Selasa, 03 April 2012

Melakukan yang Sewajarnya

 Orang tua dengan perut gembul, serta kumis dan rambut putih itu memecahkan telur seekor burung dengan menjatuhkannya ke lantai. “Hidup dimulai dengan membunuh.” Ujarnya sambil sejurus kemudian menumpahkan setumpuk berkas-berkas formulir pendaftaran masuk perguruan tinggi di depan mahasiswanya. Iya, dia dosen dan juga rector, dan iya Anda benar, itu adalah deskripsi singkat secuplik film Bollywood nan terkenal “3 Idiots”. Apa yang hendak kita lihat, dan bisa kita tangkap dari deskripsi pendek tersebut? Sebagian mahasiswa digambarkan telah mengalahkan bahkan secara kasar bisa disebut “membunuh” kesempatan calon mahasiswa lain untuk memasuki perguruan tinggi yang, mungkin, bisa kita banggakan ini.
 Pernahkah kita bayangkan betapa hancur hati mereka yang gagal masuk ke kampus nan terhormat, Universitas Gadjah Mada? Saya yakin tidak sedikit dari mereka yang ditolak mentah-mentah oleh UGM sesungguhnya telah berusaha dengan lebih giat dan gigih dari saya, dari kita semua mungkin. Dari sekian jumlah anak bangsa yang menempuh pendidikan di sekolah dasar hanya sedikit dari mereka yang kemudian bisa sampai perguruan tinggi. Jangan tanya mengapa, takkan cukup selembar kertas putih ini untuk menjelaskan semua itu.
Berapa ratus, berapa ribu, mereka yang secara pelan-pelan kita singkirkan. Kita singkirkan dari ranah kesempatan belajar dalam persaingan yang sulit diuji kemurnian dan keadilannya. Uang, kekuasaan, dan keberuntungan menjadi variable extraneous, tidak diharapkan menjadi factor utama dalam persaingan dalam memasuki institusi-institusi pendidikan, tetapi variable-variabel itu selalu muncul atau setidaknya meneror kita semua, di samping kecerdasan yang kadang dianggap sebagai variable utama yang wajar dan sah sebagai senjata menyingkirkan teman-teman sebangsa setanah air kita yang lain. Tak usahlah berbicara tentang variable extraneous tadi, masalah apakah benar dalam memeperoleh pendidikan memang harus dengan persaingan yang semelelahkan ini saja masih sangat meresahkan saya sendiri. Bukankah pendidikan adalah hak yang harus diberikan oleh pemerintah kepada seluruh warga negaranya? Kenapa harus bersaing?
Takkan pernah habis pertanyaan-pertanyaan dalam hati kita yang membuat malam-malam terasa panjang karena keresahan-keresahan. Keresahan-keresahan akan keadaan teman-teman kita yang melihat fakta bahwa kini dia hanya bisa mendorong gerobak roti keliling kampung, yang kadang sehari belum tentu laku. Mereka masih semuda kita. Bertemu di perempatan jalan. Dia dengan gerobak bercucurkan keringat dan nafas terengah-engah dan kita dengan wajah murung membawa tas berisi laptop, buku-buku tebal, menggerutu akan tugas-tugas kita. Pernahkah kita melihat wajahnya sebentar, wajah pedagang roti itu. Dia masih muda, dan dengan kagum melihat kepada kita. Sambil mengelus dada dia berdoa, semoga seuntai, beruntai-untai, keajaiban turun membuka lagi kesempatan mereka untuk belajar. Di sisi lain kita sudah jenuh dan muak dengan kuliah-kuliah kita, yang dengan pikiran kita yang sok filsuf, kita anggap sebagai pembodohan. Bahkan kita bosan kuliah. Lupakah kita ribuan mereka terlempar sementara kita dengan bangganya masuk ke gerbang UGM nan mewah dengan almamater yang licin tersetrika?
Saya tidak mau terus-terus berdialektika dan terjebak dalam diskursus-diskursus tentang tanggung jawab social mahasiswa. Agent of change? Iron stock? Hah masa bodoh dengan istilah itu ketika kita mengucapkannya hanya sebagai penambah rasa sombong kita dan sebagai legitimasi kita bahwa kita bisa dengan seenaknya menghakimi sistem yang berlaku sebagai sistem yang buruk. Jika ingin bertanggung jawab, kuliahlah dengan benar, jangan memaki sistem pendidikan hanya karena setengah jam yang lalu kita tidak bisa mengerjakan ujian tengah semester. Sadarlah bahwa ada banyak di luar sana yang kita lemparkan jauh-jauh dari kesempatan ini, walau tak sengaja mungkin. Kita sudah dewasa, tahu artinya bagaimana kuliah dengan benar. Tidak hanya membaca buku, tidak hanya ke ruang TU, tidak hanya berjalan jauh-jauh long march memprotes kebijakan ini itu dengan semangat sok mahasiswa. Tidak bisa berdiri satu-satu semua itu.
Kita semua sadar, walau belum tahu, ada yang tidak beres dengan sistem pendidikan kita. Namun, bukan berarti kita boleh dengan tenang menghindari kuliah-kuliah. Apalagi malah bermalas-malasan dan menganggap diri korban sistem pendidikan. Kita bukanlah pengecut. Kita telah berjalan sejauh ini. Belasan tahun bergelimang pendidikan. Jangan lah terjebak dalam utopia idealisme dunia yang sempurna. Dunia ini berpasang-pasangan, ada hitam dan putih. Ada ide dan realita. Kita telah bergerak, tapi jangan sampai arah gerak kita salah kaprah. It’s okay to hate your system at your country, but you have to stay here, improve it continuosly by knowing and recognize it completely. Jika kita memang peduli dengan sosial masyarakat kita, maka mari kita belajar. Saya tekankan sekali lagi, kita sudah dewasa dan kita mestinya tahu bagaimana arti belajar itu. Sekali waktu ingatlah mereka yang tak berkesempatan kuliah seperti kita. Mari kita lakukan sewajarnya. Tidak berlebih dan terbawa arus semangat perubahan tanpa dasar ilmu.
Seorang sahabat pernah berkata kepada saya “kita punya tanggung jawab moral atas mereka yang tak diterima di kampus kita”. Saya terus mengingat kata-kata itu. Jika memang peduli, saya katakan pada diri saya sendiri pedulilah, bergeraklah dan belajarlah.
 *) ditulis sebagai kelengkapan syarat mengikuti Pelatihan Kader Dasar PMII Komisariat Gadjah Mada 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar