau mancoba membaca saja tidak pernah.
Bukan tak mungkin sebuah bangsa menjadi statis atau mengalami degradasi karena rendahya budaya membaca pada masyarakatnya. Matinya siklus membaca dan menulis adalah matinya pembaharuan ilmu pengetahuan yang harus terus disesuaikan dengan konteks masyarakat yang terus berubah. Maka dalam hal ini sangatlah penting untuk terus meningkatkan budaya membaca dan menulis pada masyarakat kita.
Dalam hal ini mahasiswa yang masih diyakini sebagai agen perubahan dan generasi penerus bangsa penting untuk memiliki kegiatan mambaca. Apalagi, bagaimanapun juga mahasiswa secara nyata menempati institusi formal yaitu perguruan tinggi di mana seharusnya berupa-rupa ilmu pengetahuan dimasak sejadi-jadinya untuk disesuaikan dengan kekinian. Namun, jika membaca saja malas bagaimana bisa mahasiswa mengkaji ilmu pengetahuan di sekitarnya. Apalagi menyangkutkanya dengan kehidupan masyarakat, itu menjadi hal yang sulit.

a.      Mengabadikan Zaman demi Zaman
Jika kita mencoba menengok buku-buku sejarah sejenak maka kita akan menemukan bahwa sejarah telah  ditulis dari jaman paling dahulu sekalipun. Kita tahu bahwa pada Gua Leang-Leang ada gambar telapak tangan dan binatang buruan, dari situ kita tahu bahwa pada masa prasejarah masyarakat Indonesia juga mengenal berburu. Codex Hamurrabi yang terkenal akan undang-undangnya juga mengabadikannya dalam tulisan masih dengan tanah lempung.
Belajar dari sejarah, jaman dulu juga dikenal huruf paku dan huruf hyerogliph. Hal itu membuktikan kepada kita bahwa kesadaran akan menuangkan sesuatu dalam pencatatan sudah ada sejak awal-awal peradaban manusia ada. Bahkan peradaban yang dianggap maju seperti Babylon juga terkenal akan koleksi perpustakaannya. Bangsa Eropa pada kala itu memasuki masa pencerahan juga akibat berkembangnya ilmu pengetahuan secara pesat. Buku adalah hal yang penting karena di situlah tersimpan pengetahuan dan sejarah akan bangsa-bangsanya terdahulu.
Mengambil contoh dari bangsa sendiri maka pahlawan emansipasi wanita kita, Kartini, juga memulai perjuangannya dengan kegiatan baca tulis. Surat yang dia kirimkan kepada sahabatnya di Belanda dibaca oleh colonial dan mendapat perhatian khusus. Dipergunakannya surat  kabar sebagai alat perjuangan meraih kemerdekaan juga merupakan suatu bukti bahwa membaca dan menulis menjadi sebuah kegiatan yang bermanfaat sekaligus bermakna.
David C McLelland mengembangkan teori Max Weber, The Protestan Ethic, yang menguraikan bahwa bangsa Eropa Barat yang kini pun berkembang di Amerika adalah bangsa yang paling sukses dalam meraih kesejahteraan di dalam sistem kapitalisme selama ini, dan teori Abraham Maslow, Theory of Hierarchy Needs ( yang terdiri dari the need for self-actualization, the esteem needs, the love needs, the safety need). Ia menelaah lebih jauh lagi, bahwa ternyata tiap masyarakat yang sukses meraih kesejahteraan adalah yang memiliki kandungan need of achievement (n-ach) atau dorongan untuk berprestasi yang tinggi (Wijayanti, 2008). Kebutuhan akan berprestasi yang cukup tinggi ini sebanding dengan kebutuhan masyarakat akan mambaca buku.

b.      Budaya Membaca dan Menulis Masa Kini: Data dan Fakta
Menjadi hal yang perlu dirisaukan ketika suatu masyarakat sudah kehilangan budaya baca tulisnya. Indonesia terindikasi sebagai salah satu bangsa yang mengalami hal itu. Apabila dilakukan pengamatan sederhana terhadap kebiasaan hidup masyarakat baik anak-anak maupun orang dewasa, tampaknya kegiatan membaca belum menjadi suatu kebiasaan (Siahaan dan Martiningsih, 2008).  Namun di sisi lain selama 10 tahun terakhir jumlah terbitan baik kotan maupun majalah mengalami peningkatan. Seharusnya itu menjadi cerminan bahwa terjadi perkembangan pada minat baca dalam artian minat baca meningkat (Siahaan dan Martiningsih, 2008). 
Namun, data yang ada menunjukkan bahwa minat baca masyarakat masih rendah. Telah menjadi rahasia umum bahwa budaya baca masyarakat Indonesia termasuk yang paling rendah di Asia. Jangankan masyarakat, guru dan dosen sekalipun, meski secara individual adalah pendidik yang dekat dengan dunia baca-membaca, pada kenyataannya juga rendah minat dalam membaca (Baedhowi, 2010). Memang terjadi peningkatan baca tetapi hanya terbatas pada Koran dan majalah saja, tidak untuk buku-buku yang memuat ilmu pengetahuan (Siahaan dan Martiningsih, 2008).
Rendahnya budaya baca ini juga dibarengi dengan tingginya intensitas gempuran budaya global yang datang dari luar. Internet dan televisi menjadi media yang lebih akrab untuk dinikmati tiap harinya daripada membaca.  Padahal apa yang disajikan di televisi kebanyakan hanya berupa hiburan yang minim ilmu pengetahuan. Jika membuka situs di internet pun yang dibuka adalah situs jejaring sosial. Bahkan pada tahun belakangan Indonesia menjadi pengguna sebuah situs jejaring social dengan intensitas paling tinggi di antara beberapa negara di dunia.
Fakta menunjukkan bahwa secara budaya dan tradisi, masyarakat kita adalah masyarakat bertutur yang fasih. Ketika budaya bertutur masih melekat, akibat kemajuan teknologi, saat ini kita dihadapkan dengan budaya melihat atau menonton acara televisi yang sedemikian kuat dan dahsyat pengaruhnya terhadap perubahan perilaku masyarakat (Baedhowi, 2010). Sayangnya budaya menonton yang intensitasnya tinggi ini tidak dibarengi atau didahului dengan budaya membaca sehingga berdampak kurangya daya filter masyarakat akan kandungan-kandungan tayangan televisi.
Minat dan kebiasaan membaca masyarakat Indonesia yang masih rendah dapat dilihat melalui beberapa indicator. Salah satu indikatornya adalah dari kegiatan yang cenderung dilakukan masyarakat pada waktyu luang, seperti mengunggu giliran berobat di ruang praktek ataupun rumah sakit (Siahaan dan Martiningsih, 2008). Dalam kesempatan seperti ini orang lebih memilih mengobrol atau pun berdiam diri sama sekali walaupun telah disediakan bahan bacaan.
 Tidak jarang didapati di sekolah-sekolah bahwa kebiasaan guru dalam membaca kurang dari 1 jam per hari. Kebiasaan membaca yang kurang baik itu bisa dilihat dari jumlah buku baru yang terbit di negeri ini, yaitu hanya sekitar 8.000 judul/tahun. Bandingkan dengan Malaysia yang menerbitkan 15.000 judul/tahun, Vietnam 45.000 judul/tahun, sedangkan Inggris menerbitkan 100.000 judul/tahun. Jumlah judul buku baru yang ditulis dan diterbitkan itu menunjukkan betapa budaya baca masyarakat kita masih tergolong rendah (Baedhowi, 2010). Padahal, buku yang secara fisik dapat didefinisikan sebagai kumpulan kertas yang terangkum menjadi satu bagian ini tidak dipungkiri lagi merupakan sesuatu yang sangat penting dari masa ke masa, begitu pula bagi perkembangan manusia (Wijayanti, 2008). Tanpa membaca bagaimana lah peradaban bisa berkembang. Masyarakat bahkan tidak akan sadar bahwa jaman telah berubah dan telah terseret dalam arusnya.

c.       Membaca dan Melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi
Institusi pendidikan sekelas perguruan tinggi tidak main-main dalam mengemban amanah bangsa. Semua perguruan tinggi memiliki dharma yang harus dilaksanakan yaitu: pendidikan, penelitian, dan pengabdian. Dengan logika sederhana saja dapat terjawab bahwa tidak mungkin tiga dharma itu terlaksana tanpa mendapatkan pengetahuan, pengetahuan bisa pengetahuan terdahulu ataupun pengetahuan terbaru. Pengetahuan tak akan didapat tanpa membaca. Bagaimana mungkin mahasiswa hanya nangkring di depan layar internet dan televise dan berharap dharmanya telah terlaksana. Pendidikan itu sendiri adalah porsi di mana kita belajar melatih kompetensi sehingga tenaga atau pemikir-pemikir ahli dapat terbentuk. Di dalamnya tak mungkin lepas kegiatan membaca.
Penelitian yang dari kosakatanya juga terdengar sangat ilmiah tidak bisa tidak, harus lah dibarengi dengan budaya baca yang kuat. Apalagi banyak universitas kini memimpikan diri menjadi universitas riset kelas dunia. Tanpa membaca maka apalah artinya? Itu adalah sebuah mimpi di siang bolong.
Fakta memang menunjukkan bahwa minat meneliti baik dosen maupun mahasiswa masih rendah. Prof Dr Anna S. Soeparno, anggota Majelis Penelitian Pendidikan Tinggi, Komisi Pendidikan Depdikbud dan Dr. Arief Purnomo, pakar pendidikan LIPI merisaukan minat dan budaya meneliti mahasiswa dan dosen kita. Padahal, peran penelitian dan pengembangan merupakan prasyarat penting agar bangsa kita tidak tertinggal di era globalisasi ini (Gunawan, 1999). Menurut pada penelitian yang dilakukan divisi riet Badan Pers dan Penerbitan Balairung tahun 2009 mengenai jumlah penelitian dosen dalam setahun terakhir tercatat bahwa sejumlah 77,6% menjawab kurang dari 5 penelitian, 20,4% menjawab antara 5-10 dan sebanyak 2% meneliti lebih dari 10 kali. Angka-angka tersebut mengindikasikan kurang giatnya para dosen dalam penelitian. Padahal meneliti adalah syarat yang harus dipenuhi agar tak ketinggalan dalam era global ini.
Dharma ketiga adalah pengabdian. Pengabdian merupakan tantangan tersendiri yang menjadi bukti bahwa apa yang dipelajari dalam institusi pendidikan tinggi memang memiliki suatu arti. Ketika kita terdidik dan selalu merefleksikan serta mengembangkan apa yang kita pelajari lewat penelitian maka kita akan melihat apakah suatu ilmu pengetahuan masih relevan dengan konteks masyarakat saat ini. Namun, tanpa membaca dan menulis mustahil pemahaman akan masyarakat melalui teropong ilmu pengetahuan akan didapat.
PENUTUP

            Budaya membaca dan menulis adalah suatu komunikasi yang dilakukan untuk melintasi zaman dan mengenali zamannya sendiri. Mustahil suatu peradaban berkembang tanpa ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan sendiri tak mungkin berkembang tanpa bacaan dan tulisan. Ketika suatu bangsa punah budaya membacanya maka punahlah bangsa itu.
Dalam hal mengatasi rendahnya minat baca pada masyarakat kita membutuhkan kesadaran berbagai pihak. Kesadaran masyarakat itu sendiri dan juga stimulus yang tepat dari aparat pemerintah untuk menyediakan lingkungan yang memadai bagi masyarakatnya untuk membaca. Mahasiswa sebagai generasi penerus bangsa adalah benteng bangsa untuk menahan gempuran arus globalisasi dan tetap bertahan sekaligus bersaing di dalamnya. Untuk itu sangat penting bagi mahasiswa untuk membaca dan mempersaingkan bangsanya dengan bangsa lain.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar